Sportivitas
Bernegara Hukum
Sudjito ; Guru Besar dan Ketua Program Doktor
Ilmu Hukum UGM
|
SINDO,
03 Oktober 2012
Sportif. Itu kata kunci untuk menggapai
tujuan hidup bernegara. Sayang, para pejabat tinggi di negeri ini ada yang
gemar melanggar sportivitas itu. Diberi amanat jabatan, eh eh eh....
disalahgunakan untuk korupsi.
Sudah ditetapkan sebagai
tersangka kasus korupsi, mangkir diperiksa KPK dengan berbagai alasan yang
dicari-cari. Tanpa sportivitas, apa jadinya nasib negara dan anak cucu kita ke
depan? Sportivitas bukanlah monopoli dunia olahraga. Sebagai pencinta olahraga
sepak bola, kita dibuat kecewa berat ketika sportivitas pemain maupun klub-klub
Serie A Italia rendah.
Agar mendapatkan ganjaran penalti, sering melakukan trick (muslihat) seolah-olah dikasari lawan, padahal dia sengaja menjatuhkan diri. Pada tingkatan lebih tinggi, klub sebesar Juventus pernah dihukum degradasi ke Serie B karena terlibat pengaturan skor pertandingan. Persepakbolaan menjadi ajang kebohongan ketika sportivitas rendah. Sportivitas sangat diperlukan dalam bernegara hukum.
Seperti sepak bola, bernegara hukum juga ada aturan main yang perlu dimengerti, ditaati dan ditegakkan oleh semua pihak yang terlibat. Pizzi dalam Satjipto Rahardjo (2010) pernah mengkritik sistem hukum Amerika melalui analogi dengan dunia sepak bola. Football Amerika lebih banyak aturan dan lebih banyak wasit dibandingkan soccer Eropa. Akibatnya, permainan sepak bola di Amerika lebih teknis dan tidak mengalir seperti di Eropa.
Menurut Pizzi (dan saya setuju mengenai hal ini), apa yang terjadi pada dunia sepak bola merupakan gambaran adanya peraturan yang kompleks telah memasuki dan mencampuri urusan hidup bernegara, terutama pengadilan dan proses peradilan. Kita di Indonesia kini juga semakin terjebak pada urusan-urusan teknis, sementara urusan substantif bernegara hukum menjadi terpinggirkan. Begitu banyak peraturan setiap hari ”diproduksi” dan umumnya mengatur hal-hal teknis.
Ambil contoh, rencana revisi UU KPK. Tiga hal diskenariokan sebagai upaya pengebirian KPK yaitu: (1) melepas wewenang KPK dalam penuntutan, (2) penyadapan wajib izin pengadilan,dan (3) dimungkinkannya dikeluarkan SP3 kasus korupsi. Kalau tiga hal yang bersifat teknis tersebut lolos, bisa dibayangkan ke depan, betapa sempitnya wewenang KPK dan semakin mudahnya koruptor lolos dari jeratan hukum.
Hal substantif yaitu meningkatkan atmosfer perang melawan korupsi justru luput dari perhatian. Mudah diprediksi, koruptor baru akan merajalela. Percepatan keambrukan negara akan menjadi keniscayaan. Perang melawan korupsi perlu sportivitas. Lembaga negara, terutama lembaga penegak hukum dan insan-insan di dalamnya, perlu memiliki sportivitas tinggi. Nilai-nilai sportivitas seperti jujur,watak ksatria, mengakui kesalahan, lapang dada, mau menerima kritik perlu ditanamkan pada sanubari dan senantiasa diaktualkan sebagai perilaku spontan dalam menjalankan tugas yang diembannya.
Contoh sportivitas hidup bernegara telah diteladankan oleh manusia terpilih—Muhammad SAW—dan keteladanannya berlaku universal bagi siapa pun dan kapan pun. Dalam pidato di hadapan umatnya, beliau menyatakan kesediaannya untuk menerima qishash (balasan setara dengan kesalahan yang dibuat). Bagi mereka yang merasa pernah disakitinya, beliau menyediakan diri untuk dibalas.
Pengakuan kesalahan secara ksatria dan bertanggung jawab itulah yang dinamakan sportivitas. Luar biasa. Bila boleh jujur,kebanyakan pada kita (terutama pejabat yang tertimpa dugaan kasus korupsi) sering bersikap sebaliknya dari sportivitas keteladanan Muhammad SAW di atas.Tidak mau mengakui kesalahan. Justru sering mencari kambing hitam dari kesalahan yang dilakukannya.
Ambil contoh, pejabat tinggi bersikeras menolak diperiksa KPK dengan dalih masih ada dualisme penafsiran soal wewenang memeriksa dirinya. Aturan dikambinghitamkan. Aturan yang sudah jelas dimintakan fatwa ke Mahkamah Agung. Inikah sportivitas bernegara hukum? Alangkah elegan bila pejabat tinggi dan pengacaranya terbuka dan legawa datang ke KPK mempersilakan dirinya diperiksa.
Silakan dihukum kalau terbukti bersalah. Kalau memang bersih dari noda (unsur) korupsi, pastilah KPK melepaskannya dengan penuh hormat. Di situlah sportivitas bernegara hukum tumbuh dan berkembang dalam bentuk sikap dan perilaku saling menghormati. Mencaci, memaki, berebut wewenang dan kemenangan bukanlah sportivitas. Memudahkan urusan, mengupayakan kebenaran dan keadilan, merupakan kesalehan sosial hidup bernegara. Itulah sportivitas.
Bukankah kita telah diseru Sang Pencipta ”Dan janganlah kamu samarkan antara yang benar dan batil, dan (janganlah) kamu sembunyikan kebenaran, padahal kamu mengetahui” (QS Al- Baqarah:42). Kehidupan bersih dari korupsi merupakan bagian penting dari substansi bernegara hukum. Kehidupan demikian hanya terwujud apabila segenap komponen bangsa sportif, saiyeg saika kapi menegakkan hukum.
Langkah konkretnya berupa memahami, menjalankan dan menegakkan hukum secara utuh dan otentik.Dalam keutuhan dan keotentikannya, hukum itu ”rumahnya nilai-nilai”. Di situ, teks peraturan perundangan merupakan satu kesatuan dengan ide, pesan moral,dan wawasan hidup bernegara. Karenanya, sangat ditabukan menafsirkan teks peraturan perundangan secara parsial dan tekstual hanya untuk membela diri seraya melalaikan tujuan hidup bernegara.
Hal demikian, selain tergolong tidak konsisten, amoral, juga cermin sikap dan perilaku tidak sportif. Sejarah menunjukkan bahwa sebuah negara ambruk ketika bangsanya gemar berbuat zalim dan nihil sportivitas. Sang Pencipta akan menetapkan waktu yang tepat saat keambrukannya. Mengerikan. Kita berlindung, agar negara kita terselamatkan dari berita buruk itu. Wallahua’lam. ●
Agar mendapatkan ganjaran penalti, sering melakukan trick (muslihat) seolah-olah dikasari lawan, padahal dia sengaja menjatuhkan diri. Pada tingkatan lebih tinggi, klub sebesar Juventus pernah dihukum degradasi ke Serie B karena terlibat pengaturan skor pertandingan. Persepakbolaan menjadi ajang kebohongan ketika sportivitas rendah. Sportivitas sangat diperlukan dalam bernegara hukum.
Seperti sepak bola, bernegara hukum juga ada aturan main yang perlu dimengerti, ditaati dan ditegakkan oleh semua pihak yang terlibat. Pizzi dalam Satjipto Rahardjo (2010) pernah mengkritik sistem hukum Amerika melalui analogi dengan dunia sepak bola. Football Amerika lebih banyak aturan dan lebih banyak wasit dibandingkan soccer Eropa. Akibatnya, permainan sepak bola di Amerika lebih teknis dan tidak mengalir seperti di Eropa.
Menurut Pizzi (dan saya setuju mengenai hal ini), apa yang terjadi pada dunia sepak bola merupakan gambaran adanya peraturan yang kompleks telah memasuki dan mencampuri urusan hidup bernegara, terutama pengadilan dan proses peradilan. Kita di Indonesia kini juga semakin terjebak pada urusan-urusan teknis, sementara urusan substantif bernegara hukum menjadi terpinggirkan. Begitu banyak peraturan setiap hari ”diproduksi” dan umumnya mengatur hal-hal teknis.
Ambil contoh, rencana revisi UU KPK. Tiga hal diskenariokan sebagai upaya pengebirian KPK yaitu: (1) melepas wewenang KPK dalam penuntutan, (2) penyadapan wajib izin pengadilan,dan (3) dimungkinkannya dikeluarkan SP3 kasus korupsi. Kalau tiga hal yang bersifat teknis tersebut lolos, bisa dibayangkan ke depan, betapa sempitnya wewenang KPK dan semakin mudahnya koruptor lolos dari jeratan hukum.
Hal substantif yaitu meningkatkan atmosfer perang melawan korupsi justru luput dari perhatian. Mudah diprediksi, koruptor baru akan merajalela. Percepatan keambrukan negara akan menjadi keniscayaan. Perang melawan korupsi perlu sportivitas. Lembaga negara, terutama lembaga penegak hukum dan insan-insan di dalamnya, perlu memiliki sportivitas tinggi. Nilai-nilai sportivitas seperti jujur,watak ksatria, mengakui kesalahan, lapang dada, mau menerima kritik perlu ditanamkan pada sanubari dan senantiasa diaktualkan sebagai perilaku spontan dalam menjalankan tugas yang diembannya.
Contoh sportivitas hidup bernegara telah diteladankan oleh manusia terpilih—Muhammad SAW—dan keteladanannya berlaku universal bagi siapa pun dan kapan pun. Dalam pidato di hadapan umatnya, beliau menyatakan kesediaannya untuk menerima qishash (balasan setara dengan kesalahan yang dibuat). Bagi mereka yang merasa pernah disakitinya, beliau menyediakan diri untuk dibalas.
Pengakuan kesalahan secara ksatria dan bertanggung jawab itulah yang dinamakan sportivitas. Luar biasa. Bila boleh jujur,kebanyakan pada kita (terutama pejabat yang tertimpa dugaan kasus korupsi) sering bersikap sebaliknya dari sportivitas keteladanan Muhammad SAW di atas.Tidak mau mengakui kesalahan. Justru sering mencari kambing hitam dari kesalahan yang dilakukannya.
Ambil contoh, pejabat tinggi bersikeras menolak diperiksa KPK dengan dalih masih ada dualisme penafsiran soal wewenang memeriksa dirinya. Aturan dikambinghitamkan. Aturan yang sudah jelas dimintakan fatwa ke Mahkamah Agung. Inikah sportivitas bernegara hukum? Alangkah elegan bila pejabat tinggi dan pengacaranya terbuka dan legawa datang ke KPK mempersilakan dirinya diperiksa.
Silakan dihukum kalau terbukti bersalah. Kalau memang bersih dari noda (unsur) korupsi, pastilah KPK melepaskannya dengan penuh hormat. Di situlah sportivitas bernegara hukum tumbuh dan berkembang dalam bentuk sikap dan perilaku saling menghormati. Mencaci, memaki, berebut wewenang dan kemenangan bukanlah sportivitas. Memudahkan urusan, mengupayakan kebenaran dan keadilan, merupakan kesalehan sosial hidup bernegara. Itulah sportivitas.
Bukankah kita telah diseru Sang Pencipta ”Dan janganlah kamu samarkan antara yang benar dan batil, dan (janganlah) kamu sembunyikan kebenaran, padahal kamu mengetahui” (QS Al- Baqarah:42). Kehidupan bersih dari korupsi merupakan bagian penting dari substansi bernegara hukum. Kehidupan demikian hanya terwujud apabila segenap komponen bangsa sportif, saiyeg saika kapi menegakkan hukum.
Langkah konkretnya berupa memahami, menjalankan dan menegakkan hukum secara utuh dan otentik.Dalam keutuhan dan keotentikannya, hukum itu ”rumahnya nilai-nilai”. Di situ, teks peraturan perundangan merupakan satu kesatuan dengan ide, pesan moral,dan wawasan hidup bernegara. Karenanya, sangat ditabukan menafsirkan teks peraturan perundangan secara parsial dan tekstual hanya untuk membela diri seraya melalaikan tujuan hidup bernegara.
Hal demikian, selain tergolong tidak konsisten, amoral, juga cermin sikap dan perilaku tidak sportif. Sejarah menunjukkan bahwa sebuah negara ambruk ketika bangsanya gemar berbuat zalim dan nihil sportivitas. Sang Pencipta akan menetapkan waktu yang tepat saat keambrukannya. Mengerikan. Kita berlindung, agar negara kita terselamatkan dari berita buruk itu. Wallahua’lam. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar