Fenomena
Pilkada DKI
Kiki Syahnakri ; Ketua Dewan
Pengkajian Persatuan Purnawirawan Angkatan Darat
KOMPAS,
16 Juli 2012
Kejutan politik telah
terjadi dalam Pilkada DKI. Kemenangan telak pasangan Joko Widodo-Basuki Tjahaja
Purnama (Jokowi-Ahok) menjadi fenomena yang membuat banyak kalangan
terperangah. Sebab, hasil survei sebelumnya rata-rata berkesimpulan pasangan
petahana Fauzi Bowo-Nachrowi Ramli (Foke-Nara) yang bakal keluar sebagai
pemenang. Bahkan, digadang-gadang bakal unggul dalam satu putaran.
Dalam detik-detik terakhir
berkembang pula perkiraan, pasangan Faisal Basri-Biem Benjamin akan menjadi
kuda hitam. Kenyataannya, Jokowi-Ahok telah menjungkirbalikkan semua hasil
survei dan perkiraan di atas. Bukan hanya itu, perbedaan suara dengan calon pesaingnya
di putaran kedua pun cukup jauh, yaitu 8,27 persen (Kompas, 12/7).
Berbagai analisis yang
memperbincangkan kemenangan fenomenal ini pun semarak.
Pada umumnya para
pengamat berpendapat bahwa kemenangan ini merupakan isyarat kuat dari
masyarakat yang menginginkan perubahan. Mereka ingin segera keluar dari
kejenuhan menghadapi kesulitan hidup, ketidaknyamanan, dan masalah keamanan
yang kian mencekik masyarakat bawah.
Ada pula pendapat bahwa hal
ini merupakan pertanda tidak disukainya figur lama serta mereka yang sekadar
mencari kekuasaan atau status sosial, tetapi kemampuannya diragukan. Berbagai
analisis itu menyimpulkan pula bahwa betapa besarnya ekspektasi masyarakat
terhadap pemimpin yang akan datang. Inilah yang harus benar-benar dihayati
serta diwaspadai oleh siapa pun pemimpin terpilih nantinya.
Kejutan lainnya adalah
perolehan suara pasangan Alex Noerdin-Nono Sampono yang hanya 4,74 persen,
berada pada urutan kedua dari bawah setelah pasangan Hendardji Soepandji-A Riza
Patria. Padahal, banyak hasil survei sebelumnya menempatkan pasangan ini pada
posisi kejar-kejaran dengan Foke-Nara. Tentu perolehan kecil ini merupakan
pukulan telak bagi Golkar sehingga timbul pertanyaan: bagaimana mesin politik
partai kedua terbesar, sarat pengalaman, serta bertabur kader ini bekerja?
Memang benar kata Tjipta
Lesmana bahwa di samping jualan pasangan ini (baca: tiga tahun bisa) tidak
masuk akal dan murahan, juga mesin politik Golkar tidak bekerja baik. Tidak
terlihat para elitenya turun ke lapangan. Kebanyakan mereka bersikap bossy, seolah membiarkan pasangan yang
diusungnya bekerja keras sendiri. Padahal, betapa penting dan strategisnya
Pilkada DKI. Keadaan ini memperkuat sinyalemen bahwa fragmentasi elite Golkar
memang cukup serius.
Fenomena hasil Pilkada DKI putaran
pertama ini sesungguhnya menjadi potret dari situasi perpolitikan secara
nasional karena DKI adalah cermin dari Indonesia. Sebuah potret yang
menyembulkan isyarat bahwa di 2014 tampaknya figur lama akan sulit dijual.
Rakyat Indonesia sedang mendambakan kehadiran tokoh baru yang mampu membawa
perubahan. Isyarat ini perlu ditangkap oleh para elite parpol serta segera
mencari alternatif calon yang dapat memenuhi harapan rakyat.
Putaran Kedua
Kendati putaran kedua akan
digelar pada bulan September yang akan datang, setiap pasangan yang lolos
putaran pertama telah bergerak dengan cepat. Siang hari setelah dipastikan
lolos, Jokowi segera menemui Hidayat Nur Wahid di poskonya. Pendekatan ini
memang sangat penting mengingat pasangan Hidayat Nur Wahid-Didik J Rachbini
yang hanya didukung satu partai (PKS) telah memperoleh 11,5 persen suara.
Perolehan ini bisa jadi
berasal dari massa utama PKS di DKI. Ini mengingat dalam pilkada sebelumnya,
Adang Daradjatun—yang juga diusung PKS sendirian—telah memperoleh suara yang
cukup besar. Dengan demikian, suara yang 11,5 persen ini kemungkinan besar akan
solid sehingga tambahan suara ini amat penting pada pertarungan putaran kedua
bagi pasangan yang melaju.
Perlu Kerja Keras
Namun, akan muluskah
perjalanan Jokowi-Ahok selanjutnya? Tentu mereka sendiri menyadari bahwa
situasi masih jauh dari aman. Pasangan ini serta semua parpol pendukungnya
masih harus berjuang keras.
Pertama, masih menjadi tanda
tanya besar, apakah PKS yang berbasis Islam ini akan bersedia bergandengan tangan
dengan PDI-P dan Gerindra yang berbasis nasionalisme? Memang, pragmatisme dalam
berpolitik itu besar, tetapi bagaimanapun ideologi tetap akan menjadi
pertimbangan yang menentukan.
Kedua, terdapat 40 persen
yang tidak menggunakan hak pilihnya, suatu angka yang sangat besar dan tentu
akan sangat menentukan. Alasan ketidakhadiran mereka di TPS memang beraneka
ragam. Namun, dapat dipastikan bahwa mayoritas bukan karena alasan politis,
melainkan karena faktor ekonomi, pekerjaan, transportasi, dan tidak sedikit
pula yang kepeduliannya rendah sehingga memilih berlibur bersama keluarga di
rumah atau ke luar kota.
Dengan demikian, mereka
masih sangat mungkin untuk digarap dan disadarkan. Keberadaan mereka merupakan
peluang besar bagi kedua pasangan. Siapa yang mampu mendekati, memengaruhi, dan
meyakinkan mereka dengan cepat dan tepat sasaran—sehingga mereka tergerak untuk
datang ke TPS—niscaya akan memperoleh kemenangan.
Peta situasi di atas
mengisyaratkan bahwa pertarungan pada putaran kedua masih akan berlangsung
ketat dan sengit. Kedua pasangan masih sama-sama memiliki peluang. Namun,
perjalanan setiap pasangan calon masih panjang, terjal, dan memerlukan
perjuangan keras.
Terpenting dalam putaran
kedua nanti: semua pihak yang bertarung harus menjunjung tinggi sportivitas dan
etika berdemokrasi. Hindari politik uang, yakinkan pemilih dengan program
realistis. Pemilih pun harus tambah sadar bahwa kedaulatan menentukan pilihan
sepenuhnya ada di tangan masing-masing, jangan mudah tergoda rayuan finansial.
Pilkada DKI harus berlangsung dengan jujur, adil, lancar, dan aman tanpa
kekerasan sehingga menjadi percontohan pemilu di Tanah Air. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar