Raymond
Williams menaruh ranah budaya dalam tiga wilayah (The Long Revolution 1975; Culture, 1981). Wilayah pertama
merupakan “ranah konsep”, yaitu wilayah manusia memproses penyempurnaan
diri teracu dan tertuju pada makna pokok universal tertentu.
Rumusan ini mendeskripsi kehidupan dan tata acuan makna universal yang
selalu dihidupi,sistem kepercayaan dan keyakinan tentang arti atau makna
hidup. Wilayah kedua,kebudayaan sebagai “ranah catatan dokumentasi praksis
kehidupan”,di mana kehidupan dihayati sebagai “teks” yang mencatat struktur
imajinasi, pengalaman, dan pemikiran manusia.
Ranah ketiga, ranah-ranah rumusan kemasyarakatan kebudayaan sebagai
“penandaan” jagat hidup tertentu yang di dalamnya kajian-kajian budaya
merupakan usaha dan ikhtiar untuk mengontruksi perasaan dalam “adat”,
kebiasaan, dan struktur mentalitas yang dipakai untuk menghayati kehidupan.
Karena itu,kebudayaan dipahami pula sebagai “tata acuan nilai-nilai hidup”
perjalanan bermartabat bagi anak-anak dari rahimnya, baik individu
perorangan maupun sebagai komunitas.
Anyaman dan rajutan tata nilai untuk ziarah perjalanan hidup bersama dari
individuindividu itu agar semakin bermartabat sebagai manusia telah membuat
jalan kebudayaan menjadi jalan peradaban. Di situlah, kebudayaan merupakan
“ruang hidup intuitif”, tempat citarasa estetis yang merayakan dan
memuliakan kehidupan dalam tari, ketika keindahan gerak alam dan gerak
hidup ditarikan.
Dalam nyanyi, manakala kehidupan disyukuri kidung berkidung.Itulah wilayah
seni cita rasa dan intuisi religius serta estetis dari kebudayaan. Sebagai
anak yang lahir dari rahim kebudayaannya, manusia sekaligus lahir dari
kebatinan hening lokalitas sukunya, kearifan lokalnya dengan keragaman
kekayaan kearifan mengenai kehidupan.
Pepatah “tak ada rotan akar pun jadi” berarti daya arif kreatif berusaha
untuk mencipta terus yang lahir dari rahim budaya agraris dan tanah sama
bijaksananya dengan pepatah “di mana bumi dipijak di situlangit dijunjung”,
yang lahir dari kearifan untuk menghayati hormat pada langit yang “di atas”
dan ramah pada sesama yang dibumi horizontal ini—baik alam maupun
antarmanusia.
Manusia adalah makhluk yang berusaha terus-menerus mencari makna dalam
hidupnya. Dia juga terus-menerus mengacu hidupnya pada apa yang dipandang
berharga sebagai baik,benar,dan indah dalam menghayati dan menapaki
kehidupan baik sebagai individu maupun sebagai komunitas. Dalam dirinya
terdapat kemampuan untuk memahami secara akal budi (baca: kemampuan
kognitif) mengenai kenyataan dan memaknainya untuk mengetahuinya secara
kognitif.
Dia mempunyai pula potensi afektif, rasa untuk mengagumi dan mengembangkan
keindahan (rasa estetis). Di samping itu, manusia memiliki kemampuan
religius untuk menghayati kehidupannya dalam menjawab dan mengartikan ke
mana arah perjalanan hidupnya dan dari mana asalnya. Pemikiran ini
memandang kebudayaan sebagai “kemampuan-kemampuan dalam diri manusia
perorangan”.
Dengan kata lain, kebudayaan dalam diri manusia orang per orang dikatakan
pula sebagai kemampuan “cipta” dalam budi, “rasa” dalam kedalaman hati dan
nurani serta “karsa” dalam kehendaknya. Lalu, di manakah kebudayaan
dikenali dan dibaca?
Pertama,pada sumber-sumber oasisnya,kebudayaan diungkapkan dalam bahasa
yang meliputi sintaksis, grammar, dan makna kata dalam kamus yang menuliskan
dan mewacanakan realitas dunia di mana manusia hidup dan merajut
kebudayaannya. Tahap pertama ini menuntut pembaca budaya dari bahasa logis
ke tulis serta simbolis, semiotis.
Kedua, kebudayaan oleh masyarakat pendukungnya diungkapkan, ditradisikan
lewat peribahasa, tradisi dongeng kebijaksanaan, mitos, ritual, simbol,
ingatan-ingatan kolektif, adat kebiasaan, dan tanda serta salam
penghormatan. Membaca kebudayaan tahap dua ini membutuhkan pemahaman dan
pengenalan yang tidak hanya rasional, tetapi intuitif untuk masuk dan
mencoba memahami epistemologinya (local
knowledge).
Ketiga, kebudayaan dilembagakan dan dimantapkan dalam sistem organisasi dan
masyarakat yang meliputi pengaturan hidup bersama agar saling damai
menghormati. Di sini pengertian struktur sebagai cara pengaturan rasional
terhadap hidup bersama harus dipahami berjenjang dari sesuatu yang organik
menjadi sesuatu yang organisasional.
Keempat, tahapan kebudayaan yang menarikan dalam tari, menyanyikan
kehidupan dalam musik; menuliskannya dalam susastra tulis maupun sastra
pengisahan lisan,legenda dan kisah pahlawan,serta ideal hidup baik yang
sering dikenal sebagai etos. Di sini bacaan kebudayaan membutuhkan bingkai
nilai dan pemahaman estetis,religius dan etis,artinya pembacaan memakai bingkai
intuisi keindahan dari kehidupan dalam tari dan nyanyi serta empati
religius etis tingkah laku dan tindakan-tindakan yang dipilih untuk
dijalani oleh komunitas itu.
Kelima, sebagai acuan citacitadanapayangdipandangberharga, kebudayaan pada
tahap ini harus dibaca dari norma, aturan tingkah laku, pantangan serta
tabu yang mengatur hubungan bersama anggotanya, tapi juga ritual kematian
serta rites of life passages. Di
sini ‘kami’ secara kultural berarti kurang dalam berhadapan dengan
‘mereka’, yaitu orang luar atau orang asing.
Maka membaca kebudayaan tidak cukup hanya menelitinya secara kuantitatif,
tetapi secara kualitatif serta dialog hati ke hati diperlukan. Oleh karena
kaya dan luasnya tahapan budaya dan dipahaminya kebudayaan sebagai dinamika
yang terus-menerus untuk menjalani hidup anggota-anggotanya dalam jagat
makna dan arti, maka kata kerja kebudayaan manakala dipakai untuk proses
sadar meng-Indonesia butuh perumusan strategi.
Artinya, sebuah visi awal kultural etnik, agamais, mulai dari kebinekaan,
suku, agama dan kepercayaan menjadi agenda cita dan aksi peradaban seturut
Mukadimah Konstitusi 1945 dan dijabarkan dalam politik kebudayaan, yaitu
dalam format bernegara yang demokratis, adil, dan beradab serta
berkepastian hukum.
Dari paparan di atas dapat dicatat bahwa jalan kebudayaan mempunyai
kekuatan hakikinya karena kebudayaan dengan kemampuan-kemampuannya yang
merawat, merayakan, dan memuliakan kehidupan merangkumkannya dalam “sistem
nilai”. Hakiki, karena kebudayaan menjadi sumber bahasan sebelum
dibahasakan dalam aturan atau hukum mengenai apa yang baik (etika), apa
yang benar (ilmu pengetahuan epistemologi) serta apa yang indah (estetika)
serta yang suci (religiositas).
Lalu apa itu nilai? Nilai adalah sesuatu yang dipandang berharga oleh
seseorang atau kelompoknya yang dipakai setiap hari untuk acuan laku dan ia
wujudkan dalam perilakunya. Rumusan ini sebenarnya abstraksi saja dari yang
sudah terpaparkan di depan tadi yang dari kemajemukan penyusun
keindonesiaan disumbangkan oleh kekayaan religi bumi dan samawi, serta
kearifan-kearifan lokal keragaman suku-suku Nusantara yang mengindonesia
setelah proklamasi politis bernegara Republik Indonesia dengan ranah
kulturalnya yang “bhinneka tunggal ika”.
Pepatah, peribahasa, gurindam dan kisah-kisah kearifan lokal serta musik
etnik,tari dan saga-saga folklore sekawanan jenisnya ini merupakan ungkapan
pembatinan nilainilai yang diekspresikan untuk satu tujuan, yaitu
memuliakan hidup dan mengajak anggotaanggota masyarakatnya untuk merawat
hidup ini dengan arah semakin bermartabatnya sebagai manusia dalam hidup
bersama.
Maka, ketika perjalanan hidup membangsa terlalu gaduh riuh menghayati jalan
politik yang adu kekuasaan dan rebutan kursi dengan nilai kalah menang yang
tega untuk saling menyodok dan menjatuhkan, maka pilihan kembali ke jalan
kebudayaan sungguh perlu diambil dan ditapaki. Pula, ketika jalan
ekonomisasi terlalu disempitkan dan direduksi pada apa yang bernilai
menguntungkan saja dan mencampakkan yang merugikan, bahaya “Homo economicus” yang tega saling
memakan untuk keuntungannya sendiri mesti dikritik.
Mengapa jalan kebudayaan harus dihayati sebagai solusinya? Sebab
kerja-kerja kebudayaan sebenarnya merupakan kerja untuk membuat hidup
bersama sebagai bangsa majemuk ini agar secara kultural, struktural semakin
“manusiawi”. Artinya, semakin saling menyejahterakan satu sama lain dan
negara dengan edukasinya, kesehatannya, hukum adilnya, program ekonomi
prorakyat dan bukan propasar melulu serta kerjakerja penyejahteraan
sebenarnya menapaki jalan yang harus semakin menuju peradaban.
Artinya, dari kondisi tega saling mengerkah sebagai serigala (Homo homini
lupus) menuju ke kondisi hidup bersama di mana sesama adalah rekan atau
sahabat untuk Indonesia yang adil, beradab dan sejahtera saling menghormati
(Homo homini socius).
Di sinilah pendekatan kebudayaan yang melihat realitas masyarakat dalam
berbangsa dan bernegara dari sudut pandang mentalitas manusianya,“nilai
yang diacu” oleh individu maupun bersama menemukan relevansinya ketika kita
sedang sulit untuk menghayati nilai saling percaya dan nilai mau peduli
serta toleransi pada keragaman kita.
Tidak cukup penyadaran sebagai pengetahuan kognitif. Tidak pula cukup hanya
teknis instrumentalis pragmatis namun butuh jalan panjang menghayati proses
pembatinan, keteladanan, dan kerendahan hati mau saling belajar satu sama
lain dan mau saling berbagi dan bukan rebutan tanah dan air serta kekayaan
bumi pertiwi ini. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar