Sabtu, 03 November 2012

Pimpinan Polri Cepat Tanggap


Pimpinan Polri Cepat Tanggap
James Luhulima,  Wartawan Kompas
KOMPAS, 03 November 2012
  

Pada 27 Oktober 2012 muncul berita bahwa Kepala Kepolisian Daerah Jawa Barat Inspektur Jenderal Putut Eko Bayuseno (51) akan menggantikan Inspektur Jenderal Untung Suharsono Radjab (58) sebagai Kapolda Metropolitan Jakarta Raya.
Irjen Untung Suharsono Radjab akan bertugas di Markas Besar Kepolisian Negara RI di bagian pelayanan masyarakat sebagai langkah persiapan pensiun sebagai anggota Polri. Sementara sebagai Kapolda Jawa Barat, Irjen Putut Eko Bayuseno akan digantikan oleh Kapolda Lampung Brigadir Jenderal (Pol) Jodie Rooseto (53). Sementara jabatan Kapolda Lampung akan diisi oleh Brigjen (Pol) Heru Winarno (50), perwira tinggi Polri yang ditugaskan sebagai Kepala Biro Umum Kementerian Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan.
Tiba-tiba, pada 30 Oktober 2012 muncul berita terjadi kerusuhan berdarah di Lampung pada 28-29 Oktober yang mengakibatkan sebanyak 14 warga tewas. Dan, berita kerusuhan berdarah itu, 31 Oktober 2012, dilanjutkan dengan berita pimpinan Polri membatalkan keputusan penunjukan Brigjen (Pol) Jodie Rooseto sebagai Kapolda Jabar menggantikan Irjen Putut Eko Bayu Seno.
Brigjen (Pol) Jodie Rooseto kemudian digeser menjadi Kepala Sekolah Pembentukan Perwira, Lembaga Pendidikan Polisi Polri. Ia menggantikan Brigjen (Pol) Ngadino yang menduduki jabatan Kapolda Sulawesi Utara.
Keputusan pimpinan Polri untuk membatalkan keputusan penunjukan Brigjen (Pol) Jodie Rooseto sebagai Kapolda Jawa Barat itu mengejutkan dan sekaligus perlu disambut dengan baik.
Cepat Tanggap
Dianggap mengejutkan karena untuk pertama kalinya kita melihat bahwa pimpinan Polri melakukan hal itu dalam tempo yang sangat singkat. Mengingat pada 30 Oktober malam, hanya selang beberapa jam, pimpinan Polri mengeluarkan Surat Telegram Nomor ST/216/X/2012 yang merupakan revisi atas Surat Keputusan Nomor: Kep/645/- X/2012 tertanggal 30 Oktober 2012 yang menunjuk Brigjen (Pol) Jodie Rooseto sebagai Kapolda Jawa Barat.
Revisi yang dikeluarkan oleh pimpinan Polri itu menunjukkan bagaimana mereka sangat cepat tanggap terhadap perkembangan situasi yang terjadi. Kerusuhan berdarah di Lampung itu terjadi di wilayah kerja Polda Lampung sehingga tentunya sulit diterima oleh siapa pun juga jika Kapolda Lampung Brigjen (Pol) Jodie Rooseto mendapatkan promosi menjadi Kapolda Jabar.
Tugas seorang kapolda adalah menjaga ketertiban dan keamanan di wilayah kerja yang menjadi tanggung jawabnya. Dengan demikian, tidak berlebihan jika kita mengatakan, kesalahan atas terjadinya kerusuhan berdarah di Lampung dapat dibebankan kepada Kapolda Lampung. Apalagi pada Januari dan Agustus lalu di wilayah itu juga terjadi bentrokan antarwarga.
Berbagai Alasan
Kerusuhan atau bentrokan antarwarga dapat terjadi karena berbagai ragam alasan dan hal itu tentunya tidak dapat semata-mata dibebankan kepada Polri. Semua komponen masyarakat, bangsa, dan negara ikut bertanggung jawab.
Seperti diketahui, Indonesia terdiri dari berbagai suku bangsa, ras, agama, dan golongan. Untuk memelihara keberagaman itu jelas tidak mudah. Seperti telah disebutkan di atas, memerlukan peran serta semua komponen masyarakat, bangsa, dan negara. Kerusuhan atau bentrokan antarwarga yang terjadi di beberapa bagian negara kita ini menunjukkan bahwa kita belum sepenuhnya berhasil memelihara keberagaman itu. Bahkan, pada usia negara ini yang sudah memasuki 67 tahun, dalam beberapa kasus, perbedaan-perbedaan yang ada masih dapat memicu terjadinya kerusuhan atau bentrokan.
Menangkap Bibit Perpecahan
Seharusnya menjadi tugas Polri sebagai penjaga ketertiban dan keamanan di dalam masyarakat untuk menangkap (mendeteksi dini) bibit-bibit perpecahan yang dapat menjurus ke arah terjadinya kerusuhan atau bentrokan antarwarga dan mencegahnya agar tidak berkembang menjadi konflik terbuka, apalagi menjadi bentrokan berdarah.
Kesalahan dalam mengantisipasi terjadinya kerusuhan atau bentrokan antarwarga menjadikan kerusuhan atau bentrokan meningkat dengan tidak terkendali dan berdarah-darah. Seperti yang terjadi di beberapa wilayah akhir-akhir ini.
Jika keadaannya sudah seperti itu, penyelesaiannya menjadi lebih rumit. Korban luka dan korban tewas memicu munculnya dendam pada pihak-pihak yang terlibat dalam bentrokan berdarah itu. Apabila tidak ditangani secara benar, dengan mudah bentrokan serupa akan berulang.
Belum lagi dalam bentrokan antarwarga ada banyak warga yang mengungsi dari kampungnya dan tinggal di penampungan sementara. Dan, dari berbagai kasus yang terjadi akhir-akhir ini, mereka tidak dapat lagi kembali ke kampungnya karena warga yang jumlahnya lebih banyak (warga mayoritas) melarangnya.
Kasus warga Ahmadiyah di Lombok dan juga di tempat-tempat lain serta kasus warga Syiah di Sampang, Madura, merupakan sedikit dari banyak contoh bahwa ketika bentrokan berdarah terjadi warga minoritas yang terusir dari kampungnya tidak dapat kembali. Mereka terpaksa tinggal di penampungan sementara sebagai pengungsi.
Dengan mengaitkan kerusuhan atau bentrokan antarwarga dengan perjalanan karier seorang kepala polda, seperti yang terjadi dengan Kapolda Lampung, diharapkan setiap kapolda akan melakukan tugasnya dengan sebaik mungkin, termasuk dalam pembinaan teritorial. Dengan demikian, kapolda melalui aparatnya dapat mendeteksi secara dini bibit-bibit perpecahan dan mengantisipasinya dengan cepat dan tepat sehingga kerusuhan atau bentrokan tidak terjadi. ● 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar