Sabtu, 03 November 2012

Orang Nusantara Pulang Haji


Orang Nusantara Pulang Haji
Syamsul Arifin,  Guru besar dan Wakil Direktur Program Pascasarjana
Universitas Muhammadiyah Malang
JAWA POS, 03 November 2012



GELOMBANG pemulangan jamaah haji Indonesia ke tanah air dimulai 31 Oktober. Jamaah haji gelombang I dipulangkan melalui Jeddah. Jamaah haji gelombang II dipulangkan dari Madinah (Jawa Pos, 27/10/2012). Pada musim haji tahun ini, jumlah jamaah haji dari Indonesia mencapai 211.000 orang, kontingen terbanyak di antara negara-negara muslim. 

Kendati harus menunggu sampai satu dekade, jumlah pendaftar calon tamu Allah -sebutan lain jamaah haji- tidak pernah surut, bahkan terus meningkat. Salah satu daya tarik yang melekat pada haji karena lebih dari sekadar peristiwa fiqhiyah, haji -mengutip Ali Syariati dalam Hajj (The Pilgrimage)- merupakan cara manusia dalam berevolusi menuju Allah. Melalui haji, seseorang seperti memperoleh pengalaman ''berjumpa'' dan ''berdialog'' dengan Allah secara langsung, nyaris tanpa penyekat. Inilah suatu ekstase spiritual yang tidak bisa dipikirkan (unthinkable) dan tidak bisa diucapkan (unspeakable), namun bisa dirasakan.

Ada salah satu kebiasaan unik yang dilakukan tetamu. Yaitu, meminta doa dari jamaah yang baru pulang dari menunaikan ibadah haji. Mengapa? Tentu karena apresiasi masyarakat terhadap pengalaman spiritual yang diperoleh jamaah haji.

Tiada Oleh-Oleh Ilmu 

Bisa dibilang, narasi spiritualitas ditambah pengalaman artifisial para jamaah haji yang bersifat kultural, ekonomi, dan sosial seperti pengalaman berinteraksi dengan jamaah lintas bangsa dan aktivitas bertransaksi di pasar-pasar tradisional dan modern selama di Mekkah dan Madinah adalah karakter haji pada zaman sekarang (modern). Sangat jarang, bahkan tidak pernah terdengar, cerita dari para jamaah haji kita tentang perjumpaan mereka dengan ilmuwan (ulama) otoritatif pada bidang keilmuan tertentu di Haramain (Mekkah dan Madinah).

Dalam buku-buku manasik haji atau aktivitas bimbingan oleh KBIH (kelompok bimbingan ibadah haji), informasi mengenai pusat-pusat keilmuan, baik yang terdapat di Mekkah maupun Madinah, tidak memperoleh ruang yang memadai. Informasi yang terkait dengan aktivitas haji hanya terpusat pada masalah ibadah, ditambah petunjuk perjalanan (traveling guide) selama di pesawat dan di Mekkah, Madinah, serta Jeddah.

Pendapat akademisi dari Belanda yang banyak menulis tentang Islam, terutama yang berkaitan dengan tasawuf dan tradisi pesantren, Martin Van Bruinessen, sebagaimana ditulis dalam Kitab Kuning: Pesantren dan Tarekat (2012), menarik ditelaah. Katanya, naik haji pada zaman modern lebih terpusat -untuk tidak mengatakan dipersempit- menjadi aktivitas ibadah belaka. Tidak ada yang salah dengan orientasi pelaksanaan haji yang lebih terfokus pada ibadah. Sejak masa Nabi Adam sampai Nabi Ibrahim dan nabi-nabi berikutnya yang kemudian berpuncak pada Nabi Muhammad, haji merupakan salah satu modus beribadah kepada Allah.

Tapi, kalau merekonstruksi sejarah haji di Indonesia pra-modern, yakni saat jamaah haji yang datang dari Indonesia masih kental dengan sebutan ''orang Nusantara'' dan transportasi ke Tanah Suci masih menggunakan kapal laut, haji -sebagaimana temuan para peneliti dari Indonesia seperti Azyumardi Azra (Jaringan Ulama, 1994); M. Shaleh Putuhena (Historiografi Haji Indonesia, 2007); Jajat Burhanuddin (Ulama & Kekuasaan, 2012); serta Ahmad Haris (Bid'ah dalam Literatur Islam, 2012)- menjadi jalur dan saluran mobilitas jamaah haji menjadi seorang ulama yang otoritatif dalam membentuk tradisi keilmuan Islam di tanah air yang berjejaring secara kuat dengan pusat-pusat keilmuan di Mekkah dan Madinah. Penting juga disebut, selain memberikan efek positif di bidang keilmuan, kedatangan ''orang Nusantara'' dari haji terbukti menjadi motor penggerak proses Islamisasi di tanah air. 

Ahmad Dahlan dan Hasyim Asy'ari 

Ada banyak nama ''orang Nusantara'' yang sukses mengalami mobilitas intelektual sebagai ulama sepulang dari haji. Sekadar contoh, setidaknya terdapat dua nama penting yang bisa disebut, yakni Ahmad Dahlan dan Hasyim Asy'ari. Nama yang disebut pertama menunaikan ibadah haji pertama pada 1883 ketika berusia belia, 15 tahun, dan masih menyandang nama Muhammad Darwisy. Waktu yang dihabiskan Ahmad Dahlan pada haji pertamanya adalah lima tahun. 

Sewaktu di Mekkah dan Madinah, Ahmad Dahlan berinteraksi dengan pemikiran pembaru Islam seperti Ibnu Taymiyah, Muhammad Abduh, Jamaluddin al Afghani, dan Rasyid Ridha. Pada haji yang kedua (1903-1905), Ahmad Dahlan bahkan sempat berguru kepada Ahmad Khatib, ulama besar Indonesia yang pernah menjadi imam, khatib, dan guru besar di Masjidilharam, sekaligus mufti Mazhab Syafi'i pada akhir abad ke-19 dan awal abad ke-20.

Sepulang dari haji, Ahmad Dahlan menjadi tokoh penting pergerakan Islam di Indonesia. Salah satu tonggak sejarah (milestone) Ahmad Dahlan yang tertanam kuat hingga saat ini adalah kelahiran Muhammadiyah pada 1912. Nama berikutnya, Hasyim Asy'ari, melaksanakan ibadah haji pada 1892. Sebagaimana Ahmad Dahlan, Hasyim Asy'ari juga pernah berguru kepada Ahmad Khatib. Sepulang dari haji pada 1899, Hasyim Asy'ari mendirikan Pesantren Tebuireng. Lalu, pada 1926, Hasyim Asy'ari menjadi tokoh utama di balik berdirinya Nahdlatul Ulama (NU), yang kelak menjadi organisasi massa Islam terbesar di Indonesia.

Cerita tentang efek haji terhadap pembentukan institusi ulama, tradisi keilmuan, dan gerakan Islamisasi, tampaknya, tidak lagi terdengar pada pelaksanaan ibadah haji era sekarang yang dari sisi teknologi transportasi, informasi, maupun komunikasi lebih canggih daripada era Ahmad Dahlan dan Hasyim Asy'ari. Saat ini, praktik haji lebih banyak diisi olah spiritual ditambah ziarah ke situs-situs bersejarah yang sebenarnya mulai kehilangan nilai kesejarahannya karena kurang diperhatikan, bahkan dilenyapkan, oleh pemerintah Arab Saudi.

Dengan menceritakan kembali orang Nusantara ''tempo doeloe'' berhaji, diharapkan kesadaran kita bisa tergugah bahwa Haramain (Mekkah dan Madinah) bukan sekadar menjadi kiblat dalam arti ritual dan spiritual, tapi juga pernah menjadi kiblat ilmu-ilmu keislaman yang dituju oleh orang-orang Nusantara yang haus ilmu yang nanti memberikan efek positif terhadap pengembangan tradisi keilmuan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar