Menyantunkan
Elite Politik
Joko Wahyono ; Peneliti pada Center for Indonesian Political
Studies
(CIPS) Yogyakarta
|
SINAR
HARAPAN, 05 November 2012
Berita
seputar konflik antar-elite politik hampir tanpa jeda meramaikan media massa.
Setelah berbulan-bulan ruang publik itu dijejali sengketa KPK versus Polri
yang hingga kini belum tampak tanda-tanda akan berhenti, belakangan media
massa kuyub dengan pemberitaan ihwal “perang dingin” antara Menteri BUMN
Dahlan Iskan dengan jajaran anggota Dewan.
Pertikaian
kali ini bermula dari penemuan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) terkait
inefisiensi Perusahaan Listrik Negara (PLN) tahun 2011 sekitar Rp 37,6
triliun. Temuan ini kemudian ditanggapi anggota Dewan, khususnya Komisi VII
DPR yang akan membawanya ke KPK untuk diproses secara hukum.
Sementara
itu, mantan Dirut PLN itu balik menuding terkait praktik permintaan upeti
dari anggota DPR terhadap BUMN. Kini beredar pesan singkat berantai berisi
inisial nama-nama anggota DPR lintas fraksi pemeras yang ditengarai berasal
dari humas kementerian BUMN.
Meski
Dahlan sudah menampik adanya penyebaran informasi tersebut, berita yang sudah
sedemikian vulgar itu telah membuat “panas kuping” para politikus di Senayan.
Perang
dingin antara Dahlan dengan sejumlah anggota Dewan pun tak dapat dielakkan.
Bahkan, pertikaian antar-elite politik tersebut sudah menjurus pada rivalitas
personal yang berimplikasi pada gesekan institusional.
Publik
tidak tahu persis mana yang benar dan mana yang salah. Aksi saling tuduh dan
saling menyalahkan antar-elite politik hanya dilihat sebagai dagelan usang.
Apa yang diungkapkan, baik terkait inefisiensi PLN dan hobi pemerasan BUMN
oleh anggota DPR bisa saja benar.
Namun,
tidak sepatutnya elite politik beradu mulut saling tuduh dan tuding di depan
publik, meski apa yang dibela adalah prinsip-prinsip kebenaran. Masing-masing
pihak seharusnya lebih mengedepankan etika politik dan hukum daripada bersikap
emosional ketika menghadapi konflik.
Wajah
Buruk
Harus
diingat bahwa elite adalah orang-orang terkemuka. Dalam bahasa Latin, “elite”
berasal dari “eligere” yang berarti terpilih (a choice of person). Namun,
dalam konteks sosial politik Indonesia pascareformasi terdapat dua perilaku
politik yang paling mencolok, yakni konflik politik (political conflict) dan
kekerasan kolektif (political violence).
Di
sini aroma tarik-menarik kepentingan antar-elite politik cukup kental dan
cenderung mengarah kepada perilaku konfliktual.
Mereka
beradu argumentasi dan “perang” pernyataan untuk berebut kekuasaan dengan
kepentingan yang berbeda. Hans J Morgenthau (1978) menyatakan bahwa konflik
politik adalah wujud perjuangan untuk memperoleh, mempertahankan dan memperbesar
kekuasaan (struggle for power).
Inilah
yang terjadi antara Dahlan dengan anggota Dewan. Perilaku saling menuduh dan
menuding di antara mereka merupakan aksi saling berebut kuasa atas kebenaran.
Mereka saling menyerang secara apologetis bercorak misoginis (atas dasar
kebencian) untuk mencari sensasi dan dukungan publik.
Tak
salah juga jika publik menganggap bahwa perseteruan tersebut hanya wujud
politik pencitraan menjelang Pemilu 2014. Kontroversi dan konflik sengaja
ditebar untuk menunjukkan siapa yang bersih dan hebat. Kisruh antar-elite
politik ini lebih kepada konflik destruktif, aksi saling jegal untuk membela
diri (self defense mechanism).
Kepentingan
pribadi dan golongan lebih dikedepankan daripada berpolitik secara damai,
ramah, diplomatis di atas track demokrasi. Ketegangan (tension) yang muncul
menunjukkan bahwa komunikasi yang dibangun oleh elite politik masih jauh dari
etika kesantunan.
Inilah
wajah buruk elite politik yang banyak berseliweran di media massa.
Sebaliknya, media massa juga gemar mengekspos kekisruhan.
Masyarakat
modern dengan rezim simulasi dijadikan massa pasif. Mereka dicecoki oleh
maraknya aktor elite manipulatif. Namun, disadari atau tidak, konflik elite
politik yang memangkirkan etika kesantunan akan memberikan pendidikan politik
yang buruk bagi masyarakat luas.
Tanggung
Jawab Moral
Kini
saatnya masyarakat dikembalikan pada area komunikasi politik yang cerdas.
Pada domain itulah sejatinya pencerahan berpolitik dimulai. Lebih lagi dalam
masyarakat centrifugal democracy, di mana kondisi perilaku elite sangat
kompetitif dengan masyarakat yang terfragmentasi.
Jadi,
apa pun alasannya, perseteruan antar-elite merupakan persoalan yang tidak
substantif yang bisa mengaburkan permasalahan bangsa yang sebenarnya.
Bangsa
ini tidak boleh dikelola dengan cara-cara konflik antar-elite yang memicu
kebencian dan dendam. Masyarakat kita sudah jenuh dengan perilaku elite
politik yang gemar melakukan kontroversi dan berkonflik secara terbuka di
depan publik.
Sebagai
pemegang jabatan publik, elite politik sejatinya memiliki tanggung jawab
moral terhadap masyarakat. Inilah yang seharusnya menyadarkan mereka akan
pentingnya budaya politik santun. Kesantunan merupakan fondasi untuk
membangun kondisi politik yang manusiawi, bukan penuh kekerasan dan
kebencian.
Budaya
politik santun akan terwujud jika mereka mampu menjamin prinsip kesetaraan,
keadilan dan solidaritas dengan mengakui adanya timbal balik hubungan yang
fair. Tidak ada superioritas dan inferioritas, dominasi dan subordinasi.
Komunikasi politik harus dibangun penuh empati moral dengan bersikap
kritis-klarifikatif, bukan tergesa-gesa, emosional dan menyerang.
Hampir
setiap konflik politik adalah buah dari egoisme, hipokritasi, dominasi,
manipulasi dan superioritas di antara elite politik. Perilaku elite yang
enggan bersikap rendah hati dan kesatria membuat bangsa ini terjerembab dalam
keguncangan.
Sudah
semestinya budaya saling menuduh dan menyalahkan dikikis hingga derajat yang
paling rendah. Di situlah tolok ukur budaya politik santun, yakni elite
politik yang rendah hati, empatik, altruistik dan berjiwa besar.
Sikap
seperti ini merupakan basis kesantunan politik yang harus dibudayakan mulai
sekarang oleh para elite politik. Tujuannya satu, agar masyarakat bisa
belajar dari keteladanan dan kesantunan para wakilnya. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar