Tak Ada yang
Benar di Mata Orang Lain
James Luhulima ; Wartawan
Kompas
|
KOMPAS,
13 Oktober 2012
Meruncingnya perseteruan antara Kepolisian
Negara RI dan Komisi Pemberantasan Korupsi menyusul kasus hukum dugaan
korupsi simulator mengemudi di Korps Lalu Lintas Polri membuat masyarakat
mengharapkan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono turun tangan.
Perseteruan tersebut memuncak, Jumat, 5
Oktober 2012, sewaktu sejumlah perwira polisi mendatangi KPK untuk menangkap
Komisaris Novel Baswedan, penyidik utama kasus dugaan korupsi simulator
mengemudi di Korlantas Polri.
Upaya penjemputan paksa itu dianggap
merupakan tindak lanjut dari keputusan Polri untuk menarik 20 penyidik polisi
di KPK, yang dinilai sebagai upaya Polri melemahkan KPK. Upaya itu ditolak
oleh KPK dengan alasan kehadiran para penyidik polisi masih diperlukan.
Sebelumnya, DPR juga dianggap ingin
melemahkan KPK dengan upaya Komisi III DPR untuk merevisi Undang-Undang Nomor
30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Upaya
merevisi UU tersebut dikhawatirkan bakal memereteli kewenangan KPK.
Kedatangan sejumlah perwira polisi ke KPK
itu langsung direspons oleh masyarakat dan tokoh masyarakat yang
berbondong-bondong mendatangi gedung KPK untuk menunjukkan dukungan mereka.
Mereka membentuk pagar betis.
Polri berargumen bahwa upaya menangkap
Novel Baswedan itu tidak ada hubungannya dengan kasus dugaan korupsi di
Korlantas Polri, tetapi terkait dengan kejahatan yang dilakukannya pada masa
lalu. Namun, masyarakat tidak percaya dengan argumen tersebut.
Perseteruan antara Polri dan KPK semakin
panas setelah aksi yang dilakukan Polri pada Jumat malam. Masyarakat mendesak
Presiden Yudhoyono segera turun tangan. Desakan kepada Presiden itu
disuarakan lewat berbagai platform, mulai dari media online, televisi, radio, surat
kabar, dan terutama media sosial, seperti Twitter dan Facebook.
Namun, seperti biasa, Presiden memerlukan
waktu untuk mengambil sikap. Diinformasikan, Presiden akan mengadakan jumpa
pers, Senin, 8 Oktober 2012. Namun, melihat pengalaman yang sudah-sudah,
banyak yang meragukan Presiden akan mengambil sikap tegas untuk menyelesaikan
perseteruan antara Polri dan KPK.
Memihak KPK
Ternyata keraguan itu tidak berdasar. Senin
malam, di Istana Negara, Presiden dengan tegas memerintahkan Polri
menyerahkan sepenuhnya penanganan kasus hukum dugaan korupsi simulator
mengemudi di Korlantas Polri kepada KPK. Perintah Presiden tersebut memutus
polemik dualisme penanganan kasus Korlantas Polri tersebut oleh KPK dan Polri
yang mengemuka sejak pertengahan Agustus lalu.
Perintah itu dikeluarkan setelah Presiden
bertemu pimpinan KPK, Abraham Samad dan Bambang Widjojanto, serta Kepala
Polri Jenderal (Pol) Timur Pradopo, Senin siang. Hadir dalam pertemuan
tertutup di Istana Negara, Menteri Sekretaris Negara Sudi Silalahi dan Wakil
Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Denny Indrayana.
Perintah agar penanganan hukum dugaan
korupsi simulator berkendara yang melibatkan Irjen Djoko Susilo diserahkan
kepada KPK itu merupakan sikap pertama dari lima sikap Presiden.
Kedua, keinginan Polri untuk melaksanakan
proses hukum Novel Baswedan tidak tepat, baik dari segi timing maupun cara penanganannya.
Ketiga, perselisihan menyangkut waktu penugasan penyidik Polri yang bertugas
di KPK diatur kembali dan dituangkan dalam peraturan pemerintah.
Keempat, Revisi UU KPK sepanjang untuk
memperkuat dan tidak untuk memperlemah KPK sebenarnya dimungkinkan, tetapi
kurang tepat dilakukan saat ini. Lebih baik sekarang ini meningkatkan sinergi
dan meningkatkan upaya pemberantasan korupsi.
Kelima, KPK dan Polri dapat
memperbarui nota kesepahaman (MOU)-nya. Kemudian MOU ini dipatuhi dan
dijalankan serta terus meningkatkan sinergi dan koordinasi sehingga peristiwa
seperti ini tidak terus terulang pada masa depan.
Tidak heran jika keesokan harinya, jumpa
pers Presiden Yudhoyono menjadi berita utama di sebagian besar surat kabar.
Pujian pun dilayangkan kepada Presiden. Namun, seperti biasa jika ada yang
memuji, ada pula yang mengkritik. Kritik yang dilontarkan adalah sikap
Presiden sangat terlambat. Jika sikap itu diambil lebih awal, perseteruan
antara Polri dan KPK tidak akan terjadi. Namun, Presiden tidak perlu kecil
hati menanggapi kritik-kritik seperti itu.
Hal itu mengingatkan kita pada sebuah kisah
agama tentang seorang bapak, anak, dan seekor keledai. Bapak itu mengajak
anaknya pergi menjual keledai ke pasar. Berjalanlah bapak, anak, dan keledai
ke pasar. Di tengah perjalanan, seseorang menegur mereka, aneh, kenapa keledai
itu tidak dinaiki. Si bapak berpikir, benar juga, maka ia menyuruh anaknya
naik ke punggung keledai.
Bertemulah mereka dengan orang kedua. Dasar
anak tak tahu diuntung, kok bapaknya yang sudah tua disuruh jalan, sementara
ia yang masih muda duduk santai di punggung keledai. Si bapak lalu bertukar
posisi dengan anaknya.
Bertemulah mereka dengan orang ketiga.
Bapak ini bagaimana sih, kok anaknya yang masih kecil disuruh jalan,
sementara bapak yang lebih kuat duduk enak-enak di punggung keledai.
Akhirnya, si bapak mengajak anaknya untuk
duduk bersama di punggung keledai dan merasa inilah jalan keluar yang
terbaik. Tiba-tiba mereka bertemu orang keempat yang menegur si bapak dengan
keras. Bagaimana sih, kan, kasihan keledai itu dinaiki dua orang. Si bapak
bingung karena apa pun yang dilakukannya tidak ada yang benar di mata orang
lain.
Itulah sebabnya, harus dihargai bahwa pada
akhirnya Presiden mengambil sikap tegas. Kita berharap ke depan Presiden akan
lebih sering melakukan hal seperti itu. Tantangannya, bagaimana agar sikap
yang diambil Presiden sungguh-sungguh dapat dilaksanakan. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar