Pernah
dalam suatu kesempatan Direktur Jenderal (Dirjen) Pendidikan Tinggi Djoko
Santoso berseloroh sebelum beliau memulai presentasi,bahwa sebenarnya
pengangguran tamatan pendidikan tinggi itu tidak serius.
Kenapa? Karena para sarjana yang dianggap menganggur bukanlah menganggur.
Mereka yang masih berpikir untukmencaripekerjaansebenarnya telah bekerja
setidaknya memikirkan pekerjaan. Pada kesempatan lain tahun 1990-an,Aris
Ananda, ekonom jebolan Duke University, juga pernah menyatakan bahwa
menganggur itu merupakan jasa mewah, alias masuk kategori waktu “luks”.
Oleh karena itu,para penganggur tidak perlu dikasihani, karena mereka yang
menganggur masih menerima subsidi dari keluarga. Sepanjang subsidi itu
masih tersedia, maka menganggur masih akan jalan terus. Kedua pandangan di
atas tentunya hanyalah sebuah pandangan yang skeptis, di mana persoalan
pengangguran terdidik sebenarnya sebuah fenomena mirip gunung es.
Di Eropa, krisis saat ini memang telah membuat angka pengangguran tertinggi
dalam abad ke-21. Katakan itu terjadi di Italia, Spanyol, dan Yunani. Angka
pengangguran terdidik usia muda sudah di atas 55%. Hingga kini belum ada
tanda-tanda angka pengangguran di Eropa untuk menurun.
Pengangguran di negara di mana pasar kerjanya formal, serta pemerintahan
menganut “negara kesejahteraan”, persoalan pengangguran jauh lebih berat dibandingkan
dengan persoalan pengangguran terbuka di negara berkembang, karena
masyarakatnya sudah dimanjakan dengan sistem kompensasi pengangguran.
Pekerjaan nonformal sulit ditumbuhkan, karena masyarakatnya tidak terbiasa
untuk masuk ke pasar kerja di luar sistem upahan, selain dari ketatnya
regulasi.
Sebaliknya pada masa di mana Indonesia tumbuh ekonominya pada rentang
6–6,5%, angka pengangguran terbuka telah menurun.Angka terakhir tahun 2012
mendekati 6% telah turun sekitar 3% poin dibandingkan dengan lima tahun
sebelumnya 2007. Namun, rendahnya angka pengangguran terbuka itu tidak
sejalan dengan angka pengangguran terdidik dan kalangan muda.Variasinya
sangat jelas dan besaran angka pengangguran tetap membahayakan.
Data pengangguran terdidik memang baru menampilkan persentase penganggur
berdasarkan jenjang pendidikan yang ditamatkan, sehingga angka total
pengangguran terdidik tidak separah yang dibayangkan. Data dasar Susenas
ketika di lebih detail temuan justru mencengangkan. Untuk jurusan-jurusan sains
dasar dan ilmu pertanian,angka pengangguran sarjananya setidaknya sudah di
atas 30%.
Angka pengangguran bidang sosial,seperti hukum,keagamaan,
ilmusosiallainnya,dansastra, angka pengangguran juga pada kisaran itu.Hanya
untuk bidangbidang tertentu, seperti IT, akuntansi, dan bisnis, angka
pengangguran di bawah 10%. Angka pengangguran tamat SLTA masih tinggi
sekalipun tamat pendidikan kejuruan.
Persoalan pengangguran terbuka anak muda dan mereka terdidik lebih
diperparah lagi dengan kenyataan mereka yang bekerja, namun masih rendah
jam kerjanya. Jika digabung antara pengangguran dan bekerja di bawah jam
kerja normal (di bawah 15 jam per minggu),maka jelas fenomena pengangguran
terselubung bagi anak muda dan terdidik adalah fenomena sangat serius ke depan.
Benahi Sisi Suplai
Pada kesempatan ini, yang sangat perlu diperhatikan dalam kaitan dengan
pengangguran terselubung anak muda, dan terdidik adalah menyiapkan nilai
stok keterampilan mereka. Dengan naiknya angka pengangguran terselubung
terdidik, dapat dipastikan bahwa pada masa yang akan datang proses
pendidikan mesti lebih diarahkan untuk peningkatan psikomotorik serta
keterampilan- keterampilan kerja yang mesti dikuasai oleh peserta didik.
Siapa yang membenahi sisi penawaran “supply side”? Apa pula yang harus
dibenahi? Pada sisi penawaran,maka yang mesti dibenahi adalah keterampilan
kerja. Mustahil kalau keterampilan kerja anak muda tidak ada,mereka akan
mudah hidup secara mandiri.Oleh karena itu, peta keperluan penyediaan
keterampilan kerja menjadi sangat perlu disiapkan oleh masing-masing
daerah.
Ketika peta keterampilan disusun dan dirumuskan,masingmasing pemerintah
daerah perlu mendorong agar jenjang pendidikan menengah dan tinggi
dipermudah proses perizinan, serta pemusatan dan pengembangan bidang-bidang
keterampilan yang disediakan. Selama ini, gagasan untuk mewujudkan
pergeseran komposisi pendidikan kejuruan belum ditindaklanjuti oleh
penguatan instruktur, serta bengkel- bengkel kerja.
Gagasan menuju 60% tamatan pendidikan berketerampilan untuk jenjang
pendidikan menengah atas sepertinya hanya dilempar oleh Kementerian
Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud). Kemudian dengan desentralisasi
pembangunan, daerah-daerah tidak melihat persoalan ini merupakan sebuah
yang urgen untuk ditindaklanjuti.
Menyediakan tenaga-tenaga pada level 4–7 dalam kerangka kualitas pendidikan
tinggi Indonesia Indonesian Quality
Framework (IQF),memerlukan keseriusan dari pemerintah daerah. Karena
menyediakan keterampilan kerja itu memerlukan tenaga, infrastruktur
pendukung, dan sistem pendidikannya.
Sementara untuk jenjang pendidikan tinggi, pemerintah baru menggarap
lahirnya kepoliteknikan.Itu pun masih jauh dari kebutuhan yang mesti
disediakan.Pendidikan tinggi umum dan kepoliteknikan juga daya geraknya
masih sedikit.Ditambah regulasi yang belum mendorong keterlibatan
masyarakat untuk menyediakan pelayanan pendidikan.
Lantas, bagaimana pula keterlibatan Kementerian Tenaga Kerja dan
Transmigrasi? Sama saja dengan Kemendikbud, balai-balai latihan tenaga
kerja yang selama ini tersedia masih jauh aktivitasnya untuk menjawab
kebutuhan keterampilan lokal.Alasan klasik, pemerintah daerah tidak
memiliki pembiayaan untuk menyediakan kursus keterampilan.
Oleh karena itu,pengangguran terselubung sebaiknya dijadikan sebagai agenda
yang mendesak untuk diselesaikan. Tentunya ini dapat dilakukan bilamana
pemerintah tidak saja terkesima dengan penurunan angka pengangguran
terbuka, namun potensi pengangguran terdidik yang terselubung terutama
disebabkan kurangnya keterampilan kerja. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar