Kamis, 15 November 2012

Uji Sahih Obama


Uji Sahih Obama
Hery Sucipto ;  Direktur Pusat Kajian Timur Tengah dan Dunia Islam (PKTTDI) Universitas Muhammadiyah Jakarta
REPUBLIKA, 14 November 2012
  

Barrack Hussein Obama kembali berjaya pada pilpres Amerika Serikat.
Jagoan Partai Demokrat itu berhasil mengalahkan rivalnya dari Partai Republik, Mitt Romney, pekan lalu. Dengan kemenangan ini, untuk kedua kalinya Obama menjadi presiden AS hingga empat tahun mendatang.
Bagi sebagian kalangan, kemenangan Obama telah memberikan harapan baru bagi perubahan dan terciptanya tatanan dunia yang lebih berkeadilan dan berperikemanusiaan. Namun, tak sedikit pula yang meragukan presiden kulit hitam pertama Amerika itu dapat mewujudkan harapan berbagai pihak mengingat banyaknya kepentingan, baik politik maupun ekonomi terkait eksistensi Obama maupun menyangkut masa depan Negeri Paman Sam tersebut.
Uji Sahih
Empat tahun periode pertama Oba- ma memimpin negara adidaya tentu memberikan banyak pelajaran, baik terkait dengan perubahan dan dinamika di dalam negeri maupun menyangkut kebijakan politik luar negerinya. Dua peristiwa domestik paling dirasakan se kaligus menjadi tantangan terbesar Obama adalah badai krisis moneter pada awal kepemimpinannya, yakni pada 2008. 
Tingkat pengangguran yang tinggi, hingga mencapai delapan persen lebih, atau sekitar 13 juta orang, belum lagi me- nurunkan daya beli masyarakat. Seakan berpacu dengan waktu, Obama hendak menaikkan pajak bagi orang-orang kaya untuk kepentingan rakyat AS. 
Meski hingga kini belum berhasil diwujudkan, soal pajak mendominasi tema kampanye Obama. Ia bahkan meng ancam akan segera menyetujui RUU Pajak ini jika kalangan "the have" tetap bersikeras menolaknya. Kini, perekonomian AS memang mulai membaik meski lambat. 
Dampak lainnya, krisis menyebabkan resesi ekonomi global, termasuk dirasakan Indonesia. Kegiatan ekspor-impor kedua negara sempat mengalami titik terendah. Bahkan, meski tidak langsung, juga "menginspirasi" bagi terjadinya krisis ekonomi di Eropa.
Sementara itu, kebijakan luar negeri Obama yang berdampak langsung pada stabilitas politik dalam negerinya, terutama adalah penarikan pasukan Amerika dari Irak dan Afghanistan secara bertahap. Hal ini berdampak positif, termasuk bagi naiknya popularitas sosok yang pernah bersekolah di Indonesia itu.
Dua hal tersebut bisa dikatakan uji sahih politik dan strategi Obama menghadapi persoalan bangsanya. Hanya pertanyaannya adalah, apakah kedua hal di atas dapat dijadikan patokan keberhasilan uji sahih strategi kebijakan politik Obama dalam memimpin AS? 
Mengatakan berhasil tentu saja terlalu dini mengingat kompleksitas persoalan yang dihadapi Amerika. Dalam konteks perannya di kancah internasional, Obama masih dibelit dengan banyak masalah, seperti sengketa Laut Cina Selatan, instabilitas politik di Timur Tengah dan dunia Arab, persoalan nuklir Iran dan Korut, hubungan dengan Rusia dan Cina yang lebih dominan kontradiktif.
Juga soal hasrat penguasaan negara-negara Asia Timur jauh (termasuk di dalamnya Indonesia) terkait ancaman dominasi Cina di kawasan tersebut, serta masalah hubungan Paman Sam dengan dunia Islam yang kerap diwarnai ketidakharmonisan terkait kasus-kasus HAM maupun kebebasan berekspresi yang sering memunculkan kasus berbau SARA.
Berbagai persoalan itu sekaligus akan menjadi uji sahih berikutnya, apakah Obama akan mampu melewati masa kedua kepemimpinannya ini dengan baik.
Hal ini penting pengingat negara adidaya tanpa tanding itu kerap memunculkan kebijakan kontroversial yang memicu kebencian banyak pihak. 
Jalan terbaik Di luar itu, masalah krusial yang menurut penulis mendesak diselesaikan adalah konflik dan perdamaian di Timur Tengah, khususnya Palestina-Israel, termasuk proses demokratisasi pasca-Arab Springs yang melanda negara-negara Arab beberapa waktu lalu. Perdamaian di Timur Tengah diyakini sulit terwujud tanpa peran nyata dan berkeadilan dari Amerika Serikat. Hanya masalahnya, selama ini kebijakan politik luar negeri AS terkait Timur Tengah cenderung membela dan mendukung Israel.
Jika akar persoalannya adalah masalah ketidakseimbangan politik AS terhadap Palestina dan Israel maka perdamaian akan sulit tercapai. Israel sejauh ini berani sewenang-wenang karena merasa didukung AS. Sementara, negara-negara Arab, dunia Islam, bahkan PBB juga tidak bisa banyak berbuat karena besarnya pengaruh AS dalam ranah politik negara-negara tersebut. 
Maka, jalan terbaik bagi Obama jika AS benar-benar beriktikad baik ikut mewujudkan tatanan dunia yang damai dan sejahtera adalah dengan menerapkan balance politic (politik keseimbangan) terhadap semua negara. 
Penerapan politik keseimbangan sekaligus akan mengantarkan Obama sebagai pemimpin AS yang teruji sahih dengan baik dan dikenang publik dunia sebagai pelopor sejati perdamaian dunia. Politik rasial dan kotor akan lenyap pada era kepemimpinannya. Tidak mudah me mang, tapi Obama harus mencoba merintisnya.
Bagi Indonesia, tampilnya Obama untuk kedua kali sebagai presiden AS harus bisa dimanfaatkan semaksimal mungkin. Dalam politik tidak ada yang gratis. Prinsip kerja sama saling menguntungkan dan kesetaraan adalah bentuk ideal dalam hubungan internasional, baik bilateral maupun multilateral. Maka, dalam konteks Indonesia, pemerintah harus bekerja keras agar dapat mengambil keuntungan dari AS. 
Bargaining power kita selama ini lemah maka menjadi PR bagi pemerintahan Presiden SBY meningkatkan daya tawar tersebut. Perlu diingat, posisi Indonesia dalam percaturan internasional, dari sudut pandang apa pun, cukup strategis. Ini modal berharga. Tinggal kembali kepada pemerintah apakah mampu mengelola potensi tersebut untuk kemaslahatan rakyat. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar