Pertemuan bertema ”Indonesia
Mencari Pemimpin” digelar sebuah media. Pihak lain, Gerakan Indonesia
Memilih, juga melakukan upaya yang sama. Lembaga Survei Indonesia melakukan
survei terhadap 200 pemimpin opini dari seluruh Indonesia untuk mengetahui
siapa tokoh-tokoh yang dianggap layak memimpin Indonesia.
Gerakan untuk mencari tokoh-tokoh yang dianggap layak memimpin bangsa
dan negara itu dilakukan karena nama-nama yang sudah ditampilkan sejumlah
partai dianggap kurang memenuhi syarat. Tiga nama dari partai sudah
beredar, yaitu Aburizal Bakrie, Prabowo Subianto, dan Megawati yang baru
saja menyatakan siap untuk maju lagi dalam Pemilihan Presiden 2014. Survei
terhadap pemimpin opini oleh LSI menampilkan lima nama, yakni Mahfud MD,
Jusuf Kalla, Dahlan Iskan, Sri Mulyani Indrawati, dan Hidayat Nur Wahid. Di
samping itu ada tokoh partai yang diduga punya minat untuk menjadi calon
presiden/calon wakil presiden, yaitu Hatta Rajasa. Tentu ada nama lain yang
akan muncul pada 2013 yang merupakan tahun penentuan bagi siapa pun yang
ingin tampil dalam Pilpres 2014.
Kemunculan Pemimpin
Bung Karno tidak dicari. Beliau muncul sendiri secara alamiah melalui
perjuangan dalam waktu panjang untuk menggugah kesadaran warga supaya
berjuang menjadi bangsa dari negara merdeka. Pidato Indonesia Menggugat
masih tetap menjadi bacaan anak-anak bangsa sampai kapan pun. Pidato yang
mengangkat Pancasila akan tetap menjadi naskah kesejarahan kita. Pak Harto
muncul secara tiba-tiba di tengah kemelut luar biasa dan di saat penuh
ketidakpastian. Pada awal Oktober 1965, Pak Harto berani mengambil alih
kendali, yang dipegangnya sampai Mei 1998.
Enam kali pemilihan presiden selama era Orde Baru dilakukan MPR yang
sebenarnya di bawah kendali Pak Harto. Golkar tidak lain adalah kepanjangan
tangan Pak Harto. MPR juga tidak mampu membatasi masa jabatan presiden
maksimal dua kali sesuai aturan UUD yang rumusannya plastis implisit. Pak
Habibie adalah tokoh yang dipersiapkan Pak Harto meskipun tidak semua tokoh
di sekeliling Pak Harto mendukungnya. Gus Dur (Abdurrahman Wahid) dan Ibu
Mega bukan pemimpin yang dicari-cari, tetapi muncul secara alamiah karena
berani menentang pemerintah Orde Baru. Gus Dur sejak lama menjadi pejuang
demokrasi dan hak asasi manusia yang menjadi penganjur pluralisme.
Masyarakat Tionghoa dan non-Islam amat merasakan pengayoman Gus Dur.
Ada perubahan besar pada era Reformasi setelah Pemilihan Presiden
2004 dilakukan secara langsung. Banyak tokoh menampilkan diri. Pada
Pemilihan Presiden 2004 ada 3 mantan jenderal/mantan menteri, 3 ketua umum
partai, 2 pengusaha/politisi, dan 2 tokoh ormas yang maju sebagai capres
dan cawapres. Ternyata, tokoh partai dan tokoh ormas tidak bisa menandingi
idola sebagian besar masyarakat saat itu, yaitu Susilo Bambang Yudhoyono
(SBY).
SBY adalah pemimpin yang muncul dalam situasi yang relatif tenang
dibandingkan 1945, 1965, dan 1998. Saya menduga, persiapan untuk bisa
menampilkannya telah cukup lama dilakukan dengan cara yang tepat. Bukan
partai yang menentukan kemenangan, tetapi SBY.
Pada 2009, persyaratan jumlah kursi untuk bisa mengajukan capres/cawapres
dinaikkan menjadi 20 persen. Maka, hanya tiga pasang calon yang bertanding.
Kembali SBY tampil sebagai pemenang. Pada 2014, SBY tidak bisa maju lagi
sebagai capres. Karena belum ada tokoh yang dianggap ideal oleh masyarakat
dan punya peluang besar untuk menang, artinya tokoh yang tampil secara
alamiah, tokoh-tokoh yang populer didorong untuk maju sebagai
capres/cawapres, misalnya Rhoma Irama.
Suka atau tidak suka, tampaknya salah satu syarat utama untuk maju
sebagai capres adalah mempunyai dana dalam jumlah amat besar, bukan
kemampuan dan karakter yang bertumpu pada integritas. Tidak heran mereka
yang sudah tampil dan yang akan tampil sebagai peminat untuk menjadi capres
adalah pengusaha. Mereka tidak muncul secara alamiah. Namun, fenomena Jokowi
dalam Pilkada DKI menunjukkan akan ada pihak yang bersedia membantu dana
kalau calonnya memberi harapan besar dalam meraih suara pemilih.
Pemimpin Seperti Apa?
Dari berbagai survei, pemimpin yang diinginkan adalah pemimpin yang
punya integritas, tegas, berani, dan pemimpin yang efektif. Tentu masih
banyak lagi persyaratan lain, seperti rasa keadilan, cepat mengambil
keputusan, dekat dengan rakyat, dan memihak pada rakyat. Kita juga
membutuhkan pemimpin yang memahami dengan baik perjalanan kesejarahan bangsa
baik di dalam negeri maupun di dunia internasional.
Juga pemimpin yang memahami dan menghargai keberagaman yang merupakan
fitrah bangsa Indonesia. Kita perlu pemimpin yang menghargai hak asasi
manusia, menyadari bahwa RI belum menjadi negara hukum, dan harus berjuang
mewujudkannya.
Kita membutuhkan kombinasi pemimpin berjenis man of action, yaitu manusia petindak atau eksekutor dengan
pemimpin berjenis man of ideas,
manusia pemikir. Bung Karno dulu mengangkat Ir Juanda sebagai menteri
pertama yang merupakan semacam perdana menteri yang bertanggung jawab
kepada presiden. Menteri pertama itulah yang menjalankan roda pemerintahan
sehari-hari. Presiden adalah kepala negara yang menunjukkan arah ke mana
bangsa dan negara menuju dengan visi jangka panjang.
Pak Harto adalah man of action
yang punya visi jangka panjang. Namun, Orde Baru tidak menghormati hak
asasi manusia dan tidak berhasil mewujudkan negara hukum. Pendekatan
kekerasan terlalu diutamakan. Terlalu lamanya Pak Harto menjadi pemimpin
membuat beliau kurang peka terhadap tuntutan yang dihadapi seiring
perubahan zaman.
Pak Harto adalah presiden yang amat kontroversial, banyak
pengagumnya, tetapi banyak juga yang tidak suka bahkan membenci, seperti
korban tindak kekerasan Orde Baru.
Pak Habibie, meski hanya menjabat 17 bulan, mampu menyelesaikan
masalah berat yang dihadapi, yakni menaikkan nilai rupiah terhadap dollar
AS secara signifikan, memberi kebebasan pers, dan membuka pintu demokrasi
dengan mengizinkan berdirinya partai baru untuk ikut Pemilu 1999 yang
menjadi pemilu terbaik setelah 1955. Hal tersebut menunjukkan Habibie
adalah eksekutor yang baik.
Terlepasnya Timor Timur dari wilayah RI membuat laporan
pertanggungjawaban Habibie tidak diterima MPR. Karena itu, Habibie tidak
bersedia maju sebagai calon presiden. Ahmad Syafii Maarif bersama saya ikut
mencoba membujuk Habibie supaya mau dicalonkan, tetapi tidak berhasil.
Besar sekali harapan masyarakat terhadap duet Gus Dur dan Ibu Mega.
Sayang sekali, Gus Dur tidak berhasil menyelesaikan masa jabatannya, hanya
bertahan selama 21 bulan, karena kurang berhasil menjaga keutuhan
pemerintah sehingga terpaksa membubarkan DPR/MPR yang berakibat pada
pelengserannya.
Megawati meneruskan masa jabatan Gus Dur selama 39 bulan dan belum
banyak prestasi yang signifikan. Presiden SBY dan Wakil Presiden Jusuf
Kalla adalah kombinasi antara man of
ideas (SBY) dan man of action
(JK). SBY adalah pemimpin yang memikirkan masalah kebijakan jangka panjang,
dan JK memikirkan implementasi kebijakan itu dalam operasionalisasi
sehari-hari seperti kombinasi Bung Karno dan Ir Juanda. Kita mencatat cukup
banyak keberhasilan duet SBY-JK.
Saat ini belum ada tokoh dengan tingkat keterpilihan tinggi yang
muncul secara alamiah. Mungkin yang punya potensi seperti itu saat ini
adalah Jokowi, tetapi terlebih dahulu harus membuktikan keberhasilan
sebagai Gubernur DKI. Karena itu, tokoh tersebut harus dicari dan
diperkenalkan kepada publik. Kita juga sulit menemukan satu tokoh yang
sekaligus pemikir dan petindak. Maka, kita bisa mencari kombinasi dari
kedua jenis pemimpin di atas. Kalau yang satu pengusaha (mungkin man of action), pasangannya jangan
pengusaha. Bisa tokoh yang memahami dengan baik perjalanan kesejarahan
Indonesia. Kita jangan memilih pemimpin yang punya beban masalah masa lalu.
Integritas adalah syarat yang tidak boleh diabaikan. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar