Jumat, 24 Agustus 2012

Mobokrasi, Cacat Demokrasi


Mobokrasi, Cacat Demokrasi
Victor Silaen ;  Dosen FISIP Universitas Pelita Harapan
SINAR HARAPAN, 23 Agustus 2012
Bandingkan dengan artikel Victor Silaen di SINDO 06 Agustus 2012
http://budisansblog.blogspot.com/2012/08/mobokrasi-cacat-demokrasi-indonesia.html

Meski harus melalui pelbagai rintangan yang tak ringan, demokrasi Indonesia pasca-Soeharto terus berkembang pesat.

Hasilnya, pada 12 November 2007, rakyat Indonesia yang diwakili Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) menerima Democracy Award dari International Association of Political Consultants (IAPC). Sejak itu pula Indonesia diakui sebagai negara demokratis ke-3 terbesar di dunia -- setelah Amerika Serikat dan India.

Sungguh sebuah prestasi yang membanggakan. Sebenarnya sudah sejak dulu Indonesia menjadi negara yang demokratis. Hanya saja demokrasinya semu, sekadar buatan rezim Soekarno, diberi nama Demokrasi Terpimpin. Sementara itu, di era Soeharto, demokrasinya terpasung, diberi label Demokrasi Pancasila.

Sekarang semuanya sudah beda. Rakyat betul-betul menikmati kebebasan untuk memilih dan dipilih sebagai calon pemimpin, berpendapat, berserikat, dan lain sebagainya. Patut bila “medali demokrasi” diberikan kepada kita.

Sayangnya, pemberian medali tersebut tak disertai penjelasan gamblang mengenai indikator yang digunakan serta nomine yang dikalahkan oleh Indonesia. Bahkan, asosiasi yang telah berdiri sejak 1968 itu terkesan merahasiakannya. Presiden IAPC Ben Goddard hanya menyatakan, penghargaan itu diberikan karena Indonesia telah menunjukkan komitmennya pada demokrasi.

Kriteria pemberian penghargaan ini, salah satunya, Indonesia dinilai berhasil menyelenggarakan pemilu langsung tanpa gangguan berarti. Secara keseluruhan, pemilu di Indonesia sejak 1999 dianggap berjalan jujur, adil, dan aman.

Sebagai bukti, pelaksanaan demokrasi juga tercermin pada pemilihan langsung kepala daerah (pilkada). Selain itu, Indonesia berhasil menyelenggarakan kebebasan pers. ”Semua warga negara bebas berbicara, mengkritik, dan mengawasi jalannya pemerintahan, termasuk proses pengambilan keputusan bisnis dan ekonomi,” ujarnya.
Goddard juga mengatakan, Indonesia merupakan negara berpenduduk muslim terbesar di dunia yang berhasil menerapkan demokrasi dalam sistem politiknya. Sementara itu, Presiden SBY mengatakan, penghargaan tersebut menjadi bukti bahwa demokrasi bisa saja berkembang di negara yang populasi penduduknya besar, kondisi geografi yang luas, keberagaman etnik dan agama.

“Saya ingat saat itu banyak yang bersikap skeptis. Demokrasi, katanya, tidak akan bertahan lama di Indonesia karena rakyatnya belum siap. Negaranya terlalu besar. Demokrasi hanya akan mengantarkan menuju chaos dan bahkan memecah belah Indonesia. Ada yang berkata juga bahwa yang terjadi di Indonesia hanyalah pergantian rezim. Tetapi, hari ini kita bisa berbangga sebagai rakyat Indonesia, karena dengan meyakinkan kita berhasil memutarbalikkan pendapat-pendapat skeptis tersebut.”

Manfaat Demokrasi?

Itulah sekilas rekaman pernyataan Goddard dan SBY di Nusa Dua, Bali, 12 November 2007. Sekarang kita perlu memutarnya kembali, seraya bertanya: sebenarnya untuk apakah demokrasi kita bangun dengan biaya yang sangat mahal itu?
Apa manfaat demokrasi jika kesejahteraan belum tercapai dan keadilan belum terwujud? Hanya untuk memilih para elite politik di parlemen dan para pemimpin di pemerintahankah? Jika ternyata orang-orang pilihan itu pun nir-integritas dan nir-kualitas, apa gunanya demokrasi?

Indonesia – khususnya para pemimpin dan elite politiknya – agaknya lupa bahwa demokrasi bukanlah sekadar sistem yang menata institusi-institusi pemegang kekuasaan maupun perangkat prosedural untuk memilih sejumlah orang yang akan memegang jabatan-jabatan publik prestisius.

Jika hanya semua itu yang menjadi perhatian utama dalam mengembangkan demokrasi, sesungguhnya Indonesia telah tersesat di dua tataran demokrasi facade (demokrasi permukaan). Ini karena demokrasi yang hakiki justru berada di tataran nilai-nilai (values), yang seharusnya tampak dan mengejawantah di dalam kehidupan sesehari masyarakat.
Kebebasan, itulah nilai demokrasi yang utama. Menyusul kebebasan adalah kesetaraan dan individualistik. Jadi artinya, kebebasan bukan hanya untuk saya, tetapi juga untuk kamu, dia, dan mereka – untuk kita semua.

Dengan begitulah kita menjadi saling setara. Di dalam saling setara berarti setiap orang diakui dan dihargai keberadaannya. Maka, tak bisa tidak, di dalam demokrasi niscaya keanekaragaman bertumbuh subur. Untuk itulah maka kita harus mengembangkan toleransi agar mampu menerima dan menghargai orang-orang lain yang berbeda dengan kita. Jika tidak, niscaya hancurlah demokrasi -- cepat atau lambat.

Pertanyaannya, sudahkah hari ini kita mampu bertoleransi terhadap orang-orang lain yang berbeda dengan kita? Jika benar demokrasi Indonesia maju maka toleransi mestinya semakin dihayati dan diamalkan di tengah kehidupan sesehari masyarakat. Ini karena konsekuensi demokrasi adalah keanekaragaman, sementara toleransi merupakan sikap mental yang lapang-dada menyikapi pelbagai perbedaan.

Begitulah sejatinya toleransi, yang berasal dari kata “tolerare” (bahasa Latin), yang meniscayakan sikap menghormati pihak lain harus aktif dan dimulai dari diri sendiri. Jadi, dengan toleransi, kita sendirilah yang harus memulai untuk menghargai pihak lain.
Namun, ia tak berhenti di situ, sebab toleransi akan betul-betul bermakna jika diikuti juga oleh pihak lain itu sendiri; sehingga sifatnya menjadi dua arah dan timbal balik (resiprokal).

Namun, bagi Indonesia khususnya, demokrasi tak cukup hanya dilengkapi dengan toleransi. Lebih dari itu, demokrasi juga harus disertai dengan penegakan hukum. Jika tidak, mobokrasi bisa meletup setiap saat. Dengan mobokrasi berarti kekuasaan berada di tangan “mob” -- yang berarti gerombolan atau massa.

Sekilas memang agak mirip dengan demokrasi. Namun, kata “demo” dalam “demokrasi” menunjuk pada rakyat; dan rakyat itu sendiri, dalam sebuah negara modern, terikat oleh hukum. Sementara itu, gerombolan atau massa merupakan kumpulan orang yang berperilaku anomik dan kerap brutal, sehingga justru bersifat kontra-demokratis dan karenanya juga antitoleransi.

Bukankah maraknya aksi massa anarkistis, baik yang terorganisasi maupun sporadis, akhir-akhir ini menunjukkan bahwa mobokrasi sewaktu-waktu muncul mengalahkan demokrasi? Contoh peristiwa teraktual adalah aksi massa yang mengamuk di ruas Tol Jatibening, Pondok Gede Timur, Bekasi, lantaran tak bisa menerima kebijakan pihak Jasa Marga yang menertibkan terminal bayangan di dekat pintu tol tersebutYang memprihatinkan, aksi tersebut seakan dibiarkan saja oleh pemerintah, dalam hal ini, kepolisian. Pemerintah terkesan tak berdaya menghadapinya.

Berhubung fenomena mobokrasi seperti ini bukan sekali dua kali terjadi, dapatlah Indonesia disebut sebagai negara lemah atau negara dalam bahaya yang sedang berjalan menuju negara gagal. Negara yang memiliki legalitas untuk menggunakan kekuatan represif sekaligus koersif terhadap para pelanggar hukum maupun pengancam ketertiban nyatanya berdiam diri saja.

Dalam contoh kasus yang lain, kepolisian bahkan dengan “sukarela” mengawal para vigilante di saat mereka melakukan aksi sweeping ke tempat-tempat tertentu. Bukankah seharusnya kepolisian tak membiarkan kewenangannya dalam menegakkan hukum dicuri oleh pihak manapun dan dengan alasan apa pun?

Inilah cacat demokrasi Indonesia. Ibarat penyakit, cacat ini harus disembuhkan. Caranya hanya dua. Pertama, keseriusan pemerintah dalam menyikapinya. Kedua, keberanian pemerintah dalam menghadapinya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar