Mobokrasi, Cacat
Demokrasi
Victor Silaen ; Dosen FISIP Universitas Pelita Harapan
|
SINAR
HARAPAN, 23 Agustus 2012
Bandingkan dengan artikel Victor Silaen di SINDO 06 Agustus 2012
http://budisansblog.blogspot.com/2012/08/mobokrasi-cacat-demokrasi-indonesia.html
Bandingkan dengan artikel Victor Silaen di SINDO 06 Agustus 2012
http://budisansblog.blogspot.com/2012/08/mobokrasi-cacat-demokrasi-indonesia.html
Meski harus melalui pelbagai rintangan yang
tak ringan, demokrasi Indonesia pasca-Soeharto terus berkembang pesat.
Hasilnya, pada 12 November 2007, rakyat
Indonesia yang diwakili Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) menerima Democracy Award dari International Association of Political
Consultants (IAPC). Sejak itu pula Indonesia diakui sebagai negara
demokratis ke-3 terbesar di dunia -- setelah Amerika Serikat dan India.
Sungguh sebuah prestasi yang membanggakan.
Sebenarnya sudah sejak dulu Indonesia menjadi negara yang demokratis. Hanya
saja demokrasinya semu, sekadar buatan rezim Soekarno, diberi nama Demokrasi
Terpimpin. Sementara itu, di era Soeharto, demokrasinya terpasung, diberi label
Demokrasi Pancasila.
Sekarang semuanya sudah beda. Rakyat betul-betul
menikmati kebebasan untuk memilih dan dipilih sebagai calon pemimpin,
berpendapat, berserikat, dan lain sebagainya. Patut bila “medali demokrasi”
diberikan kepada kita.
Sayangnya, pemberian medali tersebut tak
disertai penjelasan gamblang mengenai indikator yang digunakan serta nomine yang dikalahkan oleh Indonesia.
Bahkan, asosiasi yang telah berdiri sejak 1968 itu terkesan merahasiakannya.
Presiden IAPC Ben Goddard hanya menyatakan, penghargaan itu diberikan karena
Indonesia telah menunjukkan komitmennya pada demokrasi.
Kriteria pemberian penghargaan ini, salah
satunya, Indonesia dinilai berhasil menyelenggarakan pemilu langsung tanpa
gangguan berarti. Secara keseluruhan, pemilu di Indonesia sejak 1999 dianggap
berjalan jujur, adil, dan aman.
Sebagai bukti, pelaksanaan demokrasi juga
tercermin pada pemilihan langsung kepala daerah (pilkada). Selain itu,
Indonesia berhasil menyelenggarakan kebebasan pers. ”Semua warga negara bebas berbicara, mengkritik, dan mengawasi jalannya
pemerintahan, termasuk proses pengambilan keputusan bisnis dan ekonomi,”
ujarnya.
Goddard juga mengatakan, Indonesia merupakan
negara berpenduduk muslim terbesar di dunia yang berhasil menerapkan demokrasi
dalam sistem politiknya. Sementara itu, Presiden SBY mengatakan, penghargaan
tersebut menjadi bukti bahwa demokrasi bisa saja berkembang di negara yang
populasi penduduknya besar, kondisi geografi yang luas, keberagaman etnik dan
agama.
“Saya ingat saat itu banyak yang bersikap
skeptis. Demokrasi, katanya, tidak akan bertahan lama di Indonesia karena
rakyatnya belum siap. Negaranya terlalu besar. Demokrasi hanya akan
mengantarkan menuju chaos dan bahkan
memecah belah Indonesia. Ada yang berkata juga bahwa yang terjadi di Indonesia
hanyalah pergantian rezim. Tetapi, hari ini kita bisa berbangga sebagai rakyat
Indonesia, karena dengan meyakinkan kita berhasil memutarbalikkan
pendapat-pendapat skeptis tersebut.”
Manfaat Demokrasi?
Itulah sekilas rekaman pernyataan Goddard dan
SBY di Nusa Dua, Bali, 12 November 2007. Sekarang kita perlu memutarnya
kembali, seraya bertanya: sebenarnya untuk apakah demokrasi kita bangun dengan
biaya yang sangat mahal itu?
Apa manfaat demokrasi jika kesejahteraan
belum tercapai dan keadilan belum terwujud? Hanya untuk memilih para elite
politik di parlemen dan para pemimpin di pemerintahankah? Jika ternyata
orang-orang pilihan itu pun nir-integritas dan nir-kualitas, apa gunanya
demokrasi?
Indonesia – khususnya para pemimpin dan elite
politiknya – agaknya lupa bahwa demokrasi bukanlah sekadar sistem yang menata
institusi-institusi pemegang kekuasaan maupun perangkat prosedural untuk
memilih sejumlah orang yang akan memegang jabatan-jabatan publik prestisius.
Jika hanya semua itu yang menjadi perhatian
utama dalam mengembangkan demokrasi, sesungguhnya Indonesia telah tersesat di
dua tataran demokrasi facade (demokrasi permukaan). Ini karena demokrasi yang
hakiki justru berada di tataran nilai-nilai (values), yang seharusnya tampak dan mengejawantah di dalam
kehidupan sesehari masyarakat.
Kebebasan, itulah nilai demokrasi yang utama.
Menyusul kebebasan adalah kesetaraan dan individualistik. Jadi artinya,
kebebasan bukan hanya untuk saya, tetapi juga untuk kamu, dia, dan mereka –
untuk kita semua.
Dengan begitulah kita menjadi saling setara.
Di dalam saling setara berarti setiap orang diakui dan dihargai keberadaannya.
Maka, tak bisa tidak, di dalam demokrasi niscaya keanekaragaman bertumbuh
subur. Untuk itulah maka kita harus mengembangkan toleransi agar mampu menerima
dan menghargai orang-orang lain yang berbeda dengan kita. Jika tidak, niscaya
hancurlah demokrasi -- cepat atau lambat.
Pertanyaannya, sudahkah hari ini kita mampu
bertoleransi terhadap orang-orang lain yang berbeda dengan kita? Jika benar
demokrasi Indonesia maju maka toleransi mestinya semakin dihayati dan diamalkan
di tengah kehidupan sesehari masyarakat. Ini karena konsekuensi demokrasi
adalah keanekaragaman, sementara toleransi merupakan sikap mental yang
lapang-dada menyikapi pelbagai perbedaan.
Begitulah sejatinya toleransi, yang berasal
dari kata “tolerare” (bahasa Latin),
yang meniscayakan sikap menghormati pihak lain harus aktif dan dimulai dari
diri sendiri. Jadi, dengan toleransi, kita sendirilah yang harus memulai untuk
menghargai pihak lain.
Namun, ia tak berhenti di situ, sebab
toleransi akan betul-betul bermakna jika diikuti juga oleh pihak lain itu
sendiri; sehingga sifatnya menjadi dua arah dan timbal balik (resiprokal).
Namun, bagi Indonesia khususnya, demokrasi
tak cukup hanya dilengkapi dengan toleransi. Lebih dari itu, demokrasi juga
harus disertai dengan penegakan hukum. Jika tidak, mobokrasi bisa meletup setiap saat. Dengan mobokrasi berarti kekuasaan berada di tangan
“mob” -- yang berarti gerombolan atau massa.
Sekilas memang agak mirip dengan demokrasi.
Namun, kata “demo” dalam “demokrasi” menunjuk pada rakyat; dan rakyat itu
sendiri, dalam sebuah negara modern, terikat oleh hukum. Sementara itu,
gerombolan atau massa merupakan kumpulan orang yang berperilaku anomik dan
kerap brutal, sehingga justru bersifat kontra-demokratis dan karenanya juga
antitoleransi.
Bukankah maraknya aksi massa anarkistis, baik
yang terorganisasi maupun sporadis, akhir-akhir ini menunjukkan bahwa mobokrasi sewaktu-waktu muncul mengalahkan demokrasi?
Contoh peristiwa teraktual adalah aksi massa yang
mengamuk di ruas Tol Jatibening, Pondok Gede Timur, Bekasi, lantaran tak bisa
menerima kebijakan pihak Jasa Marga yang menertibkan terminal bayangan di dekat
pintu tol tersebut. Yang memprihatinkan, aksi tersebut seakan
dibiarkan saja oleh pemerintah, dalam hal ini, kepolisian. Pemerintah terkesan
tak berdaya menghadapinya.
Berhubung fenomena mobokrasi seperti ini
bukan sekali dua kali terjadi, dapatlah Indonesia disebut sebagai negara lemah
atau negara dalam bahaya yang sedang berjalan menuju negara gagal. Negara yang
memiliki legalitas untuk menggunakan kekuatan represif sekaligus koersif
terhadap para pelanggar hukum maupun pengancam ketertiban nyatanya berdiam diri
saja.
Dalam contoh
kasus yang lain, kepolisian bahkan dengan “sukarela” mengawal para vigilante di saat mereka melakukan aksi sweeping ke tempat-tempat tertentu. Bukankah seharusnya
kepolisian tak membiarkan kewenangannya dalam menegakkan hukum dicuri oleh
pihak manapun dan dengan alasan apa pun?
Inilah cacat demokrasi Indonesia. Ibarat
penyakit, cacat ini harus disembuhkan. Caranya hanya dua. Pertama, keseriusan
pemerintah dalam menyikapinya. Kedua, keberanian pemerintah dalam
menghadapinya. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar