Kealpaan Rhoma
Ahmad Sahidah ; Dosen Filsafat dan Etika Universitas Utara Malaysia
|
SUARA MERDEKA, 20 November 2012
RHOMA Irama menarik perhatian orang ramai. Kali ini, ia tidak untuk bernyanyi di atas panggung tetapi bersedia maju sebagai calon presiden Indonesia tahun 2014. Sebelumnya, sejumlah ulama yang tergabung dalam Asatidz mendorong Raja Dangdut itu berkompetisi menjadi calon orang nomor satu di negeri ini. Dalam sebuah pengajian Habib al-Habsyi (11/11/12), Bang Haji juga menegaskan tengah menunggu pinangan partai untuk bersaing dengan calon lain.
Sebelum dia lebih jauh memantapkan keinginannya, kita harus menjernihkan persoalan terkait isu suku, agama, ras, dan antargolongan (SARA) dalam putaran kedua Pilgub DKI Jakarta 2012. Waktu itu, ajakan Rhoma untuk memilih calon pimpinan daerah yang seiman memantik kontroversi.
Seruan ini menimbulkan banyak sanggahan dan ketidaksukaan orang ramai. Betapa pun hakikatnya banyak yang mendukung pandangan tersebut, terbukti perolehan suara Fauzi Bowo (Foke) tak berselisih jauh dari Joko Widodo (Jokowi). Namun menyelisik lebih dalam, pernyataan Rhoma bisa menimbulkan perpecahan masyarakat.
Meskipun Rhoma berkilah bahwa sedang berbicara kebenaran, kita pun mafhum bahwa sebelumnya ia berkampanye untuk pasangan Fauzi Bowo-Nachrowi Ramli pada putaran pertama. Tak ayal, pernyataan yang dianggap tak menghasut itu tetap dianggap telah mencuri permulaan kampanye. Benarkah kita haruskah memilih pemimpin yang seiman?
Untuk itu, kita perlu menyoal adakah seruan memilih pemimpin yang seiman termasuk bagian dari iman itu sendiri atau tidak? Jawabannya tidak. Hadis Abu Hurairah menyatakan iman adalah kepercayaan kepada Tuhan, malaikat, perjumpaan dengan Tuhan, para rasul, dan hari kebangkitan. Jelas, iman itu terkait dengan keyakinan pribadi yang ada di hati.
Namun kalau kita memeriksa lebih dalam kitab-kitab Ilmu Kalam, iman itu tidak hanya diucapkan (lisan) tetapi juga ditegaskan (taqrir), dan yang jauh lebih penting adalah perbuatan (amal). Betapa pun iman itu tersembunyi dalam hati, ia mewujud dalam sebuah tindakan.
Masalahnya, pada aras amal, ulama dan pemikiran muslim berselisih berhubung kriteria perbuatan yang bisa dikategorikan sebagai wujud iman. Atas kenyataan ini, seharusnya kita tak perlu terkejut bahwa di kalangan tokoh umat sendiri perbedaan itu tak dapat dielakkan. Belum lagi, dalam sejarah politik, umat Islam terbelah dengan pelbagai alasan demi merebut kekuasaan.
Kalau Rhoma membela Foke karena atas dasar kesamaan iman, Zuhairi Misrawi, Ketua Baitul Muslimin, sayap PDIP, sempat mengicau di Twitter bahwa tak ada salahnya masyarakat muslim memilih pemimpin yang bukan muslim. Seraya mengutip Ibn Taimiyyah dikatakan bahwa pemimpin kafir yang adil lebih baik ketimbang muslim yang tidak adil.
Tanpa terbebani sosok Ibn Taimiyyah yang lebih dikenal sebagai pemikir ''konservatif'', pendapatnya dirujuk untuk melegitimasi pilihan politik. Kalau menyelisik secara cermat, sebenarnya intelektual muda NU ini juga melakukan hal serupa dengan Bang Haji tapi dalam nuansa berbeda. Keduanya sama-sama menggunakan agama untuk melegitimasi garis politik.
Ukuran Kebenaran
Rhoma bergeming dengan pernyataannya, dan menyatakan ia hanya ingin membina umat. Secara retorik, ia pun menempelak, adakah yang salah menyampaikan kebenaran di rumah Tuhan? Tentu Bang Haji telah berhitung bahwa pernyataannya tidak bisa diseret pada pasal ''karet'' tentang menghina pasangan calon gubernur melalui isu SARA, dan berkampanye di dalam tempat ibadah.
Bagi orang-orang yang berpandangan politik sealiran dengan Bang Haji, mereka akan menegaskan bahwa kebenaran agama itu tak hanya dalam bidang ibadah tetapi juga hal ikhwal sosial dan politik (siyasah). Slogan mereka yang sering terdengar al-Islam huwa al-hal, yaitu wujud dari kepercayaan terhadap Islam sebagai sistem politik.
Masalahnya, adakah kebenaran dalam politik kita di sini? Lebih jauh lagi, adakah partai yang betul-betul mengusung agama dalam meraih kekuasaan? PDIP yang dikenal sebagai partai nasionalis pun membuat sayap Baitul Muslimin. PKS yang acap dituduh sebagai partai konservatif juga mencalonkan wakil bukan Islam.
Pendek kata, betapa isu perbedaan agama, apalagi etnik, tak lagi menghalangi partai untuk berlomba-lomba menuju Istana. Kalaupun Rhoma mendukung Foke, siapa pun mafhum bahwa incumbent (petahana) itu juga didukung Partai Demokrat, yang di dalamnya dihuni banyak orang berbeda agama dan etnis.
Seandainya kita ingin berbicara iman dan kebenaran, sejatinya kita sedang berikhtiar untuk mewujudkan iman sejati. Musuh yang harus dibidik bukan manusia yang berbeda dalam agama, etnis, dan ras. Bagaimanapun, iman Nabi Muhammad saw yang mewujud dalam Piagam Madinah telah mencerminkan kehendak hidup bersama dengan komunitas Yahudi dan Kristen, serta suku Auz dan Khazraj.
Kepemimpin dalam Islam ditandai dengan gelar khalifah fil ard, yakni manusia menjadi pemimpin bagi bumi agar tidak musnah lewat angkara ketamakan. Musuh yang mengintai dan sering merusak itu adalah kemiskinan, kebodohan, dan penyakit. Hakikatnya, pemimpin yang berhasil mengatasi hal itu, dialah yang bisa menjaga iman dan kebenaran. Sejatinya, masyarakat Madinah itu menggambarkan lagu Bang Haji berjudul ''135 Juta'', tetapi kali ini Rhoma mungkin alpa. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar