Minggu, 04 November 2012

Desentralisasi dan Wacana Etnisitas


Desentralisasi dan Wacana Etnisitas
M Romandhon MK ;  Peneliti Central for Civilization and Cultural Studies,
Fakultas Adab dan Ilmu Budaya, UIN Yogyakarta
SINAR HARAPAN, 03 November 2012


Jauh sebelum megaproyek desentralisasi digerakkan setelah 1999 atau yang biasa disebut dengan istilah reformasi, gagasan besar tentang desentralisasi telah berlangsung puluhan tahun lamanya dalam sejarah perjalanan Indonesia.

Sebelum kemerdekaan lahir, era pemerintahan kolonial Belanda telah mengangkat isu tentang disentralisasi sebagai salah satu pemecahan masalah di Indonesia. Henk Schulte Nordholt dan Gerry van Klinken (1998) menjelaskan bagaimana dinamika perjalanan wacana desentralisasi telah mewarnai dinamika sejarah politik elite lokal di Indonesia.

Perjalanan Desentralisasi

Tahun 1903 wacana desentralisasi telah digarap, di mana para elite urban Eropa di Hindia-Belanda misalnya, diberi pemerintahan sendiri. Meski dalam praksisnya dalam undang-undang tersebut sama sekali tak menyinggung masalah yang berkaitan tentang nilai-nilai otonomi. Meski demikian, pada perkembangan selanjutnya gagasan desentralisasi terus dikembangkan oleh pemerintah Hindia-Belanda.

Dari situlah kemudian lahir UU desentralisasi tahun 1922 yang menciptkan provinsi-provinsi baru. Pada dekade ini, setiap wilayah sudah mempunyai otonomi administratif yang lumayan besar.

Proses pemberdayaan provinsi yang selanjutnya berkembang menjadi keresidenan menunjukkan bagaimana gagasan tentang desentralisasi di Indonesia pra-kemerdekaan bersemai, meskipun tak pro terhadap kepentingan orang-orang pribumi.

Sebagai contoh, di Jawa apa yang disebut tentang politik etis atau pembebasan dari perwalian merupakan bentuk nyata tentang gerakan desentralisasi. Selanjutnya terbentuklah para dewan-dewan di masing-masing kabupaten dan menjelma menjadi wahana baru bagi permainan para elite-elite lokal.

Lagi-lagi proses desentralisasi ini sengaja dibangun untuk meng-counter atau menangkal gerakan-gerakan nasionalisme pribumi. Ini artinya desentralisasi didirikan bukan dijadikan sebagai alat untuk memajukan masyarakat, melainkan sebagai strategi untuk mengempaskan gerakan propaganda grassroots (masyarakat akar rumput).

Selama revolusi Indonesia, pemerintahan Belanda mendorong terbentuknya pemerintahan regional oleh bangsawan-bangsawan lokal, tujuannya untuk menandingi para nasionalis revolusioner.

Sejarah perjalanan gagasan desentralisasi tidak hanya selesai di situ. Usaha untuk melepaskan diri dari bayang-bayang pascakolonial telah melahirkan gagasan baru yang terejawantahkan melalui Undang-undang No 1/1957 tentang Desentralisasi Provinsi dan Daerah.

Berangkat dari perangkat UU No 1/1957 itulah terjadi peningkatan jumlah provinsi dari sebelum 1950 hanya 12 provinsi, lalu meningkat menjadi 20 provinsi pada 1958.
Hal ini sesuai dengan keterangan Henk Schulte Nordholt dan Gerry van Klinken dalam pendahuluan buku berjudul Politik Lokal di Indonesia. Selanjutnya UU Tahun 1974 disempurnakan dengan UU No 5/1979 mengenai pemerintahan desa yang menyeragamkan pemerintahan desa di seluruh Indonesia.

Dengan demikian, semakin tampak nyata cengkeraman tentang paradigma sentralis. Puncaknya lahir struktur negara paralel yang dikomandani langsung oleh militer. Hal ini terbukti pada 1970, sebanyak 20 dari 26 gubernur provinsi diisi oleh militer. Demikianlah sejarah panjang perjalanan tentang gagasan desentralisasi di Indonesia sebelum reformasi bergulir yang terkesan sangat semu.

Masyarakat Lokal dan Etnisitas

Mengacu pada penjelasan di atas, pada dasarnya desentralisasi hanya berubah dalam bentuk bungkusnya saja, tetapi muatan dan kandungan di dalamnya tetap mengacu pada model sentralistis. Ini artinya desentralisasi sebelum era reformasi hanya sebatas legal formal, tapi dalam pelaksanaannya penuh intervensi dan dikotomi.

Meskipun dalam perkembangannya, desentralisasi di era Orde Baru membawa harapan baru tentang nation building, tapi tetap saja desentralisasi di era Orde Baru tak mampu menjawab tantangan di masyarakat sipil.

Inilah salah satu poin penting yang membedakan antara gagasan desentralisasi pra dan pasca-Orde Baru. Di mana kampanye tentang pemerataan justru tak diimbangi dengan penguatan di tataran masyarakat sipil. Hal ini cenderung membentuk satu sentral koloni yang akhirnya justru hanya akan melahirkan otoritarianisme.

Hal ini kemudian berbanding terbalik dengan era pasca-Orde Baru, di mana telah terjadi desentralisasi besar-besaran. Otonomi daerah sepenuhnya dipegang oleh masing-masing kabupaten. Perbedaan paling mencolok adalah nilai-nilai sentralis terpangkas.

Namun demikian, ini justru melahirkan kecemasan-kecemasan. Dengan diberlakukannya desentralisasi melalui sistem otonomi daerah telah menghasilkan produk baru berupa sensitivitas etnis serta keleluasan para elite lokal yang kian sulit terkontrol. Hasilnya, berbagai praktik KKN (korupsi, kolusi, dan nepotisme) menjamur di kalangan elite lokal.

Penulis menyadari betapa keberagaman di Indonesia satu sisi menjadi kekayaan, tapi sisi lain menjadi “ancaman”, yakni rawan terjadinya konflik horizontal dan kondisi ini pun telah terjadi puluhan kali. Henk Schulte Nordholt dan Gerry van Klinken mampu membongkar narasi tentang desentralisasi yang mengaitkan tentang etnisitas dan identitas.

Semaraknya isu otonomi daerah serta pemekaran menjadi sebuah ikatan patron klien yang menghubungkan sebuah relasi baru bagaimana pengaruh etnisitas atau identitas pasca-Orde Baru menjadi wabah.

Meskipun, seperti telah dijelaskan sebelumnya bahwa desentralisasi dewasa ini merupakan sebuah ejawantah dari kelangsungan desentralisasi era kolonial maupun setelah kemerdekaan.

Namun yang menjadi sisi paling menarik bahwa otonomi daerah tidak serta-merta membawa dampak positif terhadap pengembangan masyarakat, melainkan erat pula kaitannya dengan status identitas etnis. Inilah yang kerap kali menimbulkan berbagai persoalan di tataran akar rumput bergejolak.

Dinamika masyarakat lokal menjadi satu perangkat lunak dalam proses pengakomodiran politik para elite lokal. Desentralisasi menjelma sebagai arena bertarung di tataran pelaku-pelaku politik lokal.

Tak berlebihan jika kemudian jumlah kabupaten meningkat secara besar-besaran, yang sebelumnya 300 pada 1999, naik menjadi 440 pada 2004. Kondisi tersebut tak lepas dari masalah identitas dan keberadaan masyarakat lokal.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar