Bahasa
Indonesia Direndahkan dan Disepelekan
R Tuwoliu Mangangue ; Pengajar pada Fakultas Bahasa dan Seni,
Universitas Negeri Manado (Unima) di Tondano, tinggal di Manado |
SUARA
KARYA, 19 Januari 2013
Sangat menarik tulisan Kurnia JR
yang dimuat di rubrik Bahasa Kompas (21/9) dengan judul "Bahasa
Lisan". Menurutnya, tidak banyak wartawan media elektronik, televisi dan
radio, yang bahasa lisannya bagus atau memenuhi standar dan kaidah bahasa
baku, efektif, dan ekonomis ketika menyampaikan laporan langsung.
Dia menduga bahwa para wartawan
itu hanya cacat dalam bahasa lisan, sedangkan bahasa tulis mereka lebih baik.
Penulis yang piawai dan indah dalam tulisan pun tidak niscaya sempurna dalam
ragam lisan. Ini disebabkan oleh kemalasan melatih keselarasan lidah dengan
pikiran.
Bila bahasa lisan yang memenuhi
standar dan kaidah bahasa yang baku dianggap lebih sulit daripada bahasa
tulis, tentu hal ini dapat dimaklumi. Dalam bahasa lisan, penutur atau
penyiar dalam ucapan atau dialog spontan hanya memiliki sedikit waktu untuk
berpikir dan memilih kata-kata yang tepat yang memenuhi standar dan sesuai
dengan kaidah bahasa yang baku ketika membuat kalimat.
Ini jelas
berbeda dengan bahasa tulis. Dalam bahasa tulis, kita memiliki banyak waktu
untuk berpikir dan memilih kata-kata yang tepat yang memenuhi standar dan
sesuai dengan kaidah bahasa yang baku dalam merangkai sebuah kalimat.
Untuk menguasai
bahasa tulis, kita harus mempelajari tata bahasa yang baku. Sedangkan untuk
menguasai bahasa lisan, kita harus menguasai dengan baik terlebih dulu bahasa
tulis. Bila hanya sampai di sini, tentu ini tidak cukup.
Selain belajar
dari orang-orang yang piawai dalam berbahasa lisan, kita pun perlu
mempraktikkannya setiap hari. Ini mungkin yang kurang atau sama sekali tidak
kita lakukan.
Kita terlalu
meremehkan bahasa kita, karena menganggap bahasa Indonesia sangat mudah. Kita
menganggap bahwa dalam berbahasa untuk menyampaikan maksud hati kita kepada
lawan bicara yang terpenting adalah dia mengerti kalimat yang kita ucapkan.
Sementara
kalimat yang amburadul atau tidak mengikuti kaidah bahasa yang ada tidaklah
menjadi masalah. Yang penting, sekali lagi, lawan bicara kita memahami apa
yang kita maksudkan.
Itu memang
benar. Namun, dalam berbahasa kita harus senantiasa memperbaiki
kesalahan-kesalahan yang telah dilakukan sehingga kita menjadi piawai dan
lawan bicara yang mendengarkan ucapan kita menjadi terbuai dan memotivasi
dirinya untuk melakukan hal yang sama. Sehingga, berkeinginan menjadi salah
satu anggota dari kelompok intelek dalam berbahasa Indonesia.
Namun, sangat
mengejutkan ketika isteri penulis menceritakan pengalamannya terkait
penggunaan bahasa itu, tepatnya Bahasa Indonesia. Saat itu seorang guru sebuah
SMA terkenal di Manado hendak memfotokopi soal-soal untuk menyeleksi mereka
yang mendaftarkan diri untuk menjadi murid di SMA tersebut. Karena sudah
saling kenal, istri saya bertanya padanya.
"Soal-soal
mata pelajaran apa saja yang hendak difotokopi?" Lantas dia menjawab,
"Mata pelajaran IPA, IPS, dan Bahasa Inggris."
"Mengapa
tidak ada ada soal Bahasa Indonesia?" tanya isteri penulis kembali.
"Semua
calon murid sudah bisa berbahasa Indonesia. Jadi, itu tidak perlu,"
sahutnya kembali.
Bukan main.
Bahasa Indonesia sebagai bahasa nasional kita benar-benar dianggap rendah dan
disepelekan. Pengalaman yang menyedihkan itu terjadi setahun silam. Saat itu,
penulis memberikan ujian mata kuliah Bahasa Indonesia pada mahasiswa sebuah
sekolah tinggi teologi di Manado. Salah seorang mahasiswa yang ikut ujian
berasal dari Filipina. Nilai Bahasa Indonesia yang tertinggi justru diraih
oleh mahasiswa yang berasal dari Filipina itu.
Benar-benar
mengecewakan bagi seorang guru yang mengajarkan Bahasa Indonesia pula.
Mahasiswa asing justru lebih baik nilainya daripada mahasiswa Indonesia dalam
mata kuliah Bahasa Indonesia.
Untuk belajar
bahasa Indonesia dari buku, diperlukan sumber atau buku dengan teks yang
ditulis dalam bahasa Indonesia yang baik dan benar. Bila tidak, orang yang
belajar langsung dari sumber itu akan senantiasa membuat kesalahan. Ini
terjadi pada seorang pendeta yang berasal dari Filipina. Pendeta itu sudah
lama tinggal di Indonesia. Ia telah mengikuti pendidikan teologi untuk S-2
dan S-3 di Indonesia. Bahasa Indonesianya sangat baik.
Namun, Pendeta itu sering
menggunakan kata, "daripada" sedangkan seharusnya adalah kata,
"dari". Ini sebenarnya bukan kesalahan Pendeta tersebut tetapi
adalah sumbernya yang menjadi referensi bagi dirinya untuk belajar Bahasa Indonesia,
yaitu teks Alkitab terbitan Lembaga Alkitab Indonesia. Kesalahan penyakit
"daripada" ini sangat mendominasi teks Alkitab.
Agar bahasa lisan Indonesia sama
hebatnya dengan bahasa tulis, maka kita harus melatih dan mengasahnya dengan
menggunakan Bahasa Indonesia di rumah, di kantor, dan di tempat-tempat
lain-lain yang mendukung. Namun, faktanya, kita malu dan enggan menggunakan
Bahasa Indonesia sebagai bahasa "resmi" dalam percakapan di
tempat-tempat tersebut.
Sebaliknya, kita sangat memuji
setinggi langit mereka yang menggunakan bahasa asing sebagai bahasa
percakapan di dalam keluarganya, di kantor, dan lain-lain.
Lalu, siapa yang akan menggunakan
Bahasa Indonesia dengan baik? Pelajaran sangat berharga itu harus menjadi
cambuk untuk membenahi penggunaan Bahasa Indonesia sebagai bahasa pengantar
di kalangan anak bangsa. Kalau bukan kita yang bangga terhadap bahasa
nasional kita, siapa lagi? ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar