Sabtu, 11 Agustus 2012

KPK Paling Berhak Tangani Kasus Korupsi Simulator

KPK Paling Berhak Tangani Kasus Korupsi Simulator
Muchtar Pakpahan ; Dosen dan Kandidat Guru Besar Hukum Tata Negara Universitas Kristen Indonesia
SINAR HARAPAN, 11 Agustus 2012


Tarik ulur siapa yang berhak menangani kasus dugaan korupsi pengadaan simulator untuk ujian SIM tetap belum tuntas. Misalnya, dalam sebuah acara dialog pagi di stasiun televisi TVOne, Kabareskrim Mabes Polri Komjen Sutarman, berkeras akan terus menyidik kasus korupsi ini, bahkan menyatakan akan meminta pengadilan yang memutuskan.

Sejak proklamasi kemerdekaan, para bapak bangsa sudah punya cita-cita luhur mendirikan sebuah negara yang berdaulat dan negara hukum yang bersih dari korupsi sebagai syarat mutlak dapat menyejahterakan rakyatnya. Ternyata cita-cita itu baru pada tahap mimpi, tidak pernah terealisasi, terutama semasa rezim Orde Baru yang otoriter.

Selain kerap melanggar HAM, rezim Orde Baru membarenginya dengan mengembangkan budaya korupsi seperti diakui oleh Prof Soemitro Djojohadikusumo bahwa kebocoran APBN mencapai 30 persen, akibatnya rakyat tetap miskin. Ujungnya, rezim Orde Baru diturunkan melalui gerakan Reformasi Mei 1998.

Sebelum reformasi, menurut UU ada dua instansi yang berwenang dan bertanggung jawab memberantas korupsi, yakni kepolisian dan kejaksaan.

Tak heran kedua instansi ini tumpul memberantas korupsi, antara lain karena kedua instansi itu pun sarangnya korupsi, minimal sarangnya penerima suap dan pemeras masyarakat yang berurusan dengan hukum. Bahkan tahun ini ditengarai kejaksaan adalah masuk kategori terkorup, dan beberapa tahun lalu kepolisian masuk kategori terkorup.

Sebutlah dua argumentasi di atas menjadi filosofi dan latar belakang lahirnya KPK sebagai bagian yang tidak terpisahkan dari cita-cita reformasi. (Saya ditangkap, ditahan, dan diadili subversif tahun 1996 salah satu karena menulis buku Potret Negara Indonesia, buku itu menguraikan praktik pelanggaran hukum termasuk korupsi dan menyuarakan jalan keluar melalui reformasi). Pemerintahan yang bersih dari korupsi, jauh dari pelanggaran hukum dan bebas dari perampasan HAM, menjadi butir terpenting dari cita-cita reformasi.

Membicarakan topik ini kita awali dari Tap MPR No XI/MPR/1998 tentang Penyelenggaraan Negara yang bersih dan bebas dari korupsi, kolusi, dan nepotisme.
Kemudian Tap MPR ini ditindaklanjuti menjadi sebuah undang-undang dengan judul yang sama UU No 28 Tahun 1999. Di dalam pembahasan kedua ketentuan tersebut, jelas dinyatakan kepolisian dan kejaksaan tidak dapat diharapkan memberantas korupsi.
Tiga tahun kemudian, pemerintahan dan DPR hasil Pemilu 1999 mengundangkan UU No 20 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak pidana Korupsi yang melahirkan lembaga KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi).

Hal-hal yang paling mendasar melahirkan undang-undang ini adalah seperti yang dikemukakan di atas, kepolisian dan kejaksaan tidak dapat dipercaya melaksanakan tugas dan tanggung jawab pemberantasan korupsi. KPK sendiri merupakan sebuah badan ad hoc dan independen, dengan harapan suatu saat akan dibubarkan ketika kepolisian dan kejaksaan sudah dapat dipercaya.

Kalau hari ini ditanyakan: apakah sekarang kepolisian dan kejaksaan sudah dapat dipercaya mengemban tugas itu? Jawabnya jelas: masih jauh dari harapan, alias tidak dipercaya.

Saat ini kepolisian c/q Kabareskrim berusaha merebut kewenangan KPK agar ia menjadi penyidik kasus korupsi simulator SIM di Mabes Polri. Mengapa saya menyebutnya merebut kewenangan, karena hal itu sesuai dengan UU No 20 Tahun 2002 tentang KPK. Berikut sejumlah hal yang diatur dalam UU No 20 tahun 2002 tersebut. Dalam Pasal 6, KPK mempunyai tugas: a. koordinasi dengan instansi yang berwenang melakukan pemberantasan tindak pidana korupsi (yakni kepolisian dan kejaksaan).

Dalam Pasal 8 (2) disebutkan: dalam melaksanakan wewenang sebagaimana dimaksud pada ayat (1), yaitu supervisi, KPK berwenang juga mengambil alih penyidikan atau penuntutan terhadap pelaku tindak pidana korupsi yang sedang dilakukan oleh kepolisian atau kejaksaan. (3) Dalam hal KPK mengambil alih penyidikan atau penuntutan, kepolisian atau kejaksaan wajib menyerahkan tersangka dan seluruh berkas perkara beserta alat bukti dan dokumen lain yang diperlukan dalam waktu paling lama 14 hari kerja terhitung sejak diterimanya permintaan KPK.

Alasan mengambil alih yang diatur di Pasal 9, ada dua yang cocok dengan kasus ini: a. laporan masyarakat, dan b. proses yang tertunda-tunda. Kemudian Pasal 50 menegaskan: (1) Kewajiban polisi memberitahukan kepada KPK bahwa ada penyidikan korupsi paling lambat 14 hari kerja. (2) wajib dilakukan koordinasi secara terus-menerus dengan KPK. (3) Dalam hal KPK sudah mulai menyidik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) kepolisian atau kejaksaan tidak berwewenang lagi melakukan penyidikan.

Apa yang diatur dalam Pasal 6, 8, 9, dan 50 sebagaimana dikemukakan di atas sudah jelas menggariskan bahwa kepolisian tidak lagi berwenang menyidik karena KPK telah melakukannya.

Saya sangat percaya kepolisian mengetahuinya dan memahaminya, apalagi pasal itu sangat jelas tidak membutuhkan penafsiran. Malah ngototnya kepolisian melahirkan berbagai dugaan negatif, seperti ada yang hendak dilindungi atau ini bagian permainan mengalihkan perhatian dari kasus Hambalang.

Bagaimana dengan MoU Kapolri-KPK? Sepanjang berkaitan dengan kasus korupsi di korlantas, Polri wajib menghentikan penyidikan dan menyerahkan kepada KPK. Secara administratif, KPK perlu menulis surat ke Kapolri untuk memberitahukan bahwa sudah ada penyidikan, yang 14 hari sejak itu kepolisian wajib menghentikan penyidikannya.

Adapun makna MoU dapat diartikan kerja sama yang mengatur sepanjang hal-hal yang belum/tidak diatur oleh undang-undang. Mou itu tidak dapat mengeyampingkan UU No 20 Tahun 2002.

Rekan saya, advokat Juniver Girsang menyatakan, “Bagaimana jadinya institusi penegak hukum jika ketuanya tidak patuh pada etika yang sudah disepakati? Tentu itu tidak bermoral namanya.” Yang benar bagaimana institusi penegak hukum kepolisian jika melanggar undang-undang, penegakan hukum akan amburadul.

Kalau Kabareskrim berkeras akan menyidik, ada tiga jalan keluar alternatif atau sekaligus ketiganya. Pertama, presiden sebagai penanggung jawab penegakan hukum eksekutif kepolisian segera perintahkan Kapolri menghentikan penyidikan korupsi di Korlantas dan serahkan ke KPK.

Kedua, kalau presiden tetap tidak bersikap dan ada dugaan perkembangan ini merupakan pengalihan isu, maka sepatutnya masyarakat, mahasiswa, serikat buruh, dan LSM melancarkan aksi perlawanan seperti dua tahun lalu dalam kasus cicak-buaya, yang ahirnya membebaskan Bibit-Chandra dan kemudian terhenti kasus Century.

Ketiga, bila masyarakat sudah apatis dan mendiamkannya lalu hanya menonton, KPK atau ICW atau wadah yang terganggu hak konstitusionalnya dapat mengajukan permohonan ke MK, masuk kategori sengketa antarlembaga.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar