Akhirnya publik mendapat
bukti bahwa kritik yang selama ini ditujukan kepada Susilo Bambang
Yudhoyono (SBY) tentang "tidak
satunya kata dengan perbuatan" adalah sebuah kenyataan. Sihir
kata-kata, upaya meraih perhatian dan keberpihakan publik terhadap
dirinya serta strategi menjaga dan mempertahankan citra sirna saat SBY
menerima jabatan Ketua Umum Partai Demokrat (PD).
SBY kini bukan hanya Ketua
Dewan Pembina, Ketua Majelis Tinggi, dan Ketua Dewan Kehormatan, tetapi
juga Ketua Umum Partai Demokrat. Dengan posisi Ibas, anaknya, sebagai
sekretaris jenderal dan bendahara umum partai termasuk kerabat dekat,
maka Partai Demokrat yang justru partai besutan reformasi membuktikan
kentalnya nepotisme dalam (partai) politik.
Sikap SBY dengan berbagai
argumentasi menerima jabatan Ketua Umum Partai Demokrat dari Kongres Luar
Biasa Partai Demokrat dapat dipahami. Pada Mei 2002 di Wisma Kinasih,
Bogor, SBY dan sejumlah orang mendirikan Gerakan Nasional Demokrat. Ormas
itu merupakan cikal bakal PD. Sejumlah elite di PD mengakui bahwa PD
memang dibidani keluarga Cikeas.
Saya sendiri pernah
menyaksikan suatu video yang berisikan bagaimana penjelasan SBY di
hadapan keluarganya di Cikeas tentang pentingnya mendirikan partai. Maka,
saat PD mengalami guncangan karena perilaku korupsi sejumlah oknumnya,
Karena konyolnya sejumlah elite saat berdebat di ruang publik, dan karena
hal-hal lain yang membuat PD luluh lantak menurut persepsi publik, maka
SBY tentu terpanggil menyelamatkan "bayi"-nya itu.
Tekad menyelamatkan itu
bahkan bisa dipahami saat Agus Harimurti sudah menulis buku tentang
situasi global dan Ibas sudah mundur dari DPR dan kemudian menjadi caleg
lagi.
Dalam bahasa yang sederhana,
nepotisme dalam PD juga bertujuan menjaga keluarga untuk kini dan masa
depan. Karier Agus dan Ibas harus terus menanjak. Di sinilah orang
melihat, PD juga merupakan singkatan dari "Partai Dinasti". Untuk hal yang terakhir itu, saya
berkeberatan.
Belajar dari Soeharto yang
menyiapkan infrastruktur bisnis dan berlanjut ke fasilitas dan sarana
kekuasaan politik bagi anak-anaknya, melanjutkan suatu dinasti merupakan
tantangan berat. Benar, Soeharto berhasil dijatuhkan, tetapi pengaruhnya
masih cukup terasa hingga sekarang. Sindrom stabilitas harga kebutuhan
pokok dan stabilitas sosial menjadi sesuatu yang dirasakan langka di era
yang serbaliberal.
Untuk hal seperti itu, SBY
gagal meniru Soeharto. Dengan meniru model kebulatan tekad yang digagas
Harmoko untuk Soeharto, pergelaran KLB PD di Bali membuka jalan bagi SBY
memperoleh kembali "bayi"-nya yang sangat ia sayang. Setelah 15
tahun jatuh, dinasti politik Soeharto sulit bangkit. Munas Partai Golkar
di Pekanbaru, Oktober 2009, tidak membuka jalan bagi Tomy Soeharto untuk
memimpin Golkar. Tomy pun gagal membangun parpol karena tidak lolos
verifikasi KPU.
Dengan kasus-kasus korupsi
Bank Century, Hambalang, rumor suap Pertamina dan ditambah isu-isu
lainnya, SBY tetap menginginkan akses kekuasaan setelah dirinya tidak
berkuasa. Keinginan itu hanya terwujud jika "bayi" yang
dibidaninya bersama keluarga kembali dalam asih, asah, dan asuhannya
langsung. SBY mungkin tidak lagi berambisi menjadi Sekjen PBB di tengah
kasus-kasus itu menghantui diri, keluarga, dan partainya.
Kalau akses kekuasaan tetap
dimiliki dan posisi tawarnya tetap memadai, maka kesediaan SBY mengambil
jabatan Ketum PD melalui KLB sama dengan sekali merengkuh dayung,
dua-tiga pulau terlampaui, sebagaimana saya uraikan di atas. Inilah yang
mendorong mengapa perbedaan kata dengan perbuatan diterimanya sebagai
kenyataan menyakitkan. Benarkah begitu? Allah Swt yang maha mengetahui
segala yang tersembunyi. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar