Uji Sahih
Obama
Hery Sucipto ; Direktur Pusat Kajian
Timur Tengah dan Dunia Islam (PKTTDI) Universitas Muhammadiyah Jakarta
|
REPUBLIKA,
14 November 2012
Barrack Hussein Obama
kembali berjaya pada pilpres Amerika Serikat.
Jagoan Partai Demokrat itu berhasil mengalahkan rivalnya dari Partai Republik, Mitt Romney, pekan lalu. Dengan kemenangan ini, untuk kedua kalinya Obama menjadi presiden AS hingga empat tahun mendatang.
Bagi sebagian
kalangan, kemenangan Obama telah memberikan harapan baru bagi perubahan dan
terciptanya tatanan dunia yang lebih berkeadilan dan berperikemanusiaan.
Namun, tak sedikit pula yang meragukan presiden kulit hitam pertama Amerika
itu dapat mewujudkan harapan berbagai pihak mengingat banyaknya kepentingan,
baik politik maupun ekonomi terkait eksistensi Obama maupun menyangkut masa
depan Negeri Paman Sam tersebut.
Uji Sahih
Empat tahun periode
pertama Oba- ma memimpin negara adidaya tentu memberikan banyak pelajaran,
baik terkait dengan perubahan dan dinamika di dalam negeri maupun menyangkut
kebijakan politik luar negerinya. Dua peristiwa domestik paling dirasakan se
kaligus menjadi tantangan terbesar Obama adalah badai krisis moneter pada
awal kepemimpinannya, yakni pada 2008.
Tingkat pengangguran
yang tinggi, hingga mencapai delapan persen lebih, atau sekitar 13 juta
orang, belum lagi me- nurunkan daya beli masyarakat. Seakan berpacu dengan
waktu, Obama hendak menaikkan pajak bagi orang-orang kaya untuk kepentingan
rakyat AS.
Meski hingga kini
belum berhasil diwujudkan, soal pajak mendominasi tema kampanye Obama. Ia
bahkan meng ancam akan segera menyetujui RUU Pajak ini jika kalangan
"the have" tetap bersikeras menolaknya. Kini, perekonomian AS
memang mulai membaik meski lambat.
Dampak lainnya, krisis
menyebabkan resesi ekonomi global, termasuk dirasakan Indonesia. Kegiatan
ekspor-impor kedua negara sempat mengalami titik terendah. Bahkan, meski
tidak langsung, juga "menginspirasi" bagi terjadinya krisis ekonomi
di Eropa.
Sementara itu,
kebijakan luar negeri Obama yang berdampak langsung pada stabilitas politik
dalam negerinya, terutama adalah penarikan pasukan Amerika dari Irak dan
Afghanistan secara bertahap. Hal ini berdampak positif, termasuk bagi naiknya
popularitas sosok yang pernah bersekolah di Indonesia itu.
Dua hal tersebut bisa
dikatakan uji sahih politik dan strategi Obama menghadapi persoalan
bangsanya. Hanya pertanyaannya adalah, apakah kedua hal di atas dapat
dijadikan patokan keberhasilan uji sahih strategi kebijakan politik Obama
dalam memimpin AS?
Mengatakan berhasil
tentu saja terlalu dini mengingat kompleksitas persoalan yang dihadapi
Amerika. Dalam konteks perannya di kancah internasional, Obama masih dibelit
dengan banyak masalah, seperti sengketa Laut Cina Selatan, instabilitas
politik di Timur Tengah dan dunia Arab, persoalan nuklir Iran dan Korut,
hubungan dengan Rusia dan Cina yang lebih dominan kontradiktif.
Juga soal hasrat
penguasaan negara-negara Asia Timur jauh (termasuk di dalamnya Indonesia)
terkait ancaman dominasi Cina di kawasan tersebut, serta masalah hubungan
Paman Sam dengan dunia Islam yang kerap diwarnai ketidakharmonisan terkait
kasus-kasus HAM maupun kebebasan berekspresi yang sering memunculkan kasus
berbau SARA.
Berbagai persoalan itu
sekaligus akan menjadi uji sahih berikutnya, apakah Obama akan mampu melewati
masa kedua kepemimpinannya ini dengan baik.
Hal ini penting pengingat negara adidaya tanpa tanding itu kerap memunculkan kebijakan kontroversial yang memicu kebencian banyak pihak.
Jalan terbaik Di luar
itu, masalah krusial yang menurut penulis mendesak diselesaikan adalah
konflik dan perdamaian di Timur Tengah, khususnya Palestina-Israel, termasuk
proses demokratisasi pasca-Arab Springs yang melanda negara-negara Arab
beberapa waktu lalu. Perdamaian di Timur Tengah diyakini sulit terwujud tanpa
peran nyata dan berkeadilan dari Amerika Serikat. Hanya masalahnya, selama
ini kebijakan politik luar negeri AS terkait Timur Tengah cenderung membela
dan mendukung Israel.
Jika akar persoalannya
adalah masalah ketidakseimbangan politik AS terhadap Palestina dan Israel
maka perdamaian akan sulit tercapai. Israel sejauh ini berani sewenang-wenang
karena merasa didukung AS. Sementara, negara-negara Arab, dunia Islam, bahkan
PBB juga tidak bisa banyak berbuat karena besarnya pengaruh AS dalam ranah
politik negara-negara tersebut.
Maka, jalan terbaik
bagi Obama jika AS benar-benar beriktikad baik ikut mewujudkan tatanan dunia
yang damai dan sejahtera adalah dengan menerapkan balance politic (politik keseimbangan) terhadap semua
negara.
Penerapan politik keseimbangan sekaligus akan mengantarkan Obama sebagai
pemimpin AS yang teruji sahih dengan baik dan dikenang publik dunia sebagai
pelopor sejati perdamaian dunia. Politik rasial dan kotor akan lenyap pada
era kepemimpinannya. Tidak mudah me mang, tapi Obama harus mencoba merintisnya.
Bagi Indonesia, tampilnya Obama untuk kedua kali sebagai presiden AS harus
bisa dimanfaatkan semaksimal mungkin. Dalam politik tidak ada yang gratis.
Prinsip kerja sama saling menguntungkan dan kesetaraan adalah bentuk ideal
dalam hubungan internasional, baik bilateral maupun multilateral. Maka, dalam
konteks Indonesia, pemerintah harus bekerja keras agar dapat mengambil
keuntungan dari AS.
Bargaining power kita selama ini lemah
maka menjadi PR bagi pemerintahan Presiden SBY meningkatkan daya tawar
tersebut. Perlu diingat, posisi Indonesia dalam percaturan internasional,
dari sudut pandang apa pun, cukup strategis. Ini modal berharga. Tinggal
kembali kepada pemerintah apakah mampu mengelola potensi tersebut untuk
kemaslahatan rakyat. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar