Quo Vadis
Pencalonan Ical?
Ridho Imawan Hanafi ; Peneliti Masalah Politik
dari
Soegeng Sarjadi Syndicate Jakarta
|
SUARA
MERDEKA, 19 Januari 2013
PENCALONAN Ketua Umum DPP
Partai Golkar Aburizal Bakrie yang akrab dipanggil Ical sebagai calon
presiden (capres) 2014 dari partai berlambang pohon beringin ternyata belum
sepenuhnya tuntas. Dalam internal partai, pencalonan pengusaha besar itu
masih mengandung setumpuk keragu-raguan.
Ketua Dewan Pertimbangan Pusat
DPP Partai Golkar Akbar Tandjung misalnya, mengingatkan partai untuk kembali
mencermati elektabilitas Ical yang saat ini tidak kunjung bergerak naik.
Elektabilitas pimpinan tertinggi partai itu masih di bawah elektabilitas partai.
Ingatan Akbar seperti menyiratkan pesan akan ketidakyakinan kemenangan Ical.
Memang partai itu secara formal
telah memutuskan dengan status final terkait dengan pencapresan Ical. Bahkan
lewat Rapimnas Partai Golkar pada Oktober 2012, keputusan untuk meneguhkan
pencalonan Ical sudah tidak dapat ditawar lagi. Yang menjadi pertanyaan
publik, kenapa peneguhan seperti itu tidak segera menghasilkan perbandingan
lurus terhadap pengerucutan dukungan dari kalangan internal? Yang tampak
perlahan-lahan justru berkebalikan, yakni kemunculan suara-suara yang
menginginkan partai perlu kembali mengevaluasi pencalonan Ical.
Setidak-tidaknya ada dua
pembacaan yang bisa dilihat dari suasana ''batiniah'' Golkar saat ini.
Pembacaan pertama; meskipun sejauh ini keputusan partai untuk mencalonkan
Ical bersifat final, tidak bisa dimungkiri bahwa kerikil sandungan bagi tokoh
itu masih belum terbersihkan. Artinya, Ical dan Golkar masih butuh kesolidan
internal yang kukuh untuk menapaki kontestasi pilpres. Kesolidan yang kukuh
sejauh ini masih rawan goyah. Di antara pengkritik Ical malah masih
menyuarakan supaya Gokar melirik calon lain.
Bagi Ical, situasi internal
tersebut tentu tidak menguntungkan. Pencalonannya rupanya masih ada yang
mempersoalkan. Yang dikhawatirkan adalah, dukungan bagi Ical oleh pengurus
internal tidak dilakukan dengan sepenuh hati. Padahal, untuk hal ini Ical
membutuhkan satu sikap yang firm, sikap yang satu kata satu perbuatan dari
pengurus partai. Baginya, jika di kalangan internal saja sikap politik yang
diisi keteguhan dukungan tidak juga muncul bagaimana mereka akan menghadapi
lawan.
Hal seperti itu tentu didorong
oleh faktor elektabilitas Ical. Faktor ini memperlihatkan adanya jeda
penerimaan publik antara Golkar sebagai partai dan Ical selaku pimpinan
tertinggi. Dalam berbagai rilis survei yang dilakukan oleh berbagai lembaga,
Golkar memang menempati posisi teratas. Namun, lain hasilnya bagi Ical.
Elektabilitas Ical masih kalah bersaing dengan nama-nama seperti Megawati
Soekarnoputri, Prabowo Subianto, bahkan dengan Jusuf Kalla. Artinya, posisi
elektabilitas inilah yang mengunggah keraguan.
Bagaimanapun setiap kali hajat
pilpres digelar, Golkar akan selalu terbayang memori kekalahan dalam dua
pilpres sebelumnya. Pada Pilpres 2004, dan posisi Golkar adalah pemenang
pemilu, realitasnya tak bisa mengantarkan capres yang mereka usung untuk
meraih kemenangan. Begitu halnya dengan tahun 2009, capres dari Golkar juga
tak bisa berbuat banyak dalam pertarungan.
Mengulang Proses
Dua kekalahan seperti itu tentu
memberi pelajaran tersendiri bagi Golkar untuk bersikap ekstrahati-hati agar
tidak mengulang kekalahan serupa. Tidak hanya itu, saat ini publik juga masih
menyimpan tanda tanya besar terhadap sosok Ical.
Menyebut nama Ical bukan tidak
mungkin publik akan menautkan pada sejumlah persoalan, seperti lumpur Lapindo
Sidoarjo dan kasus pajak yang melibatkan beberapa perusahaannya. Ganjalan
publik inilah yang bisa menjadi beban pemberat bagi Golkar untuk mengibarkan
nama Ical.
Kedua; mengetahui kondisi
seperti itu apa yang akan dilakukan Golkar? Ada dua pilihan bagi Golkar untuk
disodorkan: tetap mempertahankan Ical sebagai calon presiden atau merevisi
ulang pencalonannya. Terkait dengan pilihan pertama, Golkar dihadapkan dengan
risiko peluang-peluang ketidakyakinan kemenangan Ical.
Berbagai referensi
penelitian kuantitatif menunjukkan bahwa peluang Ical untuk menang tidaklah
besar. Dengan kata lain, tetap majunya Ical dalam pilpres semestinya juga
disadari Golkar bagaimana nanti hasilnya.
Sementara pilihan kedua, Golkar
bisa merevisi pencalonan Ical dengan melirik beberapa nama lain yang memiliki
elektabilitas yang lebih memungkinkan untuk menang. Hanya, pilihan ini juga
bukan tidak mengandung resiko. Salah satunya adalah memunculkan diaspora
suara dukungan yang tidak mudah untuk dikendalikan.
Dalam hal ini Golkar bisa
seperti mengulang proses awal yang tentu memerlukan energi politik yang tidak
kecil. Dua pilihan bagi Golkar memang sama-sama mengandung risiko. Namun
pilihan dengan kalkulasi kemenangan setidak-tidaknya sudah menabung satu
langkah dan keyakinan. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar