Senin, 19 November 2012

Pembubaran BP Migas


Pembubaran BP Migas
Rohmad Hadiwijoyo ;   Dalang dan CEO RMI Group
SUARA KARYA, 19 November 2012


Mahkamah Konstitusi (MK), sebagai "dalang" yang mengawal dan menegakkan konstitusi, membuat gebrakan yang mengagetkan pemain dan penonton ketika memutuskan Badan Pengatur Kegiatan Hulu Minyak dan Gas (BP Migas) bubar. Mengagetkan, karena keputusan itu mengubah dan membuat pakem baru. Lebih mengagetkan lagi karena pakem baru harus berlaku seketika dan mengikat serta tanpa transisi.
Alasan yang melandasi argumentasi MK, pertama, kontrak serja sama (KKS) yang selama ini dijalankan BP Migas tidak memihak kepada penguasaan migas demi kemakmuran rakyat. Kedua, negara kehilangan kedaulatan dalam pengelolaan aset migas karena hubungan antara negara dan kontraktor migas adalah business to business.
Keputusan itu mengajak kita kembali ke semangat Pasal 33 UUD 1945. Bumi dan air serta kekayaan alam di dalamnya dikuasai negara dan digunakan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat. Sejak zaman Romawi kuno sampai Eropa modern, kekayaan alam termasuk minyak dikuasai oleh negara. Hal itu untuk mengontrol kekayaan alam guna kemakmuran rakyat. Sampai saat ini hampir semua negara menganut prinsip itu. Hanya AS yang memperbolehkan pihak swasta menguasai sumber daya alam (SDA) termasuk migas. Itu pun melalui negara bagian tertentu.
Apakah keberadaan BP Migas yang dilahirkan UU Migas Nomor 22 Tahun 2001 tidak sejalan dengan semangat konstitusi? Inilah pertanyaan besar yang harus dijawab dengan bener lan pener, benar dan tepat. Alangkah eloknya jika isu besar itu menjadi diskursus publik, dikomunikasikan secara terbuka, dan dibahas oleh berbagai pihak terkait, sebelum akhirnya vonis dijatuhkan. Ini menyangkut pakem, seorang dalang paling senior pun tidak bisa sepihak mengubahnya karena akan menimbulkan gonjang-ganjing berkepanjangan.
Kalau yang menjadi masalah adalah tata kerja dan tata kelola yang kurang transparan dan amanah, maka lakon dan pemain bisa diganti. Undang-undang bisa direvisi, pejabat bisa diganti, kontrak-kontrak bisa dibenahi.
Saya setuju ada soal-soal mendasar yang harus dibenahi di BP Migas. Di antaranya menyangkut lemahnya tata kelola. Michael Ross dalam The Oil Curse, How Petroleum Wealth Shapes the Development of Nations mengingatkan, SDA minyak dan gas kalau tidak dikelola dengan transparan, akan memperlemah kredibilitas negara. Apalagi dipicu adanya korupsi dan kolusi. Apabila SDA tersebut tidak dimanfaatkan untuk kemakmuran rakyat, pertumbuhan ekonomi yang diharapkan dari migas akan menjadi bumerang bagi negara bersangkutan.
Vonis sudah dijatuhkan. Menjadi tugas pemerintah untuk mengatasi gonjang-ganjing yang timbul akibat bubarnya lembaga yang mengelola aset sekitar Rp 550 triliun itu. Harus ada jaminan bahwa solusi yang ditempuh sejalan dengan semangat konstitusi, sekaligus tidak merugikan investor agar kredibilitas Indonesia di mata dunia terjaga.
Vonis itu harus pula menjadi wake up call untuk mereposisi strategi energi migas ke depan. Tengoklah bagaimana AS mengubah energy chart. Dengan teknologi yang andal, mereka mampu mendapatkan gas murah. Gas murah inilah yang dimanfaatkan untuk keperluan rakyatnya, sehingga energi yang dikembangkan benar-benar pro-environment. Sedangkan energi lain seperti batu bara yang lebih mahal dijual ke negara lain.
Walhasil, belajar dari pembubaran BP Migas, kualitas pemimpin yang kita harapkan adalah sosok yang mampu berpikir dan bertindak bener lan pener. Itulah watak sejati seorang negarawan sehingga dia mampu njupuk iwak tanpa butheg banyune (mengambil ikan tanpa harus membuat air keruh). Sayangnya, mencari pemimpin seperti itu di era sekarang ini kaya ngenteni thukule jamur ing mangsa ketiga (seperti menunggu tumbuhnya jamur di musim kemarau). 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar