Jumat, 16 November 2012

Hijrah dari Hegemoni Machiavelli


Renungan Tahun Baru 1434 H
Hijrah dari Hegemoni Machiavelli
Abdul Wahid ;  Mahasiswa Program Studi Doktor Ilmu Hukum Untag Surabaya
MEDIA INDONESIA, 16 November 2012


MENGANDALKAN norma hukum dan politik untuk melawan dan mengalahkan koruptor di negeri ini tidak gampang. Pembaruan hukum yang bertemakan pemberantasan korupsi atau berbagai bentuk penyelingkuhan kekuasaan sudah berkali-kali dilakukan negara, tetapi koruptor seperti tidak pernah kecil nyali dan ‘krisis’ konspirasi untuk mengadali dan menjarah uang negara.

Berbagai lembaga baru pun sudah dibentuk negara untuk menjadi lawan dari koruptor, tetapi faktanya koruptor tetap saja menunjukkan supremasi nya. Dari balik multiragam institusi, koruptor berjaya menjalankan aksiaksi pe nyimpangan kewenangan atau perannya. Kekayaan rakyat yang dipercayakan kepada negara supaya dilindungi dengan sebaik-baiknya ternyata tetap tidak aman karena terus-menerus dijarah atau digerogoti koruptor.

Koruptor tak ubahnya produsen dan ‘distributor’ penyakit yang rajin dan arogan merapuhkan sumber-sumber fundamental bangsa. Mereka tidak takut berhadapan dengan hukum meski norma hukum itu meregulasi sanksi seumur hidup dan hukuman mati. Mereka seperti merasa yakin kalau penyimpangan kekuasaan yang mereka lakukan dan lestarikan tidak akan pernah terjamah oleh tangantangan pemegang otoritas pengimplementasi hukum. Hukum di tangan mereka tak ubahnya seperti ayat-ayat suci yang tak lagi sakti.

Meski sudah berkali-kali doktrin agama mengajak ‘berhijrah’ dari mental korupsi menuju mental konsisten menjaga amanat, mereka rupanya tetap menjatuhkan opsi mengkhianati amanat. Malapraktik kekuasaan (jabatan) dijadikan sebagai opsi yang menguntungkan dan menyenangkan mereka.

Pakar leksikografi Alquran, Ragib al-Isfahani (w 502 H/1108 M), menjelaskan hijrah setidaknya mengandung dua makna, pertama, bermakna fisik, seperti hijrah yang dilakukan Rasul dari Mekah ke Madinah, dan kedua, makna nonfi sik atau bercorak transformasi mentalitas rapuh dan berpenyakit anomali, yakni meninggalkan hegemoni atau kecenderungan mengabsolutkan syahwat dan segala bentuk akhlak tercela, serta dosa, menuju kebaikan yang diridai Tuhan (QS 29:26). Makna kedua itu pun sudah ditunjukkan Nabi pascahijrah di Madinah dengan cara mengajak setiap elemen negara (Madinah) untuk ramai-ramai memproduksi sikap dan perilaku yang sejalan dengan kebenaran, kejujuran, keadilan, dan kemanusiaan.

Makna kedua tersebut menunjukkan idealnya setiap elemen bangsa ini bernyali besar untuk berhijrah dari berbagai bentuk doktrin dan penyakit mental yang merapuhkan diri dan bangsa. Sepanjang elemen strategis bangsa masih lebih menyukai gaya hidup dan berelasi sosial, politik, dan ekonominya berpenyakitan, maka kerapuhan dan kehancuranlah yang menimpanya.

Apa yang pernah diajarkan Nicollo Machiavelli dalam jargon het doel heiling de middelen, atau penghalalan segala cara, ternyata masih lebih dominan dan mutlak diterima jika dibandingkan dengan doktrin Pancasila. Nilai-nilai adiluhung yang dikenalkan dan diregulasi dalam kurikulum pendidikan kewarganegaraan atau pendidikan keagamaan seperti berjalan tanpa bekas dan hanya lebih sering dijadikan objek penataran dan pelatihan, serta lokakarya akibat dikalahkan maraknya doktrin yang ditanamkan. Machiavelli yang mampu memasuki pintu dan tradisi birokrasi, meski birokrasi ini sudah dikawal dengan segala peranti kode etik.

Ada pesan dari Rasulullah SAW, “Jika tidak ingin hancur, janganlah menyembah emas, janganlah menyembah dinar, dan janganlah menyembah kemegahan.“ Pesan itu mengisyaratkan didikan eksoteris (menyentuh ke nilai-nilai keberagamaan), agar manusia dalam hidupnya tak berkiblat kepada emas, uang, dan gaya hidup (status sosial, kemegahan, dan kedudukan), tetapi tetap berkiblat kepada agama, menyerahkan total jati dirinya kepada-Nya.

Manusia diingatkan beliau agar ‘syahwat’ dan ambisi yang diimplementasikan atau di sejarahkan tak dibiarkan larut dalam keterjajahan ‘mazhab’ kapitalistis, gaya hidup, dan kedudukan. Dalam hidup ini, manusia jangan sampai memberhalakan kekayaan, mengultuskan kemegahan, dan diperbudak kekuasaan. Manusia paling hina di muka bumi dan di hadapan Tuhan ialah manusia yang sebenarnya bisa menikmati kecerdasan dan kebeningan moralnya, tetapi menyerahkan kecerdasan nurani dan kebeningan moralnya itu ke dalam tirani yang dibuatnya sendiri, seperti menyerah diperbudak praktik kleptokrasi kekuasaan dan memainkan kekuasaan sebatas sebagai kendaraan untuk memperkaya diri tanpa kenal titik nadir.

Badai kehancuran sulit di bendung, prahara nasional mustahil dihadang, atau bencana kehidupan berbangsa tak akan gampang diselesaikan tatkala elemen strategis negara yang seharusnya jadi penggali kebenaran (mujtahid), penegak atau pejuang kebe naran (mujahid), dan pembaru (mujadid) negeri justru menyu negeri justru menyukai kecongkakan atau arogansi kriminalisasi yang didoktrinkan Machiavelli.

Meski Republik ini nyaris menjadi tuyang-tuyang akibat terhegemoni oleh doktrin Machiavelli, elemen strategis bangsa masih terus me nyibukkan diri dalam mem produksi kriminalisasi peran strukturalnya. Pasca berburu jabatan sebagai kepala daerah lewat pemilukada, misalnya, puluhan incum bent yang gagal mempertahankan kursi diperlakukan aparat sebagai sosok tersangka hingga diantarkan jadi terpidana. Mereka ditangkap aparat setelah tidak mempunyai kekuatan bernama kekuasaan dan uang yang bisa digunakan sebagai ‘ATM’ untuk membelokkan dan mengamputasi kinerja aparat.

Akibat merajalelanya pengikut Machiavelli tersebut, Indonesia sedang mengalami tragisme seperti disebut Kazuo Shimogaki sebagai nihilisme total, atau sedang mengidap virus kekosongan keberdayaan akibat ulah biadab dan jahat yang dihalalkan. Bagaimana mungkin era keemasan (golden era) bisa diraih bangsa ini kalau dirinya berbalut penyakit nihilisme nilai-nilai agung?

Terbukti, komunitas elite Indonesia telah tergelincir dalam pembenaran berbagai bentuk deviasi, malversasi, dan kriminalisasi yang menggerogoti dan ‘menjarah’ kekayaan publik secara fantastis dan fatalistik.

Mereka telah menjadi sekumpulan elite yang sangat profesional dalam menguras kantong-kantong kekayaan rakyat, bahkan mengisapnya sampai tinggal ampasnya. Misalnya, kerugian negara akibat korupsi pengadaan barang dan jasa 2005-2009 Rp689,19 miliar atau 35% dari total nilai proyek Rp1,9 triliun atau kalau berdasarkan temuan BPK 2010, setidaknya ada Rp100 triliun uang negara ‘kurang jelas’ peruntukannya.

Ironisnya lagi, kekuatan reformasi yang idealnya diharapkan menjadi ‘rasul’ pembaruan dan transformasi sistem dari yang serbabejat, jahat, dan khianat menuju bangunan sistem yang sehat dan populistis ternyata juga ikut larut terseret dalam kejahatan-kejahatan yang pernah ditabur pendosa terdahulu. Bahkan mereka terbilang lebih canggih dan berani mengarsiteki, memanajemen, dan mengorganisasi berbagai bentuk malversasi atau kriminalisasi kekuasaan dengan sangat berani. Mereka telah mengemas dirinya jadi pengikut setia Machiavelli.

Dalam paradigma Machiavelli tersebut, elite kekuasaan kita telah memacu dirinya jadi pemburu yang ‘haus’ dan harus bisa memenangi ‘olimpiade’ mengendarai dan mengemudikan kekuasaan atau jabatannya menuju absolutisme ambisi (keserakahan). Meski untuk kepentingan ini, berbagai bentuk cara harus dihalalkan atau diberi tempat liberal supaya segala target bisa dipenuhinya.

Kalau elite kita masih belum mau menghijrahkan dirinya dari pesona doktrin Machiavelli, bukan hanya kekayaan negara yang akan terus ‘berhijrah’ ke kantong-kantong pribadi mereka, melainkan juga masa depan mencerahkan dan menyejahterakan negeri ini tidak akan pernah bisa terwujud. Rakyat hanya akan terus-menerus mendapatkan ampas atau sisa-sisa praktik kleptomania kekuasaan. Rakyat hanya menempati seputar garis kemiskinan dan tidak pernah mencapai derajat garis kesejahteraan akibat kekuatan penyangganya sudah ‘dikleptokrasi’ habis-habisan oleh elemen kekuasaan yang arogan menahbiskan korupsi mereka.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar