Hijrah dari Bangsa
Parasit
Siti Marwiyah ; Dekan Fakultas Hukum Universitas
Dr Soetomo Surabaya
|
SUARA
KARYA, 16 November 2012
Orang yang dapat
menghadapi hidup adalah mereka yang bangkit dan mencari keadaan seperti yang
diinginkan. Apabila tidak menemukannya, mereka menciptakan keadaan tersebut,
(George Bernard Shaw).
Pernyataan Bernard
tersebut mengandung filosofi kehidupan yang bermakna bagi manusia. Manusia
diingatkan tentang kesejatian dirinya yang ditentukan oleh peran-peran yang
dimainkannya. Kebermaknaan hidup hanya bisa diraih dengan cara mencari dan
menciptakan keadaan sesuai yang dicita-citakan atau diobsesikannya. Sedangkan
keadaan ini haruslah mencerminkan sebagai hasil kreasi yang dilakukannya.
Kita ini terkadang
asal-asalan dan gampang meliberalisasikan perilaku dalam menjalani kehidupan
di muka bumi. Prinsip sesuka hati dan membiasakan hidup santai, menerima saja
tanpa ada usaha, tanpa perjuangan, tanpa kegigihan, tanpa ketekunan, tanpa
kreativitas, atau tanpa mengerahkan segala kemampuan, masih menjadi bagian
dari diri kita.
Kita, misalnya,
gampang bilang bahwa apa yang terjadi sudah ada garisnya dari Tuhan, padahal
kita sebenarnya tidak pernah tahu, apa sebenarnya garis yang sudah dibuat
atau dirumuskan oleh Tuhan. Kita mudah menyebut kalau kemudahan atau
kesulitan, kesenangan atau kesusahan, keberdayaan atau ketidakberdayaan
mengenai kita, sudah diatur dari 'Atas'.
Kita seringkali
menemukan sekelompok anggota masyarakat dan anak-anak muda yang menikmati
kehidupan serba santai. Keseharian mereka dihabiskan hanya untuk jalan-jalan,
cangkrukan, menyemarakkan kehidupan malam sampai pagi, atau berpola hidup
merugi, yang kalau ditanya dan dilarang, jawabannya, "Senyampang masih
muda, masih ada waktu, dan belum mati."
Prinsip seperti itu
dapat membuat kita gampang menjadi sosok manusia yang tidak giat, tak bersungguh-sungguh,
dan tak menyalakan semangat untuk mencari dan menemukan sesuatu yang kita
cita-citakan. Padahal, cita-cita kecil maupun besar baru bisa diraih jika
dilalui dengan cara terus menerus mencari dan berusaha membangun kultur
menciptakan.
Kata kunci
keberhasilan seseorang dalam hidup dari ketidakberdayaan menuju keberdayaan,
dan dari keberdayaan menuju pencerahan, sebagaimana disebut A Quilani (2003),
terfokus pada pembumian prinsip mencari dan menciptakan. Kedua kata kunci ini
secara psikologis dimaksudkan untuk membangkitkan emosi dan kesadaran
intelektualitas manusia supaya hidupnya punya warna, ada sejarah yang
terbentuk, ada pola hidup mencerahkan yang bisa dinikmati, atau nilai-nilai
kebermaknaan yang diraihnya.
Dengan dua kata ini,
manusia bisa menghijrahkan dirinya dari kesulitan menuju kemudahan, dari
kemunduran menuju kemajuan, dari kemajuan menuju pencerdasan dan pencerahan.
Dalam tahapan mencari
dan penciptaan ini, seseorang berusaha mengerahkan bakat, potensi, atau
keistimewaan dalam dirinya yang bisa dikonsentrasikan untuk mendapatkan dan
menghasilkan sesuatu yang bernilai. Sesuatu yang bernilai ini tentulah yang
membuat peran-peran yang dilakukannya bermanfaat bukan hanya untuk dirinya,
tetapi juga untuk masyarakat dan bangsanya.
Mewujudkan peran yang
bermanfaat tidaklah gampang, karena berbagai bentuk tantangan bisa jadi
menghambat, menghadang, dan menakhlukannya, atau membunuhnya. Tantangan ini
bukan tidak mungkin akan menyeretnya kembali menjadi sosok-sosok yang memilih
bersikap apatis, stagnan, dan menerima apa yang terjadi, dan bukannya membaca
dan mengendalikan realitas di masyarakat sebagai potensi atau peluang
strategis untuk mengembangkan diri.
Saat Nabi menjalankan
tugas kerasulan, sekelompok elit Qurays pernah menawarkan imbalan harta,
wanita, dan kekuasaan mapan dengan syarat Nabi tidak perlu melanjutkan
dakwahnya. Apa jawab Nabi dengan tantangan yang menggodanya ini?
"Andaikan bulan bisa kalian berikan di tangan kanan dan kiriku, aku
tidak akan menerimanya," demikian jawab Nabi sebagai bentuk penguatan
moral diri atau komitmen kepejuangannya.
Seseorang dari
kalangan muhajirin Jawaban Nabi itu menunjukkan ketegasan sikapnya terhadap
tantangan yang mencoba merapuhkan mentalitas kepejuangannya, yang sekaligus
mengajarkan pada umat Islam (sahabat-sahabatnya). Bahwa dalam kehidupan ini,
seseorang, masyarakat, atau bangsa mana pun di bumi, yang mencita-citakan
suatu perubahan besar, di samping harus teguh menghadapi setiap tantangan,
juga wajib menunjukkan prestasi-prestasinya melalui keberanian memproduk atau
menghasilkan sesuatu yang bermakna., yang tidak mau menjadi parasit di
Madinah atau 'menadahkan tangan' saja, misalnya, cukup bertanya pada
komunitas Anshor, keberadaan pasar atau daerah yang jadi pusat perdagangan.
Di area bisnis ini, seorang sahabat yang semula kehilangan hartanya di Mekah
akibat ikut berhijrah, mampu membangun budaya enterpreneurship-nya hingga
menjadi elite ekonomi lagi.
Kedua tantangan di
atas sebenarnya dimaksudkan menggugat atau 'menantang' mental masyarakat supaya
bermental kreatif, tidak pantang menyerah, atau tak takhluk dalam hegemoni
penyakit parasit, yang membuatnya kehilangan kecerdasan dan kegairahannya
dalam menerjemahkan fenomena sosial, kultural, dan berbagai bentuk kekayaan
yang disediakan oleh Allah di muka bumi.
Seharusnya, sebagai
bangsa yang menempatkan dirinya dalam ranah the biggest moeslem community in
the world, keberanian menjatuhkan opsi 'hijrah' dari mental parasit, mental
memperbudak diri, atau mental gampang menyerah dalam keterjajahan global
seperti membiarkan diri jadi 'kurcaci', negara-negara penghutang hanya demi
menikmati pinjaman, lebih dikedepankannya, yang pengedepanan ini ditunjukkan
dengan cara membangun mental kreatif dan produktif.
Keberanian menjatuhkan
opsi 'hijrah' dari kultur parasit dari berbagai cengkeraman kepentingan
lokal, nasional hingga global, menjadi garansi privilitas terwujudnya
keberdayaan dan pencerahan pada bangsa Indonesia. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar