Senin, 19 November 2012

Mengawal RUU Penyiaran


Mengawal RUU Penyiaran
Amir Effendi Siregar ;   Ketua Serikat Perusahaan Pers Pusat
KORAN TEMPO, 19 November 2012


Menggembirakan, RUU Penyiaran inisiatif DPR telah disahkan tanggal 23 Oktober 2012. Secara prinsip, isinya bagus dan demokratis. Namun, di samping banyak pasal penting yang bagus, terdapat beberapa pasal yang perlu diperbaiki.
RUU dimulai dengan pemikiran filosofis yang demokratis dan bagus. Kemerdekaan berpendapat harus dijamin dan dijalankan secara bertanggung jawab. Spektrum frekuensi radio adalah milik publik dan sumber daya alam terbatas yang harus digunakan untuk kemakmuran rakyat. Keanekaragaman kepemilikan dan isi harus dijamin serta dilaksanakan untuk menjaga pluralisme masyarakat, otonomi daerah, integrasi, dan identitas nasional guna mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Berdasarkan pemikiran yang bersifat filosofis ini, RUU disusun.
Regulator Penyiaran
RUU ini tegas menetapkan Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) dan pemerintah sebagai regulator penyiaran dengan KPI sebagai regulator utamanya. Di banyak negara demokrasi, memang yang menjadi regulator utama penyiaran adalah lembaga negara independen. 
KPI antara lain bertugas menjamin masyarakat menerima isi siaran yang sehat dan menciptakan tatanan informasi nasional yang adil, merata, dan seimbang. Kemudian KPI berwenang memberikan Izin Penyelenggaraan Penyiaran (IPP), membentuk peraturan penyelenggaraan penyiaran, menetapkan Standar Program Siaran, dan memberikan sanksi atas pelanggaran. Pemerintah mengeluarkan Izin Penetapan Frekuensi untuk penyiaran. 
Namun RUU ini memberikan KPID wewenang mengeluarkan IPP di daerah. KPI pusat juga mengeluarkan IPP. Apa bedanya? Apakah IPP dari KPI pusat khusus untuk induk LPS? RUU tidak memberikan penjelasan. Ini dapat membuat terjadinya pertikaian dan kesulitan banyak pihak dalam berhubungan dengan banyak KPID. Seharusnya hubungan antara KPI dan KPID bersifat hierarkis, ada komando dan perintah, serta bersifat koordinatif. Pengaturan penyiaran yang juga mengatur penggunaan frekuensi terikat pada ketentuan International Telecommunication Union (ITU) yang sifatnya juga hierarkis dan koordinatif. Karena itu, sebaiknya IPP hanya dikeluarkan oleh KPI pusat, namun harus melalui proses dan rekomendasi dari KPID.
Penyiaran Publik 
Sebagai penyeimbang, kehadiran Lembaga Penyiaran Publik (LPP) adalah keharusan. RUU menyatakan bahwa LPP adalah Radio Televisi Republik Indonesia (RTRI) yang merupakan gabungan RRI dan TVRI. Agar LPP tumbuh dan berkembang pesat, RTRI akan diatur dengan undang-undang terpisah yang masih dalam pembahasan di DPR.
Lembaga Penyiaran Komunitas (LPK) mendapat tempat penting di samping lembaga penyiaran publik, swasta, dan berlangganan. LPK didirikan oleh komunitas di wilayah tertentu atau oleh komunitas yang terikat dengan kepentingan tertentu, bersifat independen, nirlaba, serta melayani kepentingan komunitasnya. Sumber pembiayaan berasal dari komunitasnya dan/atau sumbangan, hibah, serta sponsor. Konsep LPK ini mendekati konsep penyiaran komunitas di Eropa Barat dan public broadcasting service di Amerika Serikat.
Yang menarik dan baru adalah, LPK dapat memancarluaskan siaran melalui jaringan LPK. Itu berarti LPK Universitas Indonesia dapat berjaringan dengan LPK UGM dan perguruan tinggi lainnya. Jaringan ini tidak harus nasional, tapi bisa regional. Ide jaringan LPK adalah ide yang bagus, namun memerlukan pengaturan lebih lanjut.
Penyiaran Swasta
Lembaga penyiaran swasta (LPS), yang kini dominan, tentu saja penting dalam RUU ini. LPS yang ingin memancarluaskan siaran ke lebih dari satu wilayah siar wajib melalui sistem jaringan. Lembaga penyiaran lokal yang menjadi bagian dari sistem siaran jaringan wajib berbadan hukum dan berlokasi di daerah wilayah siar. Dengan demikian, nantinya, di setiap daerah bisa terdapat LPS yang merupakan induk jaringan, LPS yang merupakan anggota jaringan dan dimiliki oleh induk, LPS anggota jaringan tapi tidak dimiliki induk, dan LPS yang independen bukan anggota jaringan. 
Kepemilikan LPS
Untuk menjamin keanekaragaman kepemilikan, sebagaimana juga terjadi di negara demokrasi lainnya, RUU ini mengatur secara ketat kepemilikan media free to air ini. Sebagai contoh, satu orang atau satu badan hukum dapat menguasai dan memiliki lebih dari 1 dan paling banyak 2 LPS televisi dalam bentuk induk stasiun jaringan dengan yang kedua terletak di wilayah siar lain dan tidak berada dalam posisi 1 sampai dengan 4 dalam perolehan iklan televisi swasta nasional. Kemudian hanya dapat menguasai dan memiliki 1 LPS televisi di satu wilayah siar. Boleh memiliki lebih dari 1 LPS televisi lokal di berbagai wilayah siar dan boleh menjangkau secara nasional sepanjang 20 persen secara proporsional ditujukan di daerah kurang maju/termarjinalkan.
Selanjutnya, RUU dengan tegas menekankan bahwa perubahan saham pengendali yang memiliki dan menguasai LPS harus dilaporkan dan mendapat izin dari KPI. 
Digitalisasi
RUU memberikan dasar hukum pelaksanaan penyiaran dengan teknologi digital. Penyebarluasan program dan isi siaran dalam teknologi digital akan dilakukan oleh Lembaga Penyelenggara Penyiaran Multipleksing (LPPM). Satu kanal atau frekuensi yang tadinya hanya untuk 1 saluran program, kini bisa menjadi 12 saluran program. Sehingga nantinya terdapat: 1). Lembaga penyiaran yang membuat program dan isi; dan 2). LPPM yang bisa dimiliki oleh konsorsium, badan usaha milik swasta ataupun milik negara. LPPM wajib menjaga netralitas, independensi, dan profesionalitas. Kesempatan terbuka sama untuk seluruh badan hukum penyiaran, termasuk yang baru.
Putusan MK
MK pada 3 Oktober 2012 menolak permohonan Koalisi Independen untuk Demokratisasi Penyiaran (KIDP) yang meminta tafsir tunggal tentang pemusatan kepemilikan. Kini, banyak badan hukum yang memiliki lebih dari 1 LPS di satu daerah dengan jaringan di daerah lain. Menurut KIDP, itu dilakukan karena tafsir yang keliru. MK menolak melakukan tafsir karena sudah jelas terdapat dalam PP Nomor 50 Tahun 2005 yang mengatakan antara lain bahwa satu badan hukum paling banyak memiliki 2 IPP di 2 provinsi yang berbeda. Kemudian paling banyak memiliki saham 100 persen pada badan hukum pertama dan 49 persen pada badan hukum kedua. Sehingga, bila terjadi penyimpangan, bukanlah masalah konstitusionalitas, melainkan soal implementasi norma. Keputusan MK jelas menolak pemusatan kepemilikan yang sekarang terjadi.
Bila MK dan DPR sepakat untuk membatasi ketat pemusatan kepemilikan, pemerintah pun nanti seharusnya sepakat. RUU ini memberi batas waktu penyesuaian untuk radio 1 tahun 6 bulan, dan televisi 3 tahun. Ini adalah waktu yang cukup. Lewat awal yang bagus, baiknya seluruh masyarakat mengawal RUU agar menjadi undang-undang yang demokratis dalam membangun sistem penyiaran Indonesia. Semoga. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar