Negara Bongkar
Pasang
Jakob Sumardjo ; Budayawan
|
KOMPAS,
20 Oktober 2012
Sebagai bangsa barangkali kita sudah solid.
Bangsa Indonesia itu ada dan tidak mau tidak ada. Namun, sebagai negara kita
masih main bongkar pasang struktur.
Struktur kenegaraan kita masih berubah-ubah
di segala bidang. Ganti kepala negara ganti struktur. Kita belum menemukan
bentuk negara yang kita tak mau mengubahnya lagi. Ibarat dalam tembang,
struktur lagu adalah frase, pengaturannya tetap. Di sini adalah bentuk atau
format negara, sedangkan melodi adalah perubahan-perubahan yang didasari
motivasi rasa.
Perubahan sebagai alamiah kehidupan tak
terelakkan kalau negara dan bangsa ini tetap ingin berlanjut. Namun,
perubahan liar ini, melodi yang menggelora ini, perlu dikendalikan oleh struktur
tetap, frase-frase tembang agar tembang dan kehidupan bernegara ini punya
irama peradaban.
Pemahaman yang Salah
Intinya, negara adalah perkawinan perubahan
dengan keteguhan struktur tetapnya, antara perubahan dan kesinambungan. Dalam
situasi Indonesia, perubahan yang deras ini tidak terwadahi oleh pengaturan
negaranya yang kuat dan tetap, akibatnya chaos dalam chaos. Ini pula yang
mengakibatkan jutaan ketidakpastian hidup terjadi tiap hari.
Kalau mau disebut negara gagal,
pemerintahan yang sekarang adalah korban dari negara gagal yang kita bangun
bersama selama ini. Masalahnya, kapan negara sebagai bentuk, sebagai frase
lagu, benar-benar telah terwujud secara permanen dan kita tidak mau
mengubahnya lagi karena memang benar-benar sudah jodoh dengan rakyat? Kalau
bentuk negara ini sudah jodoh dengan rakyat dan bangsanya, tidak ada keraguan
lagi bagi rakyat untuk memercayai lembaga-lembaga pemerintahannya. Jodoh itu
ibarat suami-istri yang istri dan anak-anaknya selalu mengatakan ”bapak
selalu benar”. Yang terjadi sekarang: anak-anak bangsa mengatakan ”bapak tak
dapat dipercaya”.
Kapan ”bapak tidak dapat dipercaya” ini
mulai terdengar? Dua kepala negara kita yang awal, Soekarno dan Soeharto,
sedikit banyak rakyat masih mengatakan ”bapak selalu benar” dalam cara
masing- masing. Sampai sekarang ini, kalau Anda pergi ke perdesaan, masih
dapat kita jumpai rakyat memasang hiasan dinding potret Soekarno. Potret
Soeharto jarang dijumpai meski presiden ini berhasil dipilih tujuh kali
sebagai ”bapak selalu benar”.
Kedua presiden kita itu mati-matian ngotot
mempertahankan Pancasila dan UUD 1945; apa pun makna yang mereka lakukan.
Bangunan struktur negara amat jelas. Kedaulatan seluruh rakyat diserahkan
kepada MPR yang tiap lima tahun dipilih kembali. Jadi, MPR adalah pemilik
kedaulatan rakyat yang sesungguhnya. Namun, sebagai pemilik mandat rakyat,
MPR tak mungkin menjalankan pemerintahan karena begitu banyaknya jumlah
anggota lembaga negara ini.
Mengikuti kearifan lokal Indonesia, pemilik
kekuasaan ini memandatkan kekuasaannya kepada presiden. Jadi, presiden
sebagai kepala negara memang melaksanakan kekuasaan dari rakyat, tetapi dia
bukan pemilik kekuasaan itu. Itu sebabnya presiden dapat ditegur oleh MPR,
bahkan dicabut mandatnya, kalau DPR sebagai perpanjangan tangan MPR mengawasi
dan melaporkan ketidakberesan pemegang mandat rakyat ini kepada MPR. Angkatan
bersenjata dan rakyat adalah penjaga kedaulatan istana negara.
Akibat makna kearifan lokal UUD 1945 ini
dipahami secara budaya modern, terjadilah bongkar pasang struktur negara ini.
UUD 1945 dicocok-cocokkan dengan trias politika Eropa. Karena lembaga MPR itu
tak ada dalam literatur kenegaraan dunia, dinilai tak benar, lalu dibonsai
peranannya dalam lembaga negara. Sebaliknya, DPR dihidupkan meniru
parlemen-parlemen Barat. Lebih parah lagi DPR ini diisi orang-orang partai
yang menjamur dan buta pengalaman kenegaraan. Semuanya jadi lembaga amatir.
Dalam kekacauan pikir campuran modern dan
kearifan lokal ini, pemilihan umum diadakan berkali-kali: baik untuk
legislatif maupun eksekutif, dari presiden sampai lurah desa. Soal biaya
tidak masalah karena uang selalu tersedia.
Gelombang amatirisme ini melanda
semua lini lembaga negara. The wrong man in the wrong place. The right man in
the wrong place. Akan tetapi, tidak pernah jodoh dalam the right man in the
right man in the right place.
Sejak awal kita telah salah memahami UUD
1945, terutama lembaga MPR yang agung ini. Lembaga ini seharusnya menampung
semua aspirasi rakyat dari semua golongan yang ada. Bukan hanya partai politik.
Memang ada perwakilan daerah, tetapi juga tetap dibaca sebagai perwakilan
politik belaka. MPR adalah lembaga budaya rakyat. Ada perwakilan adat yang
nyata-nyata masih hidup nyata di tengah-tengah kita. Ada perwakilan raja-raja
Indonesia, kaum tani, kaum buruh, kaum cendekia, kaum agama, kaum perempuan,
kaum pengusaha, dan seabrek yang lain. Memang merepotkan dan masih harus
dibangun lembaga-lembaga golongan tersebut.
Para Resi Bangsa
Penggagas UUD 45 rupanya memahami benar
budaya dan adat Indonesia yang tak ada duanya di dunia ini. Mereka tidak
mereduksi MPR sebatas golongan politik kepartaian. Kiranya mereka
membayangkan bahwa orang-orang yang terpilih duduk di MPR adalah kaum resi
yang terpilih oleh golongannya sebagai telah kenyang makan garam di bidangnya
masing-masing. Presiden dan aparat eksekutif bawahannya adalah raja atau
ratu, sedangkan angkatan bersenjata dan rakyat adalah pelindung dan penjaga
kedaulatan negara.
Apa yang dipercayai sebagai ”bapak selalu
benar” adalah para resi bangsa ini. Usia tua tidak apa. Kita boleh meragukan
presiden, tetapi kita memiliki pegangan kebenaran yang kokoh, yakni MPR.
Gedung MPR yang rumit seperti Pentagon di AS ini boleh rapat dan sidang
siang-malam dengan uang sidang yang tinggi. Namun, semua keputusannya adalah
kebenaran dan kekuatan karena diketuk palu oleh para resi bangsa. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar