Palestina
Pascapemilu AS
Abdillah Toha ; Pemerhati Luar Negeri
|
REPUBLIKA,
16 November 2012
Walau Perdana Menteri Israel Netanyahu mengucapkan
selamat atas terpilihnya Obama, tidak bisa dibantah bahwa dia sebenarnya
pendukung Romney dalam pemilu presiden Amerika baru-baru ini. Pemilik koran
partai Likud Israel Hayom (Israel Kini), Sheldon Edelson, yang juga seorang
pengusaha miliarder dan kawan dekat Netanyahu secara terang-terangan
memberikan dukungan keuangan kepada kandidat Romney.
Di beberapa negara bagian yang suaranya
dianggap menentukan, bahkan ada iklan lobi Israel yang mendukung Romney
berupa debat imaginer antara Netanyahu dan Obama yang ditayangkan secara di
luar konteks. Sampai batas tertentu propaganda Israel ini berhasil merayu
warga Yahudi Amerika. Suara Yahudi yang secara tradisional mendukung Demokrat
merosot dari 78 persen pada 2008 menjadi 70 persen kali ini.
Dukungan Yahudi Amerika kepada calon Republik
meningkat dari 21 persen ke 30 persen. Netanyahu sendiri yang dibesarkan di Amerika
adalah kawan dekat Romney. Kemenangan Obama kemudian disambut kecut di
Israel, padahal hampir seluruh bagian dunia lain menyambutnya dengan lega.
Inilah barangkali kekalahan pertama AIPAC,
organisasi lobi Yahudi terbesar di Amerika yang sangat ditakuti oleh politisi
Amerika. Kasus ini kemudian menjadi isu politik di Israel menjelang pemilu di
sana yang akan dilaksanakan pada 22 Januari mendatang. Partai-partai
penentang Netanyahu menyalahkan perdana menteri yang makin memperburuk
hubungan dengan Amerika yang memang sudah tidak hangat sejak Netanyahu
beberapa kali `berkonfrontasi' dengan Obama.
Obama dan Netanyahu beberapa kali berbeda
sengit soal pembangunan permukiman Israel di Tepi Barat dan Jerusalam Timur.
Ketika Obama pada Mei 2011 menyarankan penyelesaian konflik Israel Palestina
berdasarkan garis perbatasan 1967, Netanyahu naik pitam dan menguliahi Obama
di Gedung Putih tentang ketidaksetujuannya.
Menjelang pemilu Amerika, Netanyahu yang
berambisi menyerang Iran, terus menekan Obama dengan mengatakan bahwa mereka
yang tidak sepakat menarik `garis merah' (batas toleransi terhadap Iran) atas
program nuklir Iran, tidak punya hak moral untuk menghalangi Israel
menggunakan kekuatan bersenjatanya terhadap Iran. Bagaimana dengan reaksi
Palestina?
Lega Tanpa Jaminan
Bagi para pejuang Palestina, Obama adalah
pilihan terbaik dari yang buruk.
Romney yang beberapa kali membuat pernyataan yang tidak menguntungkan Palestina dan berjanji akan melakukan kunjungan ke Israel sebagai kunjungan pertamanya ke luar negeri bila terpilih, jelas bukan preferensi Palestina.
Palestina cukup lega dengan terpilihnya kembali Obama. Namun demikian, apakah
ada jaminan bahwa Obama yang pada pemerintahan periode pertamanya tidak
menunjukkan kiprah nyata sesuai janjinya untuk menyelesaikan masalah
Palestina dengan adil, akan berubah pada periode kedua pemeritahannya? Sulit
untuk diharapkan. Mengapa?
Pertama, prioritas Obama lebih pada
menyelesaikan permasalahan ekonomi dalam negeri yang semakin gawat. Dalam
jangka pendek ia sedang dihadapkan pada masalah `jurang fiskal\' dan untuk
mengatasinya harus berhadapan dengan Majelis Rendah Kongres yang tidak bersahabat.
Permasalahan berikutnya yang lebih berjangka menengah dan pan jang masih soal
ekonomi yang menyangkut pengangguran, defisit ang garan, utang negara, dampak
krisis Eropa, hubungan dengan Cina, masalah energi, masalah lingkungan, dan
lainnya yang saling bertautan dan akan menyita perhatiannya.
Kedua, hubungan luar negeri yang tidak pernah
menjadi isu penting dalam pemilu, kali ini akan dipusatkan pada kelanjutan
penarikan pasukan dari Irak dan Afghanistan, masalah terorisme internasional,
kerja sama ekonomi Asia Pasifik beserta penguatan armada untuk mengimbangi
Cina, serta pada waktu yang sama perampingan anggaran belanja militer. Bagi
Amerika, masalah yang lebih mendesak di Timur Tengah saat ini adalah
pergolakan di Suriah dan masalah program nuklir Iran.
Ketiga, sampai saat ini, siapa pun yang
memegang kendali pemerintahan di Amerika masih menganggap Israel sebagai
sekutu Amerika terpenting di Timur Tengah. Walau Obama terkesan lebih kritis
terhadap beberapa kebijakan Israel terutama yang menyangkut masalah
permukiman, dari sudut pandang Amerika, eksistensi dan keamanan Israel bukan
merupakan bagian yang bisa ditawar. Ini terbukti dari dukungan Amerika
terhadap serangan Israel baru-baru ini ke Gaza dan serangan-serangan militer
Israel sejenis sebelum ini dengan dalih Israel berhak membela diri dari
serangan musuh.
Keempat, tidaklah selalu benar bila ada yang
mengatakan bahwa pada periode dua, Obama akan lebih bebas dan berani
mengambil keputusan karena sudah tidak akan maju lagi dalam pemilu presiden
mendatang. Dari catatan sejarah kepresidenan Amerika, justru banyak kegagalan
dialami oleh presiden Amerika pada periode keduanya.
Lagi pula, walau tidak akan maju lagi, sebagai
presiden yang mewakili sebuah partai, presiden petahana punya kepentingan
agar penggantinya tetap dari partai yang sama. Dengan begitu, keputusan
kebijakan akan selalu memperhatikan dampak politik jangka pendek terhadap
konstituen.
Dari apa yang diuraikan di atas, tampaknya
tidaklah tepat untuk mengharap terlalu banyak pada penyelesaian masalah
Palestina di tangan Obama pada periode keduanya. Bagi Israel, Ame rika tetap
merupakan pelindung utamanya. Bagi Palestina, bila ingin ada kemajuan untuk
menggapai cita-cita kemerdekaannya, harus ada grand strategy baru dengan
keluar dari kung- kungan ketergantungan kepada Amerika.
Upaya pengakuan Majelis Umum PBB atas negara
Palestina dengan batas- batas 1967 harus diteruskan walau dihalangi oleh
Amerika dan kawan-kawan. Pendekatan pada kekuatan- kekuatan dunia baru,
seperti Cina, Rusia, India, Brasil, dan Afrika Selatan harus diintensifkan.
Dukungan lebih konkret dari kekuatan politik
progresif baru di Timur Tengah pasca-Arab Spring harus dikukuhkan. Dengan
demikian, Amerika akan makin tersadarkan bahwa mendukung terus Israel tanpa
reserve tidak akan menguntungkan kepentingan nasional jangka panjang mereka. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar