Sistem
Logistik Ikan
Arif Satria ; Dekan
Fakultas Ekologi Manusia IPB,
Ketua Umum Perhimpunan
Sarjana Pertanian Indonesia
|
KOMPAS,
16 Oktober 2012
Orang heran mendengar Indonesia mengimpor
ikan. Laut kita luas, mengapa harus impor? Apakah kita benar-benar
kekurangan ikan? Ataukah sebenarnya hanya soal distribusi ikan yang tidak
merata? Inilah pertanyaan yang sekaligus mewakili dua pandangan tentang
kelangkaan ikan.
Eksploitasi
Penuh
Pertama, sumber daya ikan secara umum
memang sudah mendekati eksploitasi penuh. Potensi sumber daya perikanan
tangkap di laut 6,5 juta ton per tahun dan 5 juta ton lebih sudah dimanfaatkan.
Artinya kita tidak memiliki surplus besar.
Belum lagi kapal asing yang masih
berkeliaran menguras ikan kita, khususnya di Laut Arafura dan Laut China
Selatan. Bila mereka diduga menangkap 1 juta ton ikan, artinya pemanfaatan
telah mencapai 100 persen dari potensi. Ini berbahaya sekali bagi
kelangsungan sumber daya.
Faktor alam (regime shift) yang memang
lazim terjadi juga berpengaruh terhadap stok ikan, apalagi ditambah pemanasan
global yang makin meningkat.
Kedua, kelangkaan itu bersifat relatif dan
musiman. Menurut data Kementerian Kelautan dan Perikanan (2012), jumlah unit
pengolahan ikan mencapai 60.117 unit, terdiri dari usaha pengalengan (114
unit), pembekuan (556), penggaraman (23.876), pemindangan (10.952),
pengasapan (8.056), dan peragian (2.912). Usaha pengolahan ini ternyata tidak
semua bisa berproduksi.
Kurang dari 60 persen usaha pengalengan
ikan yang masih berproduksi itu pun dengan utilitas 60 persen dari kapasitas
terpasang. Berdasarkan data pemerintah juga, persebaran jumlah unit pengolah
ikan tertinggi di wilayah Jawa-Bali (54,61 persen), Sulawesi (19,59 persen),
Sumatera (14,29 persen), Kalimantan (7,60 persen), Maluku dan Papua
masing-masing 1,84 persen dan terendah NTB-NTT (0,23 persen). Karena itu,
Jawa-Bali mengalami kelangkaan bahan baku.
Di lain pihak, ditengarai di wilayah timur
masih tersedia banyak ikan, tetapi industri pengolahan ikan sedikit. Ikan
tidak bisa diangkut ke Jawa karena biaya transportasi mahal. Sebaliknya,
nelayan di wilayah timur menghadapi rendahnya harga ikan karena kelebihan
suplai.
Lemahnya armada penangkapan kita membuat
kapal asing makin leluasa memanfaatkan sumber daya ikan di wilayah timur.
Berarti ikan masih ada, tetapi tidak bisa dibawa ke Jawa dan sebagian dicuri.
Solusi yang ditawarkan adalah mengembangkan
sistem logistik ikan. Sistem ini harus mengacu kepada sistem logistik
nasional (Sislognas) berdasarkan Peraturan Presiden Nomor 26 Tahun 2012.
Menurut Perpres 26/2012, logistik adalah ”bagian dari rantai pasok (supply
chain) yang menangani arus barang, arus informasi dan arus uang melalui
proses pengadaan (procurement), penyimpanan (warehousing), transportasi
(transportation), distribusi (distribution), dan pelayanan pengantaran
(delivery services) sesuai jenis, kualitas, jumlah, waktu dan tempat yang
dikehendaki konsumen, dari titik asal (point of origin) sampai dengan titik
tujuan (point of destination)”. Maka logistik ikan juga mencakup
proses-proses ini.
Logistik Ikan
Ada sejumlah nilai penting sistem logistik
ikan. Pertama, bisa mengatasi kelangkaan musiman. Saat kelebihan suplai,
sebagian ikan bisa disimpan sehingga bisa dijual saat ”paceklik”.
Kedua, bisa mengatasi ketimpangan
distribusi ikan antarwilayah. Jawa yang langka ikan akan terbantu bila ada
jaminan suplai dari wilayah timur dengan sistem logistik yang baik.
Ketiga, nelayan berpotensi menikmati harga
yang baik bila menggunakan harga patokan ikan meski kelebihan suplai.
Namun, tidak mudah sistem ini dijalankan.
Misalnya, pertama, beras dan ikan beda karakteristik. Ikan jauh lebih perishable
dari beras sehingga penanganan logistiknya lebih kompleks dan mahal, terutama
dalam hal penyimpanan.
Kedua, perlu dirumuskan bagaimana pula
model kelembagaannya. Siapa penyedia jasa logistik ikan ini: BUMN, swasta,
koperasi, atau pemerintah (pusat atau daerah)? Masing-masing memiliki
implikasi berbeda.
Ketiga, infrastruktur distribusi dan
transportasi harus dikembangkan untuk menjamin konektivitas. Efisiensi
transportasi laut kita saat ini perlu dikaji kembali. Juga pelabuhan sebagai
simpul transportasi harus dibenahi.
Keempat, infrastruktur dasar, khususnya
listrik, di sentra-sentra perikanan harus terjamin untuk menjamin
penyimpanan.
Kelima, keharusan pembenahan sistem data
dan informasi perikanan (necessary condition) karena di sinilah pijakan pokok
manajemen logistik dan dasar pengambilan kebijakan. Keenam, nelayan sebagai
pelaku logistik harus disiapkan agar terlindungi dan diuntungkan sistem ini.
Peta jalan sistem logistik ikan perlu
disusun secara sistematis dan komprehensif. Diperlukan dukungan politik dalam
bentuk alokasi anggaran serta dukungan lintas kementerian. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar