Mereformasi DK
PBB, Apa Mungkin?
Asrudin ; Pengamat Hubungan Internasional,
Peneliti
di Lingkaran Survei Indonesia Group
|
SINAR
HARAPAN, 17 November 2012
Indonesia baru
saja selesai menyelenggarakan Forum Demokrasi Bali (FDB) V di Nusa Dua, Bali,
8-9 November 2012. Forum tersebut dihadiri 10 kepala negara/pemerintahan, 27
menteri dan lebih dari 1.200 peserta dari 73 negara termasuk delegasi dari
negara-negara pengamat.
Forum itu mengusung tema besar "Memajukan Prinsip Demokrasi dalam Tatanan Global: Bagaimana Pemerintahan Demokrasi Global Berkontribusi kepada Keamanan dan Perdamaian Internasional, Pertumbuhan Ekonomi dan Penegakan HAM". Dari ketiga tema forum itu, salah satu yang paling disoroti Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) adalah pentingnya melakukan reformasi terhadap Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-Bangsa (DK PBB). Menurutnya, reformasi itu urgen dilakukan agar DK PBB mencerminkan realitas abad 21 yang strategis dan memberikan keamanan untuk semua sehingga keamanan dan perdamaian dunia dapat diwujudkan. Yang menjadi pertanyaan adalah apa mungkin reformasi itu bisa dilakukan sehubungan dengan gagalnya berbagai upaya yang sudah banyak dilakukan para pakar perdamaian. Usulan Reformasi Untuk melakukan reformasi terhadap DK PBB, SBY mengusulkan tata kelola pemerintahan di tingkat global harus dibuat sedemokratis mungkin. Cirinya, kata SBY, pusat kekuatan harus tersebar dan tidak lagi terpusat pada segelintir negara sebagaimana tercermin dalam hak veto yang dimiliki negara “Lima Besar: AS, Rusia, China, Prancis, dan Inggris”. Usulan SBY ini sebetulnya bukanlah sebuah ide baru. Para pakar perdamaian telah merumuskan banyak formula untuk mereformasi DK PBB agar menjadi lebih demokratis. Di antara yang paling menonjol adalah usulan pemikiran dari Sekretaris Jenderal PBB, Kofi Anan (2003) dan usulan dari Direktur Toda Institute Global Peace and Policy Research, Majid Tehranian (2010) tentang perubahan struktur keanggotaan DK PBB. Untuk mewujudkan usulan reformasi DK PBB yang dimaksud, Anan pada November 2003 membentuk sebuah panel tingkat tinggi yang beranggotakan tokoh-tokoh terkemuka. Di antara ide yang dipertimbangkan dalam panel itu adalah mengubah keanggotaan DK PBB. Panel itu mengusulkan untuk menambah tujuh anggota tetap lagi, mungkin di antaranya Jerman, Jepang, Brasil, Italia, Mesir, Afrika Selatan dan Nigeria, serta tiga anggota tambahan yang berlaku untuk periode dua tahun. Alternatif lainnya adalah dengan menambah delapan anggota semipermanen untuk periode empat tahun ditambah dengan satu anggota tambahan untuk periode dua tahun. Walaupun negara “Lima Besar” akan tetap mempertahankan otoritas mereka, tapi dengan adanya Jepang, Jerman, dan India, negara-negara ini akan bisa mengimbangi negara “Lima Besar” dalam proses pengambilan keputusan di DK PBB. Usulan serupa pernah dijelaskan Tehranian. Menurutnya, agar PBB tanggap terhadap berbagai persoalan nyata, yang perlu dilakukan adalah melakukan demokratisasi pada struktur, organisasi, dan metode-metode kerja di DK PBB. Secara khusus, Tehranian menyoroti tiga hal untuk mewujudkan hal itu. Pertama, kekuasaan memberikan hak veto dari kelima anggota tetapnya haruslah secara bertahap dikurangi dan akhirnya dihapuskan. Kedua, jika tidak bisa dihapuskan, keanggotaan DK haruslah diperluas, dan ketiga, prinsip kebulatan suara, tanpa pemberian hak veto kepada siapa pun, haruslah berlaku pada kasus ketika resolusi DK meminta intervensi militer PBB. Sayangnya hingga kini, reformasi yang diusulkan Anan dan Tehranian tak kunjung direalisasikan. Apa yang (Tidak) Mungkin? Perubahan yang disarankan SBY untuk mereformasi DK PBB memang kontroversial dan kecil kemungkinannya bisa dilakukan dalam waktu dekat. Hal itu terjadi karena tiga alasan yang akan selalu menghambat. Pertama, usulan untuk menambah anggota baru dalam keanggotaan DK PBB akan menimbulkan penolakan dari salah satu negara “Lima Besar”. China, misalnya, sebagai negara anggota tetap DK PBB tidak akan membiarkan Jepang masuk dalam struktur keanggotaan DK karena dianggap sebagai pesaing utama di Asia. Apalagi kedua negara itu saat ini sedang terlibat dalam sengketa wilayah di kepulauan yang oleh Jepang disebut Senkaku dan oleh China disebut Diaoyu. Kedua, meskipun negara “Lima Besar” menyetujui penambahan keanggotaan dalam struktur DK PBB, hal itu tidak akan memberikan perubahan penting apa pun dalam pengambilan keputusan terhadap persoalan krusial. Jika persoalan itu membenturkan kepentingan nasional negara “Lima Besar”, mereka pasti akan menggunakan senjata politik hak veto mereka. Hal ini bisa dilihat pada kasus konflik di Suriah. China dan Rusia misalnya, pada 19 Juli lalu, telah memveto rancangan resolusi DK PBB yang berisi ancaman sanksi terhadap Presiden Suriah, Bashar al-Assad. Ini merupakan yang ketiga kali bagi Rusia --sekutu utama pemerintah Suriah-- dan China menggunakan hak veto mereka untuk menghalangi resolusi yang dirancang AS untuk menekan al-Assad. Akibat veto ini, PBB menjadi kehilangan fungsinya untuk bisa menghentikan konflik di Suriah yang sudah berlangsung 18 bulan lamanya antara pasukan pemerintah dan oposisi. Ketiga, andaikan usulan keanggotaan DK PBB bisa direformasi, hal itu belum tentu membuat kinerja DK akan efektif. Ini karena negara “Lima Besar” bisa saja menghindari pemungutan suara di DK PBB dan mengambil langkah-langkah unilateral. Invasi AS atas Irak pada 2003 adalah contoh bagus mengenai hal itu. Oleh sebab itu, selama negara “Lima Besar” tetap ingin mempertahankan hak veto atau arogansi kekuasaan internasionalnya, berbagai upaya untuk melakukan reformasi terhadap DK PBB akan sia-sia. Jika ingin reformasi itu bisa direalisasikan, SBY harus bisa mengatasi tiga hambatan besar di atas yang akan selalu dimunculkan oleh negara “Lima Besar”. ● |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar