Moratorium
Ekspor Gas
Komaidi Notonegoro ; Wakil Direktur
ReforMiner Institute
KOMPAS,
16 Juli 2012
Atas usulan sejumlah fraksi
di DPR, pemerintah kembali mewacanakan melakukan moratorium ekspor gas.
Sesungguhnya itu bukan hal
baru. Sebelumnya, mantan Wakil Presiden Jusuf Kalla juga menyampaikan hal yang
sama. Saat itu, berdasarkan hasil rapat pada 3 Juni 2009 di Istana Wakil
Presiden, pemerintah menetapkan kebijakan larangan ekspor gas.
Krisis gas yang dialami
pengguna domestik jadi latar belakang munculnya wacana tersebut. Sudah sejak
lama PLN, industri pupuk, petrokimia, dan sejumlah industri yang tergabung
dalam Forum Industri Pengguna Gas Bumi mengeluhkan minimnya pasokan gas yang
mereka terima. Pada tahun 2011, misalnya, dari total kebutuhan gas industri
sekitar 2.767 MMSCFD, pasokan yang didapat hanya sekitar 1.000 MMSCFD. Pada
tahun 2012, pasokan tersebut dipangkas lagi menjadi 500 MMSCFD.
Neraca Gas Indonesia
2010-2025 menyebutkan, jika memperhitungkan contracted
demand dan committed demand,
dalam 13 tahun mendatang sebagian besar wilayah Indonesia akan mengalami krisis
gas. Pada tahun 2020 dan 2025, wilayah Indonesia yang tidak mengalami krisis
(defisit) gas hanya pada regional 12, yaitu Maluku bagian selatan. Atas kondisi
ini, moratorium ekspor gas dinilai dapat jadi solusi dan harus dilakukan.
Akar Permasalahan
Krisis gas domestik
sesungguhnya bukan akibat terbatasnya produksi atau penawaran. Itu dibuktikan
selama delapan tahun terakhir, rata-rata konsumsi gas domestik hanya 43 persen
produksi gas nasional. Dari produksi sekitar 8.500 MMSCFD, yang digunakan untuk
domestik hanya 3.665 MMSCFD. Krisis lebih disebabkan tidak sesuainya sumber gas
dengan penggunanya dan masih minimnya ketersediaan infrastruktur gas domestik.
Sebagian besar cadangan gas
berada di wilayah Indonesia timur. Sekitar 72,29 persen cadangan gas berada di
luar wilayah Jawa dan Sumatera. Sementara 90,35 persen kapasitas dan 94,47
persen panjang pipa transmisi dan distribusi gas justru berada di Jawa dan
Sumatera. Sebagian besar atau sekitar 87,05 persen pengguna gas domestik juga
terdistribusi di Jawa dan Sumatera.
Oleh karena itu, masalah
sektor gas domestik saat ini sesungguhnya bagaimana mendistribusikan gas dari
Indonesia timur ke penggunanya di Jawa dan Sumatera. Membangun pipa dari sumber
sampai ke pengguna atau membangun infrastruktur regasifikasi unit adalah
pilihan yang harus dilakukan. Tanpa itu, krisis gas akan selalu menjadi masalah
yang terus berulang setiap tahun dan tidak kunjung terselesaikan.
Melihat jarak sumber dengan
pengguna yang relatif jauh, mendistribusikan gas dalam bentuk cair atau liquefied natural gas (LNG) adalah yang
paling memungkinkan. Membangun pipa transmisi dan distribusi gas dalam jarak
jauh dinilai berisiko tinggi dan belum/tidak memenuhi aspek keekonomian. Karena
itu, membangun infrastruktur regasifikasi unit merupakan keharusan agar
cadangan gas yang ada dapat dimanfaatkan.
Bangun Infrastruktur
Akan tetapi, pembangunan
regasifikasi unit, yang telah diwacanakan sejak tahun 2005, hingga saat ini
belum tersedia. Akibatnya, meski Indonesia salah satu produsen LNG terbesar,
produknya tidak dapat dimanfaatkan oleh domestik. Alhasil, keseluruhan alias
100 persen LNG yang diproduksikan diekspor. Pada tahun 2011, porsi LNG mencapai
sekitar 80 persen terhadap total ekspor gas Indonesia. Karena itu, meski belum
tentu tepat, dapat diduga salah satu faktor pendorong besarnya ekspor gas
adalah akibat domestik yang belum/tidak dapat memanfaatkan LNG.
Pembangunan infrastruktur
merupakan prioritas utama dalam penyelesaian krisis gas domestik. Jika sebagian
besar pengguna gas (industri) tetap di Jawa dan Sumatera, tersedianya
regasifikasi unit menjadi kunci penyelesaian masalah.
Pembangunan pipa transmisi
dan distribusi dapat dilakukan dan memenuhi aspek keekonomian jika pengguna tak
jauh dari sumber gas. Artinya, itu dapat dilakukan jika pemerintah mampu
mendorong tumbuhnya sektor industri di Indonesia timur.
Berdasarkan itu semua,
moratorium ekspor gas bukan merupakan solusi atau prioritas utama dalam
menyelesaikan krisis gas domestik. Bahkan, langkah itu berpotensi menjadi ”niat
baik” yang tidak berarti apa-apa jika infrastruktur gas domestik tidak segera
disiapkan.
Mengapa? Sebab, krisis gas
domestik bukan akibat tingginya ekspor gas, melainkan karena minimnya
ketersediaan infrastruktur gas domestik. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar