Penghargaan
Nyata bagi Kaum Ibu
FS Swantoro ; Peneliti dari Soegeng Sarjadi Syndicate Jakarta
|
SUARA
MERDEKA, 22 Desember 2012
"Dari total 105.103 kasus kekerasan terhadap perempuan, 96%
adalah kekerasan dalam rumah tangga"
DEKRIT Presiden Soekarno Nomor 316 Tahun 1959 menjadi pijakan penting sejarah perjuangan kaum perempuan, melalui penetapan Hari Ibu tiap tanggal 22 Desember. Peringatan Hari Ibu sejatinya momentum peneguhan kaum perempuan dalam menyiapkan Indonesia sebagai negara bangsa yang berdaulat, adil, dan makmur.
Hari Ibu
adalah tonggak awal ketika aktivis 30 organisasi perempuan pada 22-25
Desember 1928 mengadakan Kongres I Perempoean di Yogyakarta guna
mendeklarasikan perjuangan kemerdekaan.
Misi awalnya
mengenang perjuangan kaum perempuan dalam upaya kemerdekaan. Hanya kini
tantangan lebih kompleks karena musuh bukan lagi Belanda melainkan angka
kemiskinan, pengangguran, kemerebakan kekerasan dalam rumah tangga (KDRT),
pelecehan seksual, narkoba, dan ketidakadilan.
Berbeda dari
era dulu, kini Hari Ibu diperingati sebagai ungkapan syukur terhadap kaum ibu
yang menjadi tempat segalanya bagi anak dan keluarga. Ibu adalah ratu hati,
tempat manusia dilahirkan dan tempat insan berlabuh. Tapi sebagian masih
angan-angan belaka karena realitasnya masih jauh dari panggang api.
Faktanya
berbanding terbalik karena penghargaan terhadap kaum wanita dan ibu, adalah
justru bagaimana membebaskan kaum wanita dan ibu dari berbagai kekerasan. Ada
kekerasan fisik, psikologis, ekonomi, dan pelecehan seksual. Fenomena
terakhir yang menjadi buah bibir, ketika Fany Oktora, wanita belia dicerai
Bupati Garut Aceng HM Fikri lewat SMS setelah dinikah 4 hari. Pelecehan yang
senyatanya, seolah-olah kesakralan pernikahan hanya diukur dari kegadisan.
Fenomena lain
banyak kaum wanita dan ibu belum terbebas dari berbagai kekerasan atau KDRT.
Meminjam data Komnas Perempuan 2010, dari total 105.103 kasus kekerasan
terhadap perempuan, 101.128 kasus atau 96% adalah korban KDRT. Kasus KDRT
2011 justru meningkat 6,25%. Sungguh tragis nasib wanita yang dari dulu
hingga sekarang dijajah pria.
Sementara
selama 1998-2010 ada 93.960 kasus, berupa kekerasan seksual, permerkosaan,
pelecehan seksual, perdagangan perempuan untuk eksploitasi seksual, dan
penyiksaan. Kasus yang beberapa waktu lalu merebak adalah perkosaan dalam
angkutan umum di Jabodetabek. Kejadian itu mestinya menjadi perhatian aparat
keamanan karena terus berulang.
Adapun soal
KDRT, masih didominasi suami dan problem ekonomi, semisal istri tidak diberi
nafkah yang memadai. Lantas, kapan kita bisa menjunjung harkat dan martabat
kaum ibu sebagai ratu hati dan tempat bagi tiap insan berlabuh?
Menggugah Wanita
Peringatan
Mother's Day di negara maju dan sejahtera, sarat dengan ungkapan rasa sayang
dan terima kasih terhadap kaum ibu. Tapi peringatan Hari Ibu di Indonesia ada
perspektif berbeda, terkait peran perempuan dalam perjuangan bangsa. Melihat
sejarah bangsa, kesetaraan gender kini mengalami banyak kemajuan
dibanding dulu. Paling tidak sudah berkurang kaum wanita hanya menjadi objek
pemuas nafsu dan kanca wingking, yakni seputar urusan dapur, sumur, dan
kasur.
Kalau kita
melihat perjuangan pahlawan wanita seperti RA Kartini, Tjoet Nja’
Dhien, Tjoet Nya’ Meutia, Nyi Ageng Serang (RA Kustiyah Wulaningsih Retno
Edi), Dewi Sartika, Nyai Ahmad Dahlan (Hj Siti Walidah), Ny Walandouw
Maramis, Christina Martha Tiahahu dan sebagainya, kini kaum wanita terkesan
maju. Pemberian kesempatan di parlemen, dunia bisnis dan perbankan,
pemerintahan, dunia pendidikan, dan kesehatan tak ada beda.
Raden Ajeng
Kartini adalah pahlawan yang mengambil tempat di hati wanita dengan segala
cita-cita, tekad, dan idealisme. Idenya melampaui zaman, menembus waktu
untuk mengilhami perjuangan kaum wanita dari kebodohan yang tak disadari.
Dengan keberanian wanita Jawa yang teguh, tegas, lembut, Kartini mampu
menggugah kaum wanita dari belenggu kebodohan dan diskriminasi.
Kartini adalah
The Power of One. Ia berjuang
sendirian, tidak melalui parlemen, atau partai politik. Ia sebuah institusi,
sekaligus cita-cita. Meminjam Daoed Joesoef dalam novel ”Emak”, ”Kau lihat sungai ini Daoed? Kau harus
tetap berlaku seperti batang air ini. Walau ia tetap terus mengalir mencapai
tujuannya, makin lama semakin menjauhi sumber asalnya, ia tidak pernah
memutuskan diri barang sedetik pun dari sumbernya, ia tetap setia padanya.”
Dan, ”Untuk menanam kemiri ini kita tidak perlu
menjadi dewa atau orang pintar. Kita hanya memerlukan niat, kemauan, ingatan
kepada anak cucu dan sebuah cangkul atau sekop.” Sungguh, ”Alangkah bahagianya mempunyai emak.
Dia yang membesarkan dengan cinta yang lembut. Dia yang selalu memberikan
pedoman dalam perjalan hidup. Dan dia yang di setiap langkah, membisikkan
sejuta harapan...” Selamat Hari Ibu. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar