Mengawal
Legislasi Perempuan
Sri Suciati ; Dekan Fakultas Pendidikan Bahasa dan
Seni IKIP PGRI Semarang
|
SUARA
MERDEKA, 22 Desember 2012
TIDAK bisa dimungkiri, salah
satu tugas utama perempuan adalah menjadi ibu bagi anak-anaknya. Orang
menyebut sebagai tugas mulia karena selama mengandung, ibu mesti menjaga
kondisi diri dan janin agar tetap sehat dan aman. Setelah itu pun masih
berhadapan dengan beragam risiko saat melahirkan, salah satunya adalah
kematian.
Kaum perempuan
juga menjadi penentu apakah anak yang dilahirkan berkualitas atau tidak.
Generasi yang sehat dan berkualitas memang hanya akan lahir dari ibu yang
sehat dan berkualitas. Perempuan yang sehat, akan mengandung, melahirkan, dan
memberikan air susu yang sehat pula bagi bayinya.
Dengan begitu
anak-anak yang dilahirkan kelak bisa menjadi generasi berkualitas.
Menyiapkan perempuan menjadi ibu yang sehat bagi anak yang sehat juga bukan
perkara mudah. Kompleksitas permasalahan menjadikan perempuan harus berjuang
dan diperjuangkan agar mendapatkan kehidupan yang lebih bermartabat, adil,
dan sehat.
Kondisi Perempuan
Realitasnya,
banyak perempuan di Indonesia, baik secara fisik maupun mental, masih jauh
dari harapan. Kehidupan perempuan sangat akrab dan lekat dengan kemiskinan.
Hal ini ditunjukkan dengan angka tinggi kematian ibu. Data Kemenkes tahun
2011 menyebutkan Indonesia menduduki peringkat pertama kasus kematian ibu dan
janin di Asia.
Keterpusatan
pekerja perempuan di sektor yang rendah pendidikan, rendah
keterampilan, dan rendah upah menjadi bukti lain kemiskinan. Kondisi
itu memaksa banyak perempuan bermigrasi mencari pekerjaan ke negeri orang.
Dengan bekal keterampilan dan pendidikan yang kurang memadai, hadir banyak
kisah memilukan.
Tak hanya itu,
perempuan juga banyak menjadi korban kekerasan, baik dalam rumah tangga
maupun tempat kerja. Data Komnas Perempuan menyebutkan, tahun 2011 kekerasan
terhadap perempuan mencapai lebih dari 119 ribu kasus, meliputi kekerasan
dalam rumah tangga (KDRT), kekerasan domestik, ataupun kekerasan di
tempat publik, seperti di tempat kerja; dalam bentuk kekerasan fisik, psikis,
ataupun seksual.
Kondisi
ini diperparah oleh kasus penularan HIV/ AIDS yang menempatkan perempuan
sebagai korban. Umumnya mereka adalah ibu rumah tangga yang tidak berperilaku
seksual risiko tinggi tapi tertular oleh pasangan. Tidak menutup kemungkinan,
si ibu menularkan kepada anak yang dilahirkan atau disusui. Data Kemenkes
menunjukkan bahwa dari 186.257 kasus, persentase penularan dari ibu ke anak
5,1%. Saat ini, tercatat 547 kasus HIV pada anak di bawah usia 4 tahun.
Jika pemerintah tidak menangani secara serius, tidak menutup kemungkinan
terjadi the lost generation.
Yang tidak
kalah memilukan adalah perdagangan perempuan yang terus meningkat dari tahun
ke tahun. Data International Organization for Migration (IOM) mencatat hingga
April 2006 perdagangan manusia di Indonesia mencapai 1.022 kasus,
dengan rincian 88,6% dipaksa melacur.
Banyak
perempuan menjadi korban trafficking karena tergiur janji mendapat pekerjaan
seperti di hotel atau restoran dengan gaji tinggi. Dengan kondisi seperti
itu, harapan perempuan yang sehat bahagia dan selanjutnya siap
melahirkan anak berkualitas hanya akan menjadi angan-angan.
Butuh Pengawalan
Kondisi
memprihatinkan terkait dengan perempuan antara lain disebabkan ketimpangan
relasi kuasa antara perempuan dan laki-laki. Kultur partriarkhi cenderung
menempatkan perempuan pada posisi subordinat. Tidak mengherankan jika masih
sering terjadi diskriminasi dan kekerasan dalam berbagai bentuk terhadap
perempuan.
Di samping
itu, perangkat hukum yang ada belum secara maksimal bisa melindungi perempuan
dari berbagai tindak kekerasan. Hal ini diperparah dengan banyaknya pejabat
publik yang belum memiliki perspektif gender yang baik.
Dalam rangka
menciptakan kehidupan yang lebih sehat dan aman bagi perempuan maka kita
harus menghentikan, minimal mengeliminasi, segala bentuk diskriminasi dan tindak
kekerasan terhadap perempuan. Yang diperlukan dalam hal ini adalah payung
hukum yang secara efektif melindungi perempuan, produk hukum yang memadai
untuk menjerat pelaku kekerasan terhadap perempuan dan membuat mereka jera.
Untuk itu,
perlu pengawalan serius terhadap legislasi yang terkait perempuan. Mengingat
produk hukum dirancang dan disusun melalui lembaga legislatif maka
keterwakilan perempuan di lembaga legislatif menjadi hal penting.
Harapannya,
produk undang-undang yang berlaku sebagai sumber pokok keadilan akan lebih
memperhatikan kepentingan perempuan. Jika itu terwujud maka jaminan kehidupan
perempuan, kaum ibu, dan calon ibu, yang lebih sehat dan aman, tidak lagi
menjadi mimpi. Itu berarti harapan generasi yang lebih berkualitas ada dalam genggaman.
●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar