Bias Syarat
Subjektif Penahanan
Herie Purwanto ; Dosen Fakultas Hukum Universitas Pekalongan (Unikal)
|
SUARA
MERDEKA, 19 Januari 2013
"Apabila tersangka dari
kalangan tertentu, muncullah tudingan ada pengistimewaan sebagaimana
diterima Rasyid"
MASYARAKAT kadang menimpakan
stigma diskriminatif kepada penyidik, yang menangani perkara pidana dengan
tersangka dari kalangan tertentu, semisal artis, figur publik, pejabat,
penguasa, atau anak mereka. Tudingan itu kembali terdengar di ruang publik
tatkala penyidik tidak menahan Rasyid Amrullah Rajasa, putra dari Hatta
Rajasa, Menko Perekonomian, yang menjadi tersangka kasus kecelakaan yang
menewaskan dua orang.
Tudingan itu antara lain datang
dari Ketua Presidium Indonesia Police Watch (IPW) Neta S Pane yang
berpendapat tak ada alasan bagi penyidik Polda Metro Jaya untuk tidak menahan
Rasyid. Kelalaiannya yang menyebabkan orang lain meninggal dunia sudah
memenuhi unsur untuk menahannya kendati ada jaminan dari keluarga. Neta
menilai kebijakan penyidik sebagai sikap diskriminatif dan
pengistimewaan.
Kemunculan tudingan tersebut
bisa dianggap sebagai sesuatu yang wajar, dan tidak terbantahkan. Meskipun,
pada sisi lain secara yuridis formal masalah penahanan tersangka bukanlah
menjadi kewajiban bagi penyidik. Namun, bisa atau dapat dilakukan penahanan
bila sudah memenuhi syarat subjektif sekaligus syarat objektif, sebagaimana
diatur dalam Pasal 21 UU Nomor 8 Tahun 1981 tentang KUHAP.
Batasan syarat subjektif
menyebutkan bahwa penahanan bisa dilakukan apabila ada kekhawatiran
tersangka/ terdakwa melarikan diri, merusak, menghilangkan barang bukti, atau
mengulangi perbuatannya. Tiga unsur subjektif itu menjadi batasan yang masuk
kategori grey area atau wilayah abu-abu, sehingga acap pada kasus yang sama,
tersangka mendapat perlakuan yang berbeda dari pihak penyidik.
Fenomena yang dirasakan oleh
masyarakat adalah ketika tersangka ”hanya orang biasa”. Dalam kedudukan ini,
bila sudah terpenuhi syarat penahanan maka tidak menunggu waktu lama, surat
perintah penahanan segera diterbitkan. Namun, apabila tersangka dari kalangan
tertentu, muncullah tudingan ada pengistimewaan, sebagaimana diterima Rasyid.
Meskipun dalam praktik, penyidik pasti kembali mendalihkan pada alasan
subjektif tadi.
Penyidik yang tidak menahan
tersangka dengan mendasarkan alasan subjektif tadi adalah benar bila kita
melihat dari kacamata yuridis formal. Tapi publik pasti memandangnya sebagai
tercederainya rasa keadilan, sikap diskriminatif, bahkan bisa memunculkan
sangkaan ada sesuatu di balik itu. Dugaan itu misalnya, penyidik ewuh-pekewuh
dengan seseorang terkait dengan tersangka itu, atau ada kompensasi tertentu
yang mengarah pada bentuk-bentuk kolusi.
Padahal dalam konteks
keberhasilan suatu penyidikan, tidak ditahannya tersangka meskipun sudah
memenuhi syarat objektif ataupun subjektif, adakalanya punya beberapa tujuan
tertentu yang hendak dicapai. Bisa jadi, tidak ditahannya tersangka menjadi
strategi pengungkapan perkara secara lebih tuntas.
Wilayah Abu-abu
Sejatinya, wilayah abu-abu atau
grey area memang bisa menjadi
peluang terjadinya abuse of power.
Bahkan pada titik tertentu, peluang ini sengaja dibuka lebar-lebar oleh oknum
penyidik untuk dijadikan lahan guna kepentingan pribadi. Beban psikologis
tersangka menjadi daya tawar. Secara manusiawi, tentu tak ada seorang pun
yang ingin kebebasannya dirampas. Padahal hakikat penahanan adalah
pengekangan kebebasan.
Maka, pada kasus tertentu
tersangka biasanya mendesak penyidik untuk bisa mempercepat pemberkasan
kasus yang membelit dirinya sehingga perkara tersebut bisa segera
dilimpahkan, dan cepat disidangkan guna memperoleh putusan. Berada dalam
bilik tahanan, menghitung hari, dengan keterbatasan ruang gerak, pasti sangat
menyiksa batin manusia. Karena itu, kita teramat sering mendengar tahanan
berusaha kabur. Inilah gambaran psikologis ketidaknyamanan ketika seseorang
harus menjalani penahanan.
Belum lagi, bila membayangkan
menjalani masa penahanan berarti berkumpul dengan tersangka atau terdakwa,
bahkan terpidana, dengan beragam latar belakang kejahatan yang dilakukan.
Lengkaplah sudah betapa tidak enaknya menghabiskan waktu dengan menyandang
status sebagai tahanan. Padahal di tempat itu sudah pasti orang akan
menjalani hari-hari yang tidak nyaman dan kejenuhan yang berkepanjangan.
Tapi pada sisi lain, penyidik
bisa menjadikan kondisi itu sebagai pressure guna menggali keterangan dari
tersangka dengan mendalihkan janji-janji penangguhan atau pengalihan jenis
tahanan. Semua itu sangat mungkin terjadi karena memang ada celah dari hukum
positif kita. Karena itu, konsep hukum acara kita era mendatang perlu
mengatur kewajiban hukum bagi penyidik, bukan memberikan pilihan yang rentan
untuk terjadinya diskriminasi hukum dalam penahanan. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar