Sabtu, 11 Agustus 2012

Zakat dan Opsi Harakiri

Zakat dan Opsi Harakiri
Misranto ; Rektor Universitas Merdeka, Pasuruan
MEDIA INDONESIA, 11 Agustus 2012


ADA banyak pertanyaan yang bisa diajukan kepada negara ini. Benarkah atau sungguh-sungguhkah negara (rezim) ini mengurus orang miskin? Terbuktikah janji konstitusi, bahwa rakyat yang telantar atau orang miskin dipelihara oleh negara? Tidakkah selama ini elite kekuasaan atau elemen negara hanya sibuk dan sering mengobral janji dalam soal pembe basan masyarakat miskin?

Janji elemen negara memang harus terusmenerus digugat dan dipertanyakan. Pasalnya, di antara mereka, sangat banyak yang hanya bisa mengobral janji yang mem bius publik. Janji yang diucapkan hanya kosong. Mereka lebih sering hanya memainkan politik verbalitas dan ambiguitas saat di hadapkan dengan ‘proyek akbar’ yang bernama kemiskinan. Mereka paham kalkulasi ekonomi yang bisa digunakan untuk memberantas kemiskinan. Namun, dalam kenyataan, mereka tidak bisa atau mandul dalam mengaplikasikannya.

Dalam paradigma elitis, mereka itu berhasil menjemput ranah kemajuan.          Mereka berhasil menaikkan sedikit pamor negeri. Sebut misalnya Indonesia mencatat pertumbuhan ekonomi positif. Pada triwulan kedua tahun ini, pertumbuhan ekonomi mencapai 6,4%. Secara kumulatif, pertumbuhan ekonomi In donesia semester I 2012 tumbuh 6,3%. Pertumbuhan tersebut menggembirakan karena di saat perekonomian global meriang, makroekonomi Indonesia terbukti tetap tang guh.

Wajar jika pemerintah bertepuk dada (bergembira). Sayangnya kegembiraan itu ternyata bukan milik semua rakyat bangsa ini. Hal itu disebabkan pertumbuhan tidak punya akselerasi dalam mengatasi problem sosial seperti kemiskinan, pengangguran, dan kesenjangan pendapatan. Kemiskinan masih berputar-putar pada angka yang itu-itu saja. 

Pada Maret 2012, jumlah warga miskin di Indonesia masih sebesar 29,13 juta jiwa atau 11,96% dari total penduduk. Angka itu hanya turun tipis 0,53% ketimbang jumlah penduduk miskin pada Maret tahun sebelumnya. Ketimpangan pendapatan pun melebar sebagaimana tecermin dari rasio Gini yang menjadi alat ukur ketimpangan pendapatan. Pada 2002, rasio Gini baru 0,32 dan melesat menjadi 0,41 pada 2011 (Media Indonesia, 9 Agustus 2012).

Ironis dan paradoks adalah kata yang tepat untuk menggugat pertumbuhan itu. Pasalnya kue pertumbuhan hanya dinikmati segelintir orang atau jadi monopoli elite. Mereka yang miskin tetap miskin atau tetap menjadi--meminjam istilah Jalaluddin Rachmat-mustadh'afin (sekelompok orang yang dibikin teraniaya). Mereka ini bukan hanya miskin, tetapi dimiskinkan, sehingga `selalu' kesulitan membebaskan dirinya dari ketidakberdayaan ekonomi (economical empowerless).

Akibat kemiskinan itu sangatlah fatalistik. Tak sedikit di antara orang miskin itu yang menjatuhkan opsi harakiri atau bunuh diri. Mereka tak kuat menjalani kehidupan serbakurang dan tersiksa secara berkepanjangan sehingga memilih jalan mengakhiri hidup.

Sedikitnya 50 ribu orang Indonesia bunuh diri selama tiga tahun terakhir. Kemiskinan dan impitan ekonomi menjadi penyebab tingginya jumlah orang yang mengakhiri hidup. Guru Besar Fakultas Kedokteran Universitas Trisakti A Prayitno mengatakan faktor penyebab orang nekat bunuh diri ialah kemiskinan yang terus bertambah, mahalnya biaya sekolah dan kesehatan, serta penggusuran. Semua itu berpotensi meningkatkan depresi akibat bertambahnya beban hidup.

Paparan Prayitno didasarkan pada data Organisasi Kesehatan Dunia (World Health Organization) yang dihimpun pada 2005-2007 bahwa sedikitnya 50 ribu orang Indonesia bunuh diri. Jumlah kematian itu belum termasuk kematian akibat overdosis obat terlarang yang mencapai 50 ribu orang setiap tahun.

Dari jumlah tersebut, 41% bunuh diri dilakukan dengan cara gantung diri dan 23% dengan cara meminum racun serangga. Faktor psikologis yang mendorong bunuh diri ialah kurangnya dukungan sosial dari masyarakat sekitar, kehilangan pekerjaan, kemiskinan, huru-hara yang menyebabkan trauma psikologis, dan konfl ik berat yang memaksa masyarakat mengungsi (Hilman Hadi, 2011).

Sebagai perbandingan dengan perkembangan bunuh diri sekarang, kasus bunuh diri di Jakarta sepanjang 1995-2004 mencapai 5,8% per 100 ribu penduduk, kebanyakan lelaki. Dari 1.119 orang bunuh diri di ibu kota negara, 41% dengan cara gantung diri dan 23% menenggak racun. Selain itu, 256 orang menemui ajal akibat overdosis obat. Tingginya angka bunuh diri di Indonesia mendekati negara peme gang rekor dunia seperti Jepang yang mencapai lebih dari 30 ribu orang per tahun dan China yang mencapai 250 ribu orang per tahun.

Fenomena belakangan ini juga kian menunjukkan kondisi mem prihatinkan sehubungan dengan gampangnya elemen rakyat miskin menjatuhkan opsi harakiri. Awal Juli lalu setidaknya kita mendapatkan pelajaran berharga. Tragedi Markiah, janda berusia 30 tahun asal Serang, Banten, yang nekat menjemput kematian bersama buah hatinya dengan cara menceburkan diri ke Sungai Cisadane, Bogor, merupakan salah satu gambaran betapa sudah membelitnya kemiskinan di masyarakat jelata. Di antara mereka, tak sedikit yang gagal mempertahankan atau memperjuangkan hak keberlanjutan hidup. Mereka jadikan harakiri sebagai opsi untuk mengakhiri akumulasi penderitaan.

Dalam Islam, tragedi seperti yang menimpa Markiah bisa dicegah jika negara atau komunitas elite sungguh sungguh mengerahkan segala ke mampuan untuk mengeluarkan dan mengelola zakat. Zakat bukan hanya potensial menanggulangi kemiski nan, tetapi juga mampu menyucikan keyakinan dan menguatkan ketahanan psikologis komunitas miskin sehingga tidak sampai terjerumus dalam opsi harakiri.

Menurut hasil riset Badan Amil Zakat Nasional (Baznas), FEM IPB, dan IDB, terjadi kenaikan potensi zakat di Indonesia sebesar Rp217 triliun atau 3,14% dari GDP (gross domestic product) Indonesia. Potensi demikian besar ini akan mampu menjadi instrumen yang membebaskan, menyejahterakan, dan mencerahkan, bilamana benar-benar menga lir ke dalam kehidupan rakyat secara riil.

”jika zakat itu dibagikan dengan jujur, tak akan ada kemiskinan,” demikian sabda Nabi Muhammad SAW, yang menunjukkan bahwa soal kewajiban menjalankan zakat bukan hanya bagaimana orang kaya (upper class) atau golongan muzaki (pihak yang dibebani kewajiban mengeluarkan zakat) atas harta kekayaannya, tetapi bagaimana distribusi zakat dilakukan dengan jujur, transparan, dan akuntabel? Ukuran yang disampaikan oleh Nabi tersebut terletak pada dimensi moralitas distribusi zakat atau manajemen zakat berbasis akuntabilitas moral. Baik elite ekonomi atau komunitas kaya maupun pengelola zakat (seperti negara melalui badan amil-amilnya), termasuk penyelenggara UU Nomor 23 Tahun 2011 tentang Pengelolaan Zakat, yang dituntut dalam doktrin Islam ialah penegakan atau pembumian kejujuran (norma etis).

Etika kejujuran yang bisa ditegakkan oleh setiap muslim atau ‘organisatoris’ yang dipercaya menerima, mengelola, dan mem bagikan zakat merupakan kata kunci yang menentukan bisa sampai tidaknya zakat diterima oleh yang berhak atau sukses tidaknya masyarakat bisa dibebaskan dari kemiskinan, diprevensi dari kemungkinan keterjerumusan menjatuhkan opsi harakiri, dan diantarkan menuju keberdayaan kemanusiaannya.

Ketika etika kejujuran sudah tidak dipegang teguh oleh penerima zakat atau amil (panitia penerima zakat) mengidap ‘kemiskinan’ moral, maka zakat akan sulit terdistribusi kepada orang-orang yang tergolong prioritas menerimanya. Komunitas yang diistimewakan oleh agama untuk berhak menerima zakat ialah fakir miskin. Pasalnya komunitas ini tergolong paling rentan ketika dihadapkan dengan tantangan berat dan komplikatif yang mengujinya.

Di negeri ini, memang di satu sisi, kehadiran muzaki dalam program penanggulangan kemiskinan dan penyejahteraan sangatlah dibutuhkan, khususnya untuk menyelamatkan hak keberlanjutan hidup warga miskin. Akan tetapi repotnya, elemen negara ini juga gampang silau ketika dihadapkan dengan uang dalam jumlah besar. Jangankan dana zakat, dana APBN untuk pengadaan Alquran saja bisa dikorupsi secara terorganisasi, apalagi kalau uang itu dari zakat.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar