Selasa, 06 November 2012

Menyantunkan Elite Politik


Menyantunkan Elite Politik
Joko Wahyono ;  Peneliti pada Center for Indonesian Political Studies
(CIPS) Yogyakarta
SINAR HARAPAN, 05 November 2012



Berita seputar konflik antar-elite politik hampir tanpa jeda meramaikan media massa. Setelah berbulan-bulan ruang publik itu dijejali sengketa KPK versus Polri yang hingga kini belum tampak tanda-tanda akan berhenti, belakangan media massa kuyub dengan pemberitaan ihwal “perang dingin” antara Menteri BUMN Dahlan Iskan dengan jajaran anggota Dewan.

Pertikaian kali ini bermula dari penemuan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) terkait inefisiensi Perusahaan Listrik Negara (PLN) tahun 2011 sekitar Rp 37,6 triliun. Temuan ini kemudian ditanggapi anggota Dewan, khususnya Komisi VII DPR yang akan membawanya ke KPK untuk diproses secara hukum.

Sementara itu, mantan Dirut PLN itu balik menuding terkait praktik permintaan upeti dari anggota DPR terhadap BUMN. Kini beredar pesan singkat berantai berisi inisial nama-nama anggota DPR lintas fraksi pemeras yang ditengarai berasal dari humas kementerian BUMN.

Meski Dahlan sudah menampik adanya penyebaran informasi tersebut, berita yang sudah sedemikian vulgar itu telah membuat “panas kuping” para politikus di Senayan.
Perang dingin antara Dahlan dengan sejumlah anggota Dewan pun tak dapat dielakkan. Bahkan, pertikaian antar-elite politik tersebut sudah menjurus pada rivalitas personal yang berimplikasi pada gesekan institusional.

Publik tidak tahu persis mana yang benar dan mana yang salah. Aksi saling tuduh dan saling menyalahkan antar-elite politik hanya dilihat sebagai dagelan usang. Apa yang diungkapkan, baik terkait inefisiensi PLN dan hobi pemerasan BUMN oleh anggota DPR bisa saja benar.

Namun, tidak sepatutnya elite politik beradu mulut saling tuduh dan tuding di depan publik, meski apa yang dibela adalah prinsip-prinsip kebenaran. Masing-masing pihak seharusnya lebih mengedepankan etika politik dan hukum daripada bersikap emosional ketika menghadapi konflik.

Wajah Buruk

Harus diingat bahwa elite adalah orang-orang terkemuka. Dalam bahasa Latin, “elite” berasal dari “eligere” yang berarti terpilih (a choice of person). Namun, dalam konteks sosial politik Indonesia pascareformasi terdapat dua perilaku politik yang paling mencolok, yakni konflik politik (political conflict) dan kekerasan kolektif (political violence).

Di sini aroma tarik-menarik kepentingan antar-elite politik cukup kental dan cenderung mengarah kepada perilaku konfliktual.

Mereka beradu argumentasi dan “perang” pernyataan untuk berebut kekuasaan dengan kepentingan yang berbeda. Hans J Morgenthau (1978) menyatakan bahwa konflik politik adalah wujud perjuangan untuk memperoleh, mempertahankan dan memperbesar kekuasaan (struggle for power).

Inilah yang terjadi antara Dahlan dengan anggota Dewan. Perilaku saling menuduh dan menuding di antara mereka merupakan aksi saling berebut kuasa atas kebenaran. Mereka saling menyerang secara apologetis bercorak misoginis (atas dasar kebencian) untuk mencari sensasi dan dukungan publik.

Tak salah juga jika publik menganggap bahwa perseteruan tersebut hanya wujud politik pencitraan menjelang Pemilu 2014. Kontroversi dan konflik sengaja ditebar untuk menunjukkan siapa yang bersih dan hebat. Kisruh antar-elite politik ini lebih kepada konflik destruktif, aksi saling jegal untuk membela diri (self defense mechanism).

Kepentingan pribadi dan golongan lebih dikedepankan daripada berpolitik secara damai, ramah, diplomatis di atas track demokrasi. Ketegangan (tension) yang muncul menunjukkan bahwa komunikasi yang dibangun oleh elite politik masih jauh dari etika kesantunan.

Inilah wajah buruk elite politik yang banyak berseliweran di media massa. Sebaliknya, media massa juga gemar mengekspos kekisruhan.
Masyarakat modern dengan rezim simulasi dijadikan massa pasif. Mereka dicecoki oleh maraknya aktor elite manipulatif. Namun, disadari atau tidak, konflik elite politik yang memangkirkan etika kesantunan akan memberikan pendidikan politik yang buruk bagi masyarakat luas.

Tanggung Jawab Moral

Kini saatnya masyarakat dikembalikan pada area komunikasi politik yang cerdas. Pada domain itulah sejatinya pencerahan berpolitik dimulai. Lebih lagi dalam masyarakat centrifugal democracy, di mana kondisi perilaku elite sangat kompetitif dengan masyarakat yang terfragmentasi.

Jadi, apa pun alasannya, perseteruan antar-elite merupakan persoalan yang tidak substantif yang bisa mengaburkan permasalahan bangsa yang sebenarnya.
Bangsa ini tidak boleh dikelola dengan cara-cara konflik antar-elite yang memicu kebencian dan dendam. Masyarakat kita sudah jenuh dengan perilaku elite politik yang gemar melakukan kontroversi dan berkonflik secara terbuka di depan publik.

Sebagai pemegang jabatan publik, elite politik sejatinya memiliki tanggung jawab moral terhadap masyarakat. Inilah yang seharusnya menyadarkan mereka akan pentingnya budaya politik santun. Kesantunan merupakan fondasi untuk membangun kondisi politik yang manusiawi, bukan penuh kekerasan dan kebencian.

Budaya politik santun akan terwujud jika mereka mampu menjamin prinsip kesetaraan, keadilan dan solidaritas dengan mengakui adanya timbal balik hubungan yang fair. Tidak ada superioritas dan inferioritas, dominasi dan subordinasi. Komunikasi politik harus dibangun penuh empati moral dengan bersikap kritis-klarifikatif, bukan tergesa-gesa, emosional dan menyerang.

Hampir setiap konflik politik adalah buah dari egoisme, hipokritasi, dominasi, manipulasi dan superioritas di antara elite politik. Perilaku elite yang enggan bersikap rendah hati dan kesatria membuat bangsa ini terjerembab dalam keguncangan.

Sudah semestinya budaya saling menuduh dan menyalahkan dikikis hingga derajat yang paling rendah. Di situlah tolok ukur budaya politik santun, yakni elite politik yang rendah hati, empatik, altruistik dan berjiwa besar.

Sikap seperti ini merupakan basis kesantunan politik yang harus dibudayakan mulai sekarang oleh para elite politik. Tujuannya satu, agar masyarakat bisa belajar dari keteladanan dan kesantunan para wakilnya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar