Sebulan yang lalu, tepatnya pada Rabu, 27
Maret 2013, kami mendapatkan kabar duka, Pak Paimin, 70 tahun, ayahanda
dari salah satu korban penghilangan paksa tahun 1997-1998, Suyat,
meninggal dunia di rumahnya di sebuah desa kecil di Gemolong, Sragen,
Jawa Tengah. Almarhum Pak Paimin meninggal setelah 15 tahun menunggu
hasil perjuangan yang dilakukan anaknya yang lain, Suyadi dan Suyadi,
dalam mencari kejelasan tentang nasib Suyat yang diambil oleh kelompok
bersenjata di kampung sebelah pada Februari 1998.
Sampai ajal menjemput, Paimin masih belum
mendapatkan kabar, apakah anak yang disayanginya masih hidup atau sudah
meninggal. Dalam sebuah wawancara dengan harian Kompas (15
September 2009), almarhum Paimin bersama istrinya Tamiyem pernah
menyampaikan harapannya:
”Nek sih waras, ayo mulih. Nek wis ora ana, kuburane nengdi? (Kalau
masih hidup, ayo pulang. Kalau sudah meninggal, di mana kuburannya),”
kata Tamiyem.
”Nek dipenjara, nengdi
(kalau dipenjara di mana),” tambah Paimin.
Almarhum Paimin juga pernah memelihara kambing beberapa tahun yang lalu.
Keluarga merencanakan untuk memotong kambing tersebut bila Suyat kembali
pulang. Namun, karena Suyat belum pulang juga setelah ditunggu beberapa
tahun, kambing itu pun akhirnya dijual untuk menutupi kebutuhan sehari-hari.
Pak Paimin bukan satu-satunya orang tua korban penghilangan paksa aktivis
tahun 1997-1998 yang meninggal sebelum mereka mengetahui kabar anak-anak
mereka. Sebelumnya, ayahanda Yadin Muhidin telah meninggal di Jakarta
(2003). Ayahanda Herman Hendrawan meninggal di Bangka (2004). Ayahanda
Wiji Thukul meninggal di Solo (2006). Ayahanda Noval Alkatiri meninggal
di Jakarta (2004). Ibunda Yani Afri meninggal di Jakarta (2012), dan
terakhir Pak Paimin, ayahanda Suyat meninggal di Sragen (2013). Mereka semua
meninggal dunia akibat sakit yang kami duga berhubungan dengan tekanan
fisik dan mental akibat kehilangan orang-orang yang mereka cintai. Tetapi
yang jelas, mereka semua meninggal sebelum bisa menikmati hak-hak mereka
atas kebenaran, keadilan dan pemulihan yang menjadi tanggung jawab
negara, khususnya pemerintah untuk memenuhinya.
Angin segar telah bertiup sejak September 2009 ketika Ketua DPR
mengirimkan surat rekomendasi hasil sidang paripurna DPR mengenai kasus
penculikan dan penghilangan paksa aktivis tahun 1997-1998 kepada
presiden. Empat rekomendasi tersebut adalah: 1) Agar presiden membentuk
Pengadilan HAM Ad Hoc; 2) Agar presiden beserta instansi terkait mencari
13 aktivis yang masih hilang; 3) Agar pemerintah memberikan kompensasi
dan rehabilitasi kepada keluarga korban; 4) Agar pemerintah meratifikasi
Konvensi Internasional Antipenghilangan Paksa.
Sejak saat itu, berbagai wacana terus dimunculkan oleh pemerintah, mulai
dari wacana pemberian lapangan pekerjaan kepada para korban, kemudian
wacana permintaan maaf dan yang terakhir adalah pernyataan yang
disampaikan anggota Dewan Pertimbangan Presiden Albert Hasibuan bahwa
Presiden SBY telah memerintahkan kementerian dan lembaga terkait untuk
mempersiapkan pembentukan pengadilan HAM Ad Hoc untuk kasus 1998. Namun
sayangnya harapan itu pupus kembali ketika Menko Polhukam Djoko Suyanto
mengatakan bahwa Pengadilan HAM Ad Hoc masih belum bisa dibentuk,
karena menunggu kelengkapan penyelidikan (Kompas, 28/3/2013).
Tidak kali ini saja harapan para korban dipupuskan oleh pejabat
pemerintah. Sebelumnya, para korban juga telah dikecewakan oleh
“permainan ping pong” Komnas HAM, Kejaksaan Agung dan DPR dengan “bola”
berkas penyelidikan dugaan berbagai pelanggaran berat HAM. Akibat
“permainan ping pong” inilah, setidaknya enam berkas kasus dugaan
pelanggaran berat HAM kini tertumpuk di meja Jaksa Agung. “Bola ping
pong” menjadi “bola panas” dan tak ada yang berani menyentuh, apalagi
menendangnya.
Mandeknya penyelesaian kasus ini sebenarnya bisa diatasi oleh kebijaksanaan
(wisdom) dan ketegasan (firmness) Presiden SBY. Pasal 28I Ayat 4 UUD 1945
yang menyebutkan bahwa negara, khususnya pemerintah memiliki tanggung
jawab atas perlindungan, pemajuan, penegakan dan pemenuhan HAM.
Selanjutnya UU No 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM pada Pasal 43 Ayat
2 disebutkan bahwa Pengadilan HAM Ad Hoc dibentuk atas usulan DPR dengan
keputusan presiden. Dengan demikian, memang tak terbantahkan bahwa
presiden-lah pemegang kunci penanganan dan penyelesaian kasus
penghilangan paksa aktivis 1997-1998.
Dimulai dari yang Kecil
Dalam sebuah talk show di
stasiun Metro TV pada Jumat (22/3), Menko Polhukam Djoko
Suyanto menjelaskan bahwa ia memang ditugaskan Presiden SBY untuk
menyusun kebijakan penyelesaian pelanggaran berat HAM masa lalu secara
menyeluruh. Karenanya Menko Polhukam mengatakan bahwa pemerintah tidak
akan menangani kasus per kasus, yang karenanya pemerintah tidak akan
menggelar Pengadilan HAM Ad Hoc untuk kasus penculikan dan penghilangan
paksa aktivis 1997-1998.
Menurut saya, penyelesaian secara menyeluruh tidak bisa dilakukan tanpa
memulainya dengan hal yang kecil atau sebagian. Dengan rekomendasi dari
lembaga tinggi negara yaitu DPR pada 2009, kasus penculikan dan
penghilangan paksa aktivis 1997-1998 bisa menjadi awal menuju
penyelesaian menyeluruh yang akan dilakukan pemerintahan SBY sebelum masa
kerjanya habis.
Penyelesaian kasus ini sudah terlalu lama dinanti keluarga korban. Waktu
15 tahun seharusnya bisa digunakan keluarga korban secara maksimal untuk
mengembangkan diri sebagai individu dan berkontribusi pada kehidupan
sosial sebagai warga masyarakat. Hal yang sama terjadi pada tataran
negara. Seandainya berbagai kasus pelanggaran berat HAM ini telah bisa
diselesaikan secepatnya, pada awal masa reformasi, sebagai bangsa tentu
kita telah bisa maju, mencapai tujuan negara sebagaimana diamanatkan
dalam mukadimah UUD 1945. Beban sejarah bangsa ini harus segera
diselesaikan.
Berbeda dengan bayang-bayang menakutkan yang direka-reka para aparat
negara, atau mereka yang merasa terlibat atau dilibatkan dalam dugaan
kasus pelanggaran berat HAM ini, harapan dan keinginan keluarga korban
penghilangan paksa aktivis 1997-1998 sebenarnya sangat sederhana. Mereka
pertama-tama, dan terutama ingin mendapatkan kejelasan status anak-anak
atau suami mereka yang menjadi korban penghilangan paksa. Mereka telah
bersiap menerima kabar apa pun dari negara. Bila jawaban ini mereka
dapatkan, lebih dari separuh beban penderitaan mereka akan
terobati.
Gambaran tentang pengadilan HAM masih terlampau buram dalam harapan para
keluarga korban yang masih hidup dalam tekanan. Namun, mereka tetap
memiliki keyakinan bahwa karena Indonesia adalah negara hukum maka hukum
harus ditegakkan.
Ibu Tuti Koto, ibunda salah satu korban penghilangan paksa 1997 Yani
Afri, yang pernah ditemui Presiden SBY di Istana Presiden telah meninggal
dunia 5 November tahun lalu, sebelum mendapatkan realisasi janji
presiden.
Bapak Presiden SBY, berapa banyak lagi keluarga korban penghilangan paksa
harus meninggal? Berapa lama lagi keluarga korban harus menunggu?
Penderitaan keluarga korban menjadi semakin bertambah saat melihat mereka
yang diduga pelaku penculikan aktivis ini muncul di TV-TV dan berapi-api
memberi janji-janji semu tentang keadilan dan kesejahteraan rakyat.
Penantian ini harus dihentikan. Keluarga korban berhak mendapatkan
keadilan. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar