Sepanjang kondisi
konsumerisme, materialisme, dan hedonisme lebih merajai dan menguasai,
sepanjang itu pula korupsi akan masih membelenggu.
Dalam kondisi negara-bangsa
kita yang tampak semakin dikuasai sikap materialisme, konasumerisme, dan
hedonisme ini, banyak elite dari tingkat pusat hingga daerah terbelenggu
korupsi. Kasus terbaru yang banyak dilansir media massa adalah dugaan
keterlibatan Andi Mallarangeng (mantan Menpora) dan Luthfi Hasan Ishaaq
(mantan Presiden Partai Keadilan Sejahtera - PKS) . Selain nama-nama di
tingkat pusat itu, tentu masih banyak nama-nama di tingkat daerah provinsi
atau kabupaten yang terbelit korupsi.
Kita
menyaksikan drama kepemimpinan yang sarat korupsi merupakan sebuah ironi
besar di tengah bangsa ini. Ironi ini hampir setiap hari diberitakan media
massa, dan dalam masyarakat komunikasi sekarang ini kita semua tahu dengan
cepat. Hampir dalam segala lini terjadi korupsi, dan bahkan tingkat korupsi
semakin lama semakin menggila.
Jika
di masa Orde Baru, praktik korupsi terjadi karena kesempatan, sekarang tak
terbatas hanya kesempatan tapi bahkan telah direncanakan dan diprogram.
Dan, ironisnya, para pelaku korupsi semakin tak punya rasa malu meski sudah
terbukti korupsi.
Korupsi
ibarat gerbong perusak rumah negara-bangsa kita. Oleh karena amat banyaknya
korupsi, di negara kita korupsi seperti tampak menjadi hal yang biasa,
telah terbudayakan. Kondisi ini tentu amat memprihatinkan, apalagi dengan
adanya hukuman yang tak setimpal bagi pelaku korupsi.
Padahal
korupsi yang dilakukan, jelas-jelas berimbas telah menyengsarakan rakyat.
Tampaknya, lembaga hukum di negara ini masih terlalu lunak memperlakukan
para pelaku korupsi, terlalu mudah memberi remisi, sehingga para pelakunya
itu tak merasa jera.
Kasus
korupsi yang sebenarnya dapat ditangani oleh lembaga yudikatif, kini
terkesan sudah tak bertaring lagi untuk menangani pelaku korupsi. Karena
itulah, kini kita sampai harus punya satu lembaga independen, yakni Komisi
Pemberantasan Korupsi (KPK). Keharusan adanya lembaga ini, mencerminkan
korupsi di negara kita sudah sangat parah dan akut, sehingga tak mampu lagi
ditangani oleh lembaga kepolisian dan kejaksaan yang seharusnya menjadi
wewenang dan tanggung jawabnya.
Kondisi
korupsi seperti ini menjadi titik-balik perjuangan para founding fathers
bangsa. Penghuni negara-bangsa yang ada pada saat ini seperti tak lagi
diarusi semangat pantang menyerah membela negara-bangsa (nation-state).
Namun, yang terjadi justru adalah semakin banyaknya orang yang menggerogoti
negara-bangsa untuk kepentingan pribadi dan kelompoknya.
Orang seperti tak bertanya
lagi seperti kata-kata bijak dalam dunia politik sebagaimana yang pernah
digaungkan mendiang Presiden F Kennedy tentang "apa yang dapat kita berikan kepada negara-bangsa dan bukan
apa yang diberikan negara-bangsa kepada kita." Arah dan semangat
terbalik ini membuat orang tampak semakin jauh dari nilai-nilai dedikatif
dan patriotik yang justru seharusnya tetap ada sepanjang negara ini ada.
Yang
jelas, dalam negara-bangsa yang sudah terbelenggu korupsi, kita tentunya
masih merindukan kondisi bangsa yang bebas dari korupsi. Kerinduan ini
seharusnya menjadi kerinduan bersama, yang diikuti dengan kemauan dan
tindakan untuk secara konsisten membangun nilai-nilai dedikatif dan
patriotik itu kembali. Dan, nilai-nilai itu secara inklusif kita tumbuhkan
dalam diri kita masing-masing.
Apabila
itu bisa terjadi, barulah akan terbuka harapan menuju negara-bangsa tanpa
korupsi. Namun, sepanjang kita masih menganut dan mementingkan kepentingan
individu dan kelompok di atas kepentingan negara-bangsa, serta sepanjang
kondisi konsumerisme, materialisme, dan hedonisme lebih merajai dan
menguasai, sepanjang itu pula korupsi akan masih membelenggu.
Hati
Nurani
Agar
terbebas dari korupsi, kita harus memiliki strategi menuju negara-bangsa
tanpa korupsi. Strategi ini semestinya tertanam dalam diri kita, dan
benar-benar ada pada hati yang paling dalam. Jika kita memang benar-benar
mencintai negara-bangsa sebagai rumah bersama, kita harus mau secara sadar
dan sukarela mewujudkan strategi itu untuk melawan kehendak korupsi yang
menghantui kita. Kita harus dapat mengalahkan kekuatan keinginan korup
dalam setiap kesempatan demi negara-bangsa.
Sebenarnya
banyak strategi sederhana yang dapat kita lakukan agar terbebas dari
korupsi. Di antaranya: pertama, kita harus selalu berikhtiar membiasakan
diri hidup dengan bersahaja, sederhana, tak konsumtif, dan tak bergaya
hidup mewah. Kedua, kita harus membalik orientasi hidup materi sebagai
tujuan hidup ke arah penghasilan karya, prestasi, dan keutamaan hidup.
Ketiga, kita harus selalu dapat mensyukuri apa saja yang kita mampu,
peroleh, dan hasilkan. Keempat, selalu berorientasi dan berikhtiar
mengedepankan sikap memberi dan bukan menerima. Kelima, dalam hidup kita
mengedepankan prinsip memenuhi kebutuhan dan bukan mengikuti keinginan yang
tiada batas.
Semua
strategi itu akan efektif kita lakukan, jika kita mampu memerintah dan
menguasai diri kita sendiri. Kita harus mengejawantahkan dalam tindakan
nyata atau dalam kehidupan keseharian untuk bertindak tanpa korupsi. Dan,
tindakan itu diharuskan oleh hati nurani. Percayalah, jika kita mengikuti
hati nurani, kita akan berjalan di jalan yang benar dan tak akan tergoda
melakukan korupsi. Korupsi terjadi karena kita mengabaikan dan menjauhi
hati nurani. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar