Jokowi Perlu
ke Tennessee
Victor Sihite ; Wartawan Senior
|
SINAR
HARAPAN, 15 Oktober 2012
Joko Widodo dan Basuki Tjahaja Purnama, hari ini, sah ditetapkan
menjadi gubernur dan wakil gubernur DKI Jakarta.
Selamat bekerja membangun Jakarta, menciptakan Jakarta baru yang
lebih baik, lebih nyaman, lebih makmur seperti dijanjikan selama kampanye.
Semoga impian mereka mengisi otak, perut dan dompet warga Jakarta bukan
sekadar mimpi di siang bolong.
Namun, seyogianya kedua pemimpin dan tim suksesnya jangan
terlalu optimistis dulu. Begitu pula sebaliknya, warga jangan berharap yang
berlebihan dulu. Seribu satu masalah Jakarta bukan masalah enteng, tetapi
kelas berat semua.
Mulai dari kemacetan lalu lintas yang menghabiskan umur warga,
banjir yang tiap tahun menerpa di musim hujan, dan kebakaran serta kesulitan
air di musim kemarau, pencemaran air dan udara yang sangat tinggi, dan
seterusnya dan seterusnya.
Yang pasti, tidak mudah menyelesaikan masalah-masalah berat itu.
Semuanya tergantung pada bagaimana keberhasilan seorang pemimpin bersinergi
dengan staf, dengan birokrasi yang dibawahinya, dengan seluruh warga, dan
jangan lupa, dengan wilayah tetangga yang dalam hal ini Provinsi Jawa Barat dan
Banten, dan juga dengan pemerintah pusat dan DPR.
Salah satu masalah berat adalah kemacetan. Okelah, berat, tetapi
dengan menyinergikan ahli-ahlinya, kita yakin masalah ini dapat ditanggulangi
sehingga jauh lebih baik dari kondisi yang ada selama ini.
Tulisan ini lebih fokus pada masalah air dan banjir, sekadar
sumbang saran dari seorang warga.
Penulis datang ke Jakarta tahun 1950, saat penduduk hanya
sekitar 500.000. Seingat penulis, masalah banjir kala itu jarang diberitakan,
karena memang tak banyak yang kebanjiran.
Bukannya tidak pernah ada banjir, tetapi luapan air dari 13
sungai yang ada di Jakarta memang parkir di berbagai kawasan yang memang
telah disediakan alam untuk itu. Sebut saja Rawamangun, Pulomas, Pulogebang,
Cempaka Putih, Sunter, dan Kelapa Gading.
Masalah banjir baru mencuat ke permukaan sekitar tahun 1960-an
setelah urbanisasi menggila. Dalam kurun waktu 60 tahun lebih, penduduk
Jakarta telah membengkak menjadi 20 kali lipat.
Dapat dibayangkan apa yang terjadi. Serobot sana serobot sini. Lahan
yang bukan peruntukan hunian akhirnya resmi jadi lingkungan perumahan.
Sampai-sampai bantaran dan pinggir kali pun penuh dengan gubuk yang
serbakumuh.
Fenomena Alam
Mendiang Ir Sutami, yang menjadi menteri pekerjaan umum di
masa-masa Orde Baru hingga tahun 1980-an mengatakan, luapan air sungai adalah
fenomena alam yang tidak mungkin ditiadakan. Di musim hujan, debit sungai
pasti naik, tetapi alam telah diciptakan Sang Maha Pencipta demikian
sempurna, dilengkapi dengan cekungan-cekungan bernama danau, situ, rawa, dan
sebagainya.
Ke situlah sebagian luapan air sungai parkir dan sebagian
mengalir ke laut. Jadi, kawasan yang bernama Rawamangun itu sebagai contoh,
yang kini telah menjadi salah satu kawasan elite, dulu adalah tempat parkir
luapan air.
Karena sekitar 1950-an hampir tidak ada penghuninya, maka setiap
kali jutaan meter kubik air membanjirinya, Rawamangun dan ratusan cekungan
lainnya di Jakarta sunyi-sunyi saja, tidak ada yang berteriak minta tolong.
Di masa-masa sibuknya mengurusi masalah banjir tahun 1970-an dan
1980-an itu, penulis masih ingat akan ucapan mendiang Sutami, bahwa
sebenarnya manusia itu sendirilah yang salah, kenapa mereka menyerbu
cekungan-cekungan alam itu dan menjadikannya sebagai tempat tinggal?
Tetapi, nasi telah jadi bubur. Mereka telah habis-habisan
berkorban untuk kebagian tempat di Jakarta, walau hanya kebagian cekungan
alam. Mereka telah resmi jadi warga DKI Jakarta, jadi mereka pun harus diurus
nasibnya.
Pemerintah lalu menata berbagai kawasan seperti itu sehingga
lebih layak huni serta meminimalkan dampak buruk dari banjir itu. Tetapi yang
pasti, daerah-daerah itu tetap saja rawan banjir karena memang lebih rendah
dari tempat-tempat lain.
Tambahan lagi, perusakan daerah tangkapan air di hulu seputar
Puncak, Bogor dan sekitarnya membuat keadaan lebih buruk.
Yang jelas lagi, sudah silih berganti gubernur di Jakarta,
tetapi masalah banjir tak pernah selesai. Sadar akan fakta itu, seorang pakar
banjir bernama Ir
Martsanto, yang juga pernah memimpin Kopro Banjir DKI Jakarta berkesimpulan,
banjir memang tidak mungkin ditiadakan, maka tak ada cara lain selain
bersahabat saja dengan banjir itu.
Belajar dari Tennessee
Satu hal lagi yang perlu dipertimbangkan. Pak Gubernur – kalau
tak ingin pergi sendiri – perlu mengutus staf ahli multidisiplin melakukan
studi banding ke Tennessee, negara bagian AS yang dialiri Sungai Mississippi.
Tennessee dahulu adalah negara bagian paling miskin di AS karena
selalu kebanjiran. Menurut sebuah buku sejarah Amerika, tak terlepas dari program
penanggulangan banjir menyeluruh di Amerika Serikat yang sudah mulai
dikembangkan sejak abad ke-19, pada 1934 dibentuk Tennessee Authority Valley.
Lembaga yang dipayungi UU yang dibuat di Washington itu diberi kewenangan
merencanakan dan membangun sistem dan fasilitas pencegahan banjir sekaligus
mengoperasikannya.
Demikianlah, otoritas itu pertama-tama melakukan penelitian
menyeluruh, termasuk di antaranya menghitung volume air pada musim banjir.
Dengan mengetahui volume air, di sepanjang DAS Sungai Mississippi
dibangun sejumlah reservoir yang kapasitas seluruhnya disesuaikan dengan
volume air banjir. Fasilitas-fasilitas penanggulangan banjir itu dilengkapi
dengan sistem peringatan dini, dan dalam hal ini seluruh warga di sepanjang
DAS wajib berpartisipasi dalam sistem peringatan dini tersebut.
Jadi, sewaktu hujan lebat ribuan kilometer di hulu, melalui
sistem komunikasi diperintahkan supaya puluhan reservoir sepanjang aliran
sungai dikosongkan bertahap dengan memperhitungkan lama perjalanan air dari
reservoir yang satu ke reservoir berikutnya.
Setelah reservoir terhulu penuh, isinya didorong menuju
reservoir kedua untuk kembali menampung luapan di bagian hulu. Begitu
seterusnya. Dengan demikian, badan sungai tidak pernah overloaded.
Setelah sistem pengendalian banjir bekerja baik, dilengkapi
dengan pengendalian ketat pemanfaatan lahan secara bertanggung jawab,
Tennessee berangsur muncul sebagi negara bagian yang tak kalah makmur dengan
tetangga-tetangganya.
Sungai Mississippi menjadi urat nadi perekonomian tempat lalu
lalang kapal-kapal sedang mulai dari muaranya hingga ribuan kilometer ke
hulu. Itu dimungkinkan oleh bendungan-bendungan yang dibangun secara
bertangga di sepanjang sungai.
Kiranya bukan pemikiran seorang pemimpin untuk meniru pendekatan
Tennessee dalam menanggulangi banjir di Jakarta dan sekitarnya. Tetapi memang
diperlukan payung hukum berupa UU untuk memaksa provinsi-provinsi, kota dan
kabupaten-kabupaten terkait bekerja sama saling bersinergi dalam
menanggulangi banjir yang setiap tahun selalu jadi momok.
Sama seperti di Amerika Serikat yang sudah memiliki patron
nasional penanggulangan banjir, di Indonesia pun tugas itu harus menjadi
tanggung jawab semua pihak, mulai dari DPR, DPRD, pemerintah pusat, pemda
tingkat I maupun II serta warga sendiri.
Tetapi, harus ada penggebraknya. Untuk itu kita yakin Pak Jokowi
dan Pak Ahok mampu menggalang kesehatian dan kesepakatan untuk bersama-sama
menanggulangi banjir Jakarta, mulai dari rembukan dengan warga, anjang sana
ke tetangga-tetangga, mengetuk hati pemerintah pusat, dan tak ketinggalan
meminta DPR menggunakan wewenangnya yang ada padanya untuk membuat
undang-undang penanggulangan banjir Ibu Kota.
Akan halnya reservoir-reservoir yang masih dalam bayangan itu,
hendaknya dirancang sedemikian rupa sehingga ketika terjadi krisis air di
musim kemarau, perusahaan air minum dapat memanfaatkannya. Agaknya, ini akan
jauh lebih murah dan praktis daripada harus membangun bendungan di Teluk
Jakarta seperti sudah mulai disuarakan. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar