Kompleksitas
Keamanan Nasional
Fahmi Alfansi P Pane ; Tenaga
Ahli DPR RI
|
REPUBLIKA,
22 Oktober 2012
Perdebatan
Rancangan Undang-undang (RUU) tentang Keamanan Nasional terjadi karena perbedaan
definisi, cakupan, rancang bangun sistem, dan manajemen keamanan nasional.
Perbedaan pandangan yang tajam juga disebabkan oleh persepsi dan pengalaman
terhadap sistem, kebijakan, dan tindakan aparat keamanan pada masa lalu.
Bahkan, kompleksitas keamanan nasional di Indonesia juga disumbangkan oleh
perbedaan perspektif dan kepentingan dari birokrasi, aparat keamanan, dan
pemangku kepentingan.
Sebagian
pihak memandang, keamanan nasional secara tradisional dengan batasan yang lebih
sempit dan ketat. Isu keamanan nasional lebih dipandang sebagai ancaman
terhadap kedaulatan dan keamanan negara, terutama dari ancaman militer dan
bersenjata. Sebagian orang melihat keamanan nasional secara lebih luas, mendalam,
dan menyeluruh. Isu keamanan nasional tidak hanya sebatas ancaman terhadap
kedaulatan negara dan keamanan dari pihak asing, tetapi juga berupa keamanan
insani (human security) dan keamanan publik.
Namun,
perspektif modern ini dalam konteks Indonesia terlihat bercabang dua.
Cabang pertama mengakui sumber ancaman tidak lagi sebatas ancaman militer dan bersenjata, tetapi strategi penindakan tetap pada pendekatan keamanan tradisional, seperti terbaca pada RUU Keamanan Nasional. Semua aktor keamanan tradisional disebut jelas, mulai dari TNI, Polri, Kejaksaan Agung, BIN, BNN (Badan Nasional Narkotika), hingga BNPT (Badan Nasional Penanggulangan Terorisme), baik sebagai unsur keamanan nasional/daerah, Dewan Keamanan Nasional/Forum Koordinasi Pimpinan Daerah, serta komando dan kendali penyelenggara.
Pertanyaannya,
bagaimana mau membangun kapasitas pendeteksian dini dan penindakan terhadap
ancaman potensial keamanan pangan, sabotase produksi/ distribusi tanaman
buah-buahan, sawit, dan hutan Indonesia? Mengapa terhadap perang sibernetika
(cyber warfare) yang nyata dan potensi kerusakannya besar, peran Kementerian
Komunikasi dan Informatika, Kementerian Riset dan Teknologi, dan Lembaga
Sandi Negara, tidak disebut dalam RUU Keamanan Nasional?
Cabang
kedua melihat masalah dan kerangka solusi secara luas dan menguta- makan
pendekatan nonkekerasan dalam penyelesaian ancaman keamanan yang bukan
ancaman militer dan bersenjata. Misalnya, kasus korupsi dan kegagalan
penindakan korupsi sistemik adalah sumber ancaman keamanan. Ketika akan
timbul demonstrasi dan konflik horizontal karena hal tersebut,
penyelesaiannya bukan dengan mengantisipasi demontrasi melalui penguatan
intelijen atau penindakan di lapangan, melainkan segera memenuhi harapan
publik menindak pelaku korupsi dengan lebih keras sesuai hukum.
Sementar
penilaian terhadap RUU Keamanan Nasional dari pengalaman traumatik masa lalu
dirasa kurang adil dan objektif. Dari regulasi, kebijakan, dan proses politik
terlihat kecil sekali kemungkinan Indonesia akan kembali seperti era orde
baru. Bahkan, penindakan terorisme yang dalam beberapa kasus dirasa berlebihan
juga dapat dikritik tanpa menimbulkan kekhawatiran bagi pengkritik Polri.
Kompleksitas
lain Namun, ada sumber kompleksitas lain yang agaknya luput diperhatikan.
Sepanjang pengamatan penulis, biasanya RUU bidang pertahanan dan keamanan
sangat sulit untuk disetujui. Bila sudah disetujui, implementasinya dihadang
hambatan internal dan eksternal.
Misalnya, pada 2009 RUU Rahasia Ne gara yang sudah hampir rampung mendadak ditarik lagi oleh pemerintah sesudah diprotes LSM dan media. Yang menarik adalah UU Nomor 3 Tahun 2002 tentang Pertahanan Negara Pasal 15 tentang Dewan Pertahanan Nasional tidak kunjung terlaksana, bahkan akan dilikuidasi bila RUU Keamanan Nasional disetujui.
Begitu
pula UU Nomor 39 Tahun 2008 tentang Kementerian Negara Pasal 5 ayat 1 dan
Pasal 9 ayat 1 huruf f tentang Pelak - sana Tugas Pokok di Daerah, khususnya
untuk urusan Kementerian Pertahanan (Kemhan). Hingga kini, kita belum mendengar
instansi vertikal Kemenhan telah berjalan di 33 provinsi atau sekurang-kurangnya
dibentuk 10-15 kantor wilayah karena keterbatasan anggaran dan sumber daya
manusia.
Penerapan
UU Nomor 17 Tahun 2011 tentang Intelijen Negara, terutama Pasal 28 ayat 2 dan
Pasal 38 ayat 1 tentang Koor dinasi Penyelenggaraan Intelijen Negara di Bawah
Badan Intelijen Negara (BIN) juga diragukan terlaksana dengan baik.
Indikasinya, masih banyak konflik horizontal, seperti tawuran antarpelajar/mahasiswa
dan antarwarga, pencurian ikan, penyelundupan solar, korupsi, dan lain-lain.
Padahal, semua penyelenggara intelijen di bawah koordinasi BIN.
Masalahnya
bukan pada Presiden dan DPR. Buktinya, undang-undang tersebut dibuat atas
persetujuan DPR bersama Presiden. Bahkan, Presiden RI melalui Perpres Nomor 41
Tahun 2010 menegaskan, pembentukan instansi vertikal Kemhan di daerah
merupakan salah satu kebijakan pertahanan integratif. Apakah masalahnya pada
birokrasi sipil, anggaran, ataukah ada tafsir berbeda tentang tugas TNI dalam
pemberdayaan wilayah pertahanan?
Kompleksitas
di atas selaiknya menjadi pertimbangan pemerintah, sehingga memprioritaskan
penyempurnaan substansi, ekstensifikasi konsultasi publik, dan intensifikasi
berbagi pengetahuan dengan fraksi/partai politik dan institusi keamanan dalam
negeri. Menurut Balogun dan Hailey (2008, Exploring Strategic Change, hlm
194), perubahan yang kompleks memerlukan pemahaman yang mendalam dan bentuk
komunikasi yang lebih beragam, terutama komunikasi lang sung perorangan atau
kelompok. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar