Kekerasan dan
Land Reform
Khudori ; Anggota
Pokja Ahli Dewan Ketahanan Pangan Pusat
|
REPUBLIKA,
02 Oktober 2012
Tanah merupakan harta tak ternilai.
Bagi petani, bukan hanya bagian hidup, tanah adalah sumber kehidupan, simbol
martabat dan identitas. Di kalangan masyarakat Jawa terdapat prinsip sadumuk
bathuk sanyari bumi ditohing pati (meskipun sejengkal, tanah bagian kehormatan
yang dibela hingga mati). Artinya, tanah memiliki kedudukan penting.
Tanah hanya salah satu jenis
modal. Selain tanah, ada modal manusia dan
modal uang. Tapi bagi
petani, modal tanah amat menentukan akses terhadap
modal lainnya. Itu
karenanya, redistribusi tanah (land reform) jadi agenda hampir
semua negara di dunia. Semua
negara yang struktur politik, ekonomi, dan sosialnya kukuh dan baik, seperti Cina,
Jepang, Korea, atau AS, memulai pembangunan ekonominya dengan land reform. Land
reform jadi bagian penting
menata struktur
politik-ekonomi-sosial yang feodalistik.
Indonesia memulai land
reform pada 1961, bersamaan dengan Taiwan. Cita-
cita pendiri bangsa saat itu
adalah menata ulang struktur agraria nasional
yang feodalistik dan
kolonialistik serta terkonsentrasi pada segelintir kelompok
jadi struktur agraria yang
berkeadilan sosial. Land reform dilakukan setelah
UU Pokok Agraria No 5/1960
disahkan bersamaan lahirnya UU Nomor 56
Prp/1960 tentang Penetapan
Luas Tanah Pertanian.
Sayang, land reform yang
menurut Bung Karno “bagian mutlak revolusi”
ternoda konflik vertikal dan
horizontal yang dipicu polarisasi ideologi massa rakyat. Kelompok “kiri” pendukung
land reform bersitegang dengan kelompok
“kanan” penolak land
reform. Stabilitas politik terguncang. Land reform era Bung
Karno terhenti seiring
pergantian rezim. Berbeda dengan Bung Karno, Soeharto
tak menjadikan land
reform sebagai agenda penting. Soeharto menempuh
jalan pintas dengan
mengadopsi Revolusi Hijau. Sepanjang 30 tahun land reform
dimusuhi dan diberangus.
Bahkan, para penganjurnya dicap “kiri”.
Tap MPR IX/2001 tentang
Pembaruan Agraria dan Pengelolaan Sumberdaya
Alam (SDA) tepat
menggambarkan kondisi agraria 30 tahun Orde Baru. Pertama, kepemilikan dan
penguasaan tanah dan kekayaan alam kian timpang. Kedua, konflik penguasaan dan
pengelolaan tanah dan kekayaan alam makin massif.
Ketiga, peraturan yang
terkait agraria/sumber daya alam bersifat eksploratif,
sektoral, sentralistis, le
bih berpihak pada pemodal besar dan pemegang kuasa, dan tidak ada pengaturan
memadai guna melindungi HAM dan hak-hak masyarakat adat/lokal. Keempat,
peraturan yang terkait konservasi SDA tidak member jalan keluar yang diharapkan
untuk pemulihan fungsi SDA sebagai landasan pengembangan ekonomi jangka
panjang.
Dampaknya, tumpang-tindih
peraturan membuat tak jelasnya otoritas atas
SDA dan salah urus
pengelolaan SDA. Akibatnya, terjadi pengurasan dan
penge rukan SDA tanpa batas.
Hutan produktif, hutan lindung dan lahan-lahan
produktif dialihfungsikan.
Akibatnya, lahan
terdegradasi, ekosistem rusak, dan keanekaragaman hayati merosot, pencemaran
dan dampak lingkungan meningkat, pelanggaran HAM
dan perampasan hak-hak
masyarakat adat/lokal kian masif. Hasilnya adalah
kemiskinan mayoritas rakyat.
Pada 2006, Presiden SBY
pernah berjanji membagikan 8,15 juta hektar lahan untuk rakyat. Secara ekonomi,
land reform yang ditopang program penunjang, seperti fasilitas kredit,
penyuluhan, latihan, pendidikan, teknologi, pemasaran, manajemen, dan infrastruktur-yang
dikenal dengan reforma agraria-akan membuat rakyat lebih berdaya, seperti
terbukti di Jepang (Hayami, 1997) dan Zimbabwe (Waeterloos dan Rutherford,
2004). Reforma agraria akan bisa mengeliminasi soal-soal struktural, baik
pengangguran, kemiskinan, konsentrasi aset agraria di segelintir orang,
tingginya sengketa dan konflik agraria, rentannya ketahanan pangan dan energi,
menurunnya kualitas lingkungan hidup, maupun lemahnya akses sebagian besar
masyarakat terhadap hak-hak dasar warga.
Masih Timpang
Enam tahun berlalu, janji
itu tak pernah ditunaikan. Struktur sosial-ekonomi
tetap timpang. Ini bisa
dilihat dari ketimpangan kepemilikan lahan. Ketimpangan kepemilikan aset di
negeri amat akut: 56 persen aset nasional hanya dikuasai 0,2 persen dari jumlah
penduduk. Ini berarti aset nasional hanya dikuasai 440 ribu orang. Nyaris tak
berubah dalam 60 tahun terakhir (Mohammad Tauchid, 1952).
Konsentrasi aset itu 62-87
persen berupa tanah (Winoto, 2008). Sebaliknya,
49,5 persen petani di Jawa
dan 18,7 persen petani luar Jawa tuna tanah (tak
berlahan). Di sisi lain, 7,2
juta hektar tanah yang dikuasai swasta di telantarkan.
Unjuk rasa sejumlah komponen
yang menuntut pemulihan hak rakyat atas sumber daya alam, terutama lahan (Republika,
25/9/2012), bisa dimaknai
sebagai usaha menagih janji
Presiden SBY. Sebab, tanpa menunaikan reforma
agraria, struktur
sosial-ekonomi tetap timpang, dan Indonesia akan terus tersandera berbagai
masalah struktural, salah satunya konflik agraria yang masif.
Menurut Komnas HAM,
sepanjang 2011 kasus sengketa lahan adalah pelanggaran HAM tertinggi disbanding
kasus lainnya, mencapai 603 kasus.
Me nurut BPN (2007), ada 2.810
kasus tanah besar yang berbuah konflik dan
merugikan negara-warga.
Nilai tanah yang tersandera sengketa mencapai Rp
1.000 triliun (Winoto,
2008). Akankah SBY menata ulang struktur sosial-ekonomi
lewat reformasi agraria? ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar