Skenario
Pergantian Kurikulum
Ki Supriyoko ; Guru Besar
Kependidikan, Direktur Pascasarjana Pendidikan Universitas Sarjanawiyata Tamansiswa
(UST) Jogjakarta,
Doktor di
bidang Penelitian dan Evaluasi Pendidikan
|
JAWA
POS, 03 Oktober 2012
"Kalau sekarang kita 'ngotot' melebur IPA dengan IPS menjadi satu dalam
kurikulum baru di SD nanti dengan berbagai argumentasi yang rasional, bukan
tidak mungkin satu atau dua tahun ke depan kita menyadari pentingnya memisahkan
IPA dengan IPS dengan berbagai argumentasi yang rasional pula."
SEBAGAIMANA diberitakan, Wakil Mendikbud Bidang Kebudayaan Wiendu Nuryanti baru saja memberikan penegasan bahwa mata pelajaran ilmu pengetahuan alam (IPA) dan mata pelajaran ilmu pengetahuan sosial (IPS) tidak akan dihapuskan dalam struktur kurikulum baru nanti. Yang benar adalah IPA dan IPS akan dilebur menjadi satu.
Penegasan Wamen tersebut dimaksudkan untuk mengklarifikasi isu yang beredar di masyarakat bahwa mata pelajaran IPA dan IPS di SD akan dihapus dalam struktur kurikulum baru nanti.
Isu tersebut muncul dikarenakan sekarang ini Kemendikbud sibuk mengembangkan kurikulum baru untuk mengganti kurikulum (lama) yang sekarang didunakan di sekolah-sekolah. Kurikulum yang disusun meliputi semua satuan pendidikan yang ada: SD, SMP, SMA, dan SMK.
Dimintai Masukan
Pergantian, perubahan, pengembangan, revisi, atau apa pun istilahnya bukan barang baru dalam dunia pendidikan kita. Kurikulum lama diganti, diubah, dikembangkan, direvisi dengan kurikulum baru merupakan sesuatu yang biasa.
Pakar kurikulum yang memiliki kredibilitas internasional Ralph W. Tyler dalam bukunya, Curriculum Development Model (Mc. Graw Hill Co, 1995) menyatakan bahwa sebuah kurikulum memang harus dikembangkan. Sebab, tanpa pengembangan, kurikulum tersebut akan tertinggal oleh lajunya perkembangan zaman.
Tentang proses pergantian kurikulum yang sedang digarap Kemendikbud sekarang ini ada dua skenario yang berkembang. Pertama, proses pergantian kurikulum sudah dipersiapkan cukup lama. Kedua, proses pergantian kurikulum baru saja dimulai.
Skenario pertama: proses pergantian kurikulum sudah disiapkan cukup lama, sekitar satu tahun, mungkin lebih. Sedikit banyak saya dilibatkan dalam kegiatan pergantian kurikulum pendidikan kita. Pada awal Maret 2012, atau tujuh bulan lalu, saya sudah diminta pimpinan Pusat Kurikulum dan Perbukuan (Puskurbuk) Kemendikbud untuk memberikan masukan terhadap bahan kebijakan kurikulum dan standar kompetensi mata pelajaran tahun 2012.
Artinya, kalau skenario pertama tersebut benar, pergantian kurikulum yang digarap Kemendikbud sekarang ini memang sudah dipersiapkan dalam waktu yang normal.
''Tekanan'' Wapres
Skenario kedua menyatakan, proses pengembangan kurikulum baru saja dimulai. Pernyataan Wapres Boediono bahwa sampai saat ini kita belum punya konsepsi yang jelas mengenai substansi pendidikan telah memacu pimpinan Kemendikbud untuk mengganti kurikulum.
Apalagi, dalam pernyataan sekitar sebulan lalu itu Pak Boediono berargumentasi, karena tak ada konsepsi yang jelas, timbullah kecenderungan memasukkan apa saja yang dianggap penting ke dalam kurikulum. Akibatnya, terjadilah beban berlebihan pada anak didik. Bahan yang diajarkan terasa ''berat'', tetapi tak jelas apakah anak mendapatkan apa yang seharusnya diperoleh dari pendidikannya.
Pernyataan Pak Boediono benar. Ketika praktik kekerasan mencemaskan, maka dimasukkan pendidikan anti kekerasan dalam kurikulum; ketika praktik korupsi merajalela, maka dimasukkan pendidikan antikorupsi dalam kurikulum; ketika kebebasan seksual memprihatinkan, maka dimasukkan pendidikan seks ke dalam kurikulum, dan seterusnya. Pendekatan itu menjadikan kurikulum kita berat untuk melaksanakannya.
Artinya, kalau skenario kedua benar, pergantian kurikulum yang digarap Kemendikbud sekarang bersifat instan, dilakukan dalam waktu yang pendek. Pernyataan Pak Boediono menjadi ''tekanan'' kepada birokrasi Kemendikbud untuk segera menyusun kurikulum baru guna mengganti kurikulum lama.
Kurikulum yang bersifat instan dikhawatirkan masa berlakunya juga instan dikarenakan dalam waktu yang sangat cepat sulit menghasilkan suatu kurikulum yang ideal sehingga muncul kekurangan di sana-sini yang perlu segera direvisi.
Soal peleburan IPA-IPS, misalnya. Mari kita lihat studi internasional yang sangat terkenal, TIMSS atau trends in international mathematics and science study,yang diselenggarakan setiap empat tahun oleh International Association for the Evaluation of Educational Achievement (IEA). Salah satu kelompok dalam TIMSS adalah kelompok kelas keempat (usia 10 dan 11 tahun), atau kalau di Indonesia setara dengan kelas IV SD. Artinya, IEA secara tidak langsung memisahkan IPA atau science dari IPS.
Kalau sekarang kita ''ngotot'' melebur IPA dengan IPS menjadi satu dalam kurikulum baru di SD nanti dengan berbagai argumentasi yang rasional, bukan tidak mungkin satu atau dua tahun ke depan kita menyadari pentingnya memisahkan IPA dengan IPS dengan berbagai argumentasi yang rasional pula. Jadi, kalau penyusunan kurikulum itu secara instan, dikhawatirkan masa berlakunya juga instan.
Skenario mana pun yang ditempuh, kita berharap agar kurikulum baru yang sedang digarap Kemendikbud nanti signifikan untuk memajukan pendidikan nasional kita. ●
SEBAGAIMANA diberitakan, Wakil Mendikbud Bidang Kebudayaan Wiendu Nuryanti baru saja memberikan penegasan bahwa mata pelajaran ilmu pengetahuan alam (IPA) dan mata pelajaran ilmu pengetahuan sosial (IPS) tidak akan dihapuskan dalam struktur kurikulum baru nanti. Yang benar adalah IPA dan IPS akan dilebur menjadi satu.
Penegasan Wamen tersebut dimaksudkan untuk mengklarifikasi isu yang beredar di masyarakat bahwa mata pelajaran IPA dan IPS di SD akan dihapus dalam struktur kurikulum baru nanti.
Isu tersebut muncul dikarenakan sekarang ini Kemendikbud sibuk mengembangkan kurikulum baru untuk mengganti kurikulum (lama) yang sekarang didunakan di sekolah-sekolah. Kurikulum yang disusun meliputi semua satuan pendidikan yang ada: SD, SMP, SMA, dan SMK.
Dimintai Masukan
Pergantian, perubahan, pengembangan, revisi, atau apa pun istilahnya bukan barang baru dalam dunia pendidikan kita. Kurikulum lama diganti, diubah, dikembangkan, direvisi dengan kurikulum baru merupakan sesuatu yang biasa.
Pakar kurikulum yang memiliki kredibilitas internasional Ralph W. Tyler dalam bukunya, Curriculum Development Model (Mc. Graw Hill Co, 1995) menyatakan bahwa sebuah kurikulum memang harus dikembangkan. Sebab, tanpa pengembangan, kurikulum tersebut akan tertinggal oleh lajunya perkembangan zaman.
Tentang proses pergantian kurikulum yang sedang digarap Kemendikbud sekarang ini ada dua skenario yang berkembang. Pertama, proses pergantian kurikulum sudah dipersiapkan cukup lama. Kedua, proses pergantian kurikulum baru saja dimulai.
Skenario pertama: proses pergantian kurikulum sudah disiapkan cukup lama, sekitar satu tahun, mungkin lebih. Sedikit banyak saya dilibatkan dalam kegiatan pergantian kurikulum pendidikan kita. Pada awal Maret 2012, atau tujuh bulan lalu, saya sudah diminta pimpinan Pusat Kurikulum dan Perbukuan (Puskurbuk) Kemendikbud untuk memberikan masukan terhadap bahan kebijakan kurikulum dan standar kompetensi mata pelajaran tahun 2012.
Artinya, kalau skenario pertama tersebut benar, pergantian kurikulum yang digarap Kemendikbud sekarang ini memang sudah dipersiapkan dalam waktu yang normal.
''Tekanan'' Wapres
Skenario kedua menyatakan, proses pengembangan kurikulum baru saja dimulai. Pernyataan Wapres Boediono bahwa sampai saat ini kita belum punya konsepsi yang jelas mengenai substansi pendidikan telah memacu pimpinan Kemendikbud untuk mengganti kurikulum.
Apalagi, dalam pernyataan sekitar sebulan lalu itu Pak Boediono berargumentasi, karena tak ada konsepsi yang jelas, timbullah kecenderungan memasukkan apa saja yang dianggap penting ke dalam kurikulum. Akibatnya, terjadilah beban berlebihan pada anak didik. Bahan yang diajarkan terasa ''berat'', tetapi tak jelas apakah anak mendapatkan apa yang seharusnya diperoleh dari pendidikannya.
Pernyataan Pak Boediono benar. Ketika praktik kekerasan mencemaskan, maka dimasukkan pendidikan anti kekerasan dalam kurikulum; ketika praktik korupsi merajalela, maka dimasukkan pendidikan antikorupsi dalam kurikulum; ketika kebebasan seksual memprihatinkan, maka dimasukkan pendidikan seks ke dalam kurikulum, dan seterusnya. Pendekatan itu menjadikan kurikulum kita berat untuk melaksanakannya.
Artinya, kalau skenario kedua benar, pergantian kurikulum yang digarap Kemendikbud sekarang bersifat instan, dilakukan dalam waktu yang pendek. Pernyataan Pak Boediono menjadi ''tekanan'' kepada birokrasi Kemendikbud untuk segera menyusun kurikulum baru guna mengganti kurikulum lama.
Kurikulum yang bersifat instan dikhawatirkan masa berlakunya juga instan dikarenakan dalam waktu yang sangat cepat sulit menghasilkan suatu kurikulum yang ideal sehingga muncul kekurangan di sana-sini yang perlu segera direvisi.
Soal peleburan IPA-IPS, misalnya. Mari kita lihat studi internasional yang sangat terkenal, TIMSS atau trends in international mathematics and science study,yang diselenggarakan setiap empat tahun oleh International Association for the Evaluation of Educational Achievement (IEA). Salah satu kelompok dalam TIMSS adalah kelompok kelas keempat (usia 10 dan 11 tahun), atau kalau di Indonesia setara dengan kelas IV SD. Artinya, IEA secara tidak langsung memisahkan IPA atau science dari IPS.
Kalau sekarang kita ''ngotot'' melebur IPA dengan IPS menjadi satu dalam kurikulum baru di SD nanti dengan berbagai argumentasi yang rasional, bukan tidak mungkin satu atau dua tahun ke depan kita menyadari pentingnya memisahkan IPA dengan IPS dengan berbagai argumentasi yang rasional pula. Jadi, kalau penyusunan kurikulum itu secara instan, dikhawatirkan masa berlakunya juga instan.
Skenario mana pun yang ditempuh, kita berharap agar kurikulum baru yang sedang digarap Kemendikbud nanti signifikan untuk memajukan pendidikan nasional kita. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar