Mendukung
Perempuan sebagai Ibu Bangsa
Siti Maimunah ; Koordinator Forum Masyarakat Sipil untuk Keadilan
Iklim (CSF-CJ) dan Badan Penasihat Jaringan Advokasi Tambang (JATAM)
|
SINAR
HARAPAN, 22 Desember 2012
Lebih tujuh dekade lalu, 22 Desember – hari pelaksanaan Kongres
Perempuan Indonesia Pertama diputuskan sebagai Hari Ibu. Peringatan tiap tahun
ini dilakukan terhadap peran perempuan sebagai "Ibu Bangsa" yang
berupaya membuat generasi baru sadar terhadap kewajiban kebangsaannya.
Alih-alih menjalankan perannya, Komnas
Perempuan justru menemukan perempuan mengalami kekerasan dan pemiskinan karena
kebijakan negara, lewat pilihan model pembangunan yang bertumpu kepada
investasi asing dan utang.
Laporan pemetaan perempuan dan pemiskinan
dalam kerangka hak asasi manusia pada lima tahun terakhir diterbitkan Komnas
Perempuan awal Desember 2012, menegaskan terjadinya pencerabutan
sumber-sumber kehidupan perempuan secara sistematis.
Berbagai kebijakan negara telah
menghasilkan peningkatan konsentrasi lahan kepada segelintir orang, khususnya
melalui izin-izin konsesi perkebunan dan pertambangan. Mereka yang tergusur
dari tanahnya berakhir di sektor perburuhan, pekerja rumah tangga, pekerja
seks dan buruh migran – sektor-sektor yang minim perlindungan negara.
Buktinya, pada kawasan lumbung-lumbung
padi, sumber pangan bangsa ini, jumlah buruh migran yang dikirim ke luar
negeri – sebagian besar perempuan, justru paling tinggi angkanya. Seperti
dialami Indramayu, Karawang, Cianjur, juga Lombok dan Sumbawa.
Ibu Bumi
Pencerabutan sumber-sumber kehidupan
perempuan secara sistematis dilakukan sejak tataran pikir, dengan mengubah
cara pandang terhadap tanah.
"Gunung Nemangkawi itu saya, Danau Wanagong itu saya punya
sumsum. Laut itu saya punya kaki. Tanah di tengah ini tubuh saya," ujar Yosepha Alomang, perempuan Papua penerima Goldman Environmental Prize Award
(2001). Tanah menurut suku Amungme bagaikan tubuh seorang ibu.
Tapi, tambang emas PT Freeport/Rio Tinto
menghancurkan ibu mereka, membongkar puncak gunung dan menggelontorkan
sedikitnya 220.000 ton limbah tailing ke sungai hingga laut tiap harinya.
Pun orang Mollo di Pulau Timor yang melihat
alam sebagai "Uis Pah" atau ibu bumi, tubuh seorang ibu. Mereka
melambangkan gunung batu sebagai tulang, tanah bagai daging, sedang air
sebagai darah, dan hutan sebagai kulit, paru-paru dan rambut.
Bila tidak ada gunung batu mereka
kehilangan tulang, lunglai, mati. Celakanya gunung batu itu dianggap
pemerintah dan perusahaan semata gundukan marmer kelas satu yang harus
dibongkar.
Tanah yang menjadi ruang hidup warga
bergeser sekadar komoditas, ketika Indonesia mengadopsi kebijakan ekonomi
liberal, mengundang investasi asing melalui paket kebijakan sejak 1967,
dengan mengeluarkan Undang-Undang (UU) Penananam Modal Asing, UU Kehutanan
dan UU Pertambangan. Praktik itu berlangsung hingga kini, meski peraturan
sudah diubah namanya dari rezim ke rezim.
Melawan Penjajahan Baru
Dulu, anak-anak bangsa bertaruh nyawa
mengusir penjajah yang datang dengan kekuatan senjata. Masa kemerdekaan kini,
negara justru membuka jalan, bahkan melindungi penjajahan baru
(neokolonialisme) berwajah kebijakan pembangunan berbasis pertumbuhan
ekonomi, investasi asing dan utang. Aparat keamanan dikerahkan untuk
mengamankan dan memastikan kebijakan itu berjalan dengan ongkos apa pun,
termasuk kekerasan.
Komnas Perempuan mencatat bentuk-bentuk
kekerasan itu mulai pemaksaan menjadi pelacur, perampasan kemerdekaan,
pengusiran, perbudakan, penganiayaan hingga pembunuhan. Kekerasan yang
memiskinkan perempuan.
Namun, meski jatuh bangun menghadapi
pencerabutan sumber-sumber kehidupan, perempuan terus melawan wajah baru
kolonialisme, salah satunya melawan korporasi asing. Di Papua, sejak empat
dekade lalu, Yosepha Alomang menggugat keberadaan negara yang seenaknya
menyerahkan tanah adat orang Amungme kepada Freeport.
"Sejak kapan negara bikin tanah, air,
ikan dan karaka lalu kasih saya sehingga dia boleh ambil seenaknya,"
ujarnya. Sejak itu, ia memutuskan mengangkat panah melawan PT Freeport/Rio
Tinto. Yosepha tercatat menjadi perempuan Papua pertama yang membawa
korporasi transnasional ke pengadilan Amerika Serikat lewat skema Alien Tort
Claims Act pada 1999.
Perjuangan Yosepha adalah perjuangan
kebangsaan, membela bangsa Papua yang masih dijajah selama Freeport/Rio Tinto
bercokol di sana.
Tak hanya Yosepha. Bersama puluhan ribu
perizinan alih fungsi lahan yang dikeluarkan untuk penebangan kayu,
pertambangan, perkebunan skala besar, kawasan konservasi hingga proyek
perdagangan karbon, negara memaksa perempuan terus berhadapan dengan
kekerasan dan pemiskinan.
Celakanya, saat bertahan hidup untuk diri
dan keluarganya dari pemiskinan, mereka justru berpotensi mengalami kekerasan
berikutnya; seperti dialami buruh migran. Ecosoc Rights (2012) mencatat
sekitar 2,8 juta dari 4 juta warga negara Indonesia yang menjadi buruh migran
adalah perempuan. Sebanyak 60 persen dari kaum perempuan itu diperkirakan
korban perdagangan manusia (human
trafficking).
Menurut Soekarno, Bapak Proklamasi
Indonesia, sebuah bangsa adalah persatuan orang dengan tanah airnya. Oleh
karenanya, perjuangan perempuan, baik petani, nelayan, buruh, yang mempertahankan
tanah dan sumber-sumber penghidupannya agar terus produktif dalam jangka
panjang, mesti kita lihat sebagai perjuangan kebangsaan. Perjuangan perempuan
sebagai Ibu Bangsa.
Jika kebangsaan kita pahami seperti pikiran
Soekarno, mestinya peringatan tahunan Hari Ibu dimaknai dengan cara berbeda.
Mendukung perjuangan perempuan sebagai Ibu Bangsa mesti dimulai dengan
memikirkan kembali, dan mengubah pilihan model pembangunan yang menjadi
sumber kekerasan dan pemiskinan perempuan. Selamat Hari Ibu bangsa! ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar