Kejutan
Elektabilitas Jokowi
Ismatillah A Nu’ad ; Peneliti Pusat Studi Islam dan Kenegaraan
Universitas Paramadina Jakarta
MEDIA INDONESIA, 12 Juli 2012
MEDIA INDONESIA, 12 Juli 2012
MENGEJUTKAN!
Sungguh mengejutkan melihat hasil hitung cepat (quick count) pemilihan umum kepala daerah (pemilu kada) DKI Jakarta
versi Metro TVIndobarometer (data masuk 90%) hingga pukul 17.00 WIB, yang
menunjukkan pasangan nomor 3 Jokowi-Ahok unggul dengan 43% disusul pasangan
nomor 1 atau incumbent Fauzi `Foke'
Bowo-Nachrowi Ramli dengan 33,6%. Urutan ketiga ditempati pasangan Hidayat Nur
Wahid-Didik (11,5%), urutan keempat pasangan Faisal Basri-Biem (5,1%), urutan
kelima pasangan Alex-Nono (4,6%), dan terakhir pasangan Hendardji-Riza (2,3%).
Hasil
quick count itu tak beda jauh dengan
hasil quick count lainnya. Misalnya
versi Lingkaran Survei Indonesia yang ditayangkan TVOne, Jokowi unggul dengan
37,65%, disusul Foke 33,30% dan Hidayat-Didik 14,23%. Versi Prisma yang
ditayangkan Global TV, Jokowi malah unggul di posisi 53,9%, Foke 29,74%, dan
Hidayat 8,98%. Hitung cepat versi Lembaga Survei Indonesia yang ditayangkan
Indosiar, Jokowi unggul dengan 54,6%, Foke di posisi 28,73%, dan Hidayat 8,46%.
Memang,
hitungan resmi dari KPU masih harus menunggu. Namun biasanya, dari sejumlah
hasil quick count itu, hasilnya tak
akan beda jauh dengan penghitungan resmi KPU. Dengan skema hasil quick count Metro TV-Indobarometer dapat
dipastikan, pemilukada DKI akan berlangsung dua putaran, mengingat tiap
pasangan calon tak ada yang memenuhi 50% lebih.
Yang
lebih mengejutkan lagi, pasangan yang didukung secara resmi oleh Partai Golkar
(Alex-Nono), menurut hasil quick count,
harus legowo hanya di posisi kelima, posisi dua terbawah. Itu sekaligus
melunturkan asumsi bahwa pasangan dari Golkar sebelumnya dinyana-nyana paling
tidak akan ikut di putaran kedua karena performa, popularitas, dan elektabilitas
mengikuti pasangan incumbent. Namun
kenyataan berkata lain, itu menandakan matinya mesin politik Partai Golkar baik
secara struktur di bawah maupun di tingkatan pemilih akar rumput.
Pertanyaannya,
mengapa pasangan incumbent berada di
bawah pasangan Jokowi-Ahok? Pertama, publik sudah bosan dengan janji perubahan
yang tak dapat teraktualisasi secara nyata, padahal mereka mendamba perubahan
yang konkret. Kedua, janji politik pasangan Jokowi-Ahok yang lebih membumi dan
tidak muluk-muluk dan itu mengena dengan moralitas publik, mengingat itu juga
sudah dibuktikan Jokowi selama memimpin Surakarta. Ketiga, peran media yang
berhasil meng-capture sosok
keteladanan Jokowi dan itu benar-benar dilihat publik. Itu juga menandakan
skala kecerdasan pemilih yang bertambah karena publik sekarang melihat
perkembangan tiap kandidat baik di televisi, koran, maupun media lainnya.
Selain
itu, selama memimpin Surakarta Jokowi memang terbukti bisa membenahi kota itu
secara transformatif, mulai memihak kepada rakyat kecil hingga menekan atau
membumihanguskan korupsi. Dengan rekam jejak seperti itu, publik atau rakyat
kecil mana yang tak terkesan oleh performa kepemimpinan Jokowi.
Terlebih
lagi, rakyat Jakarta yang merasa terpinggirkan akibat angkuhnya Ibu Kota
menjadikan sosok Jokowi sebagai satrio piningit bagi mereka.
Peluang ke Depan
Dengan
pemilu kada dilakukan dua putaran, kesempatan pasangan Jokowi-Ahok untuk menang
jauh lebih besar. Paling tidak itu dapat dilihat dari dua hal. Pertama, semakin
percaya dirinya pasangan tersebut bahwa mereka memang diminati publik karena
janji perubahan yang membumi. Hasil quick
count dapat menjadi cermin dan ukuran bahwa pasangan tersebut diminati.
Kedua,
kemungkinan swing voters yang semula
menjadi audiens pasangan independen
atau pasangan Hidayat-Didik yang menghendaki perubahan memindahkan pilihan ke
Jokowi. Dengan demikian, sempurna sudah kemenangan Jokowi nanti karena menurut
hitung-hitungan, pasangan Hidayat-Didik plus calon independen sekitar 20%.
Apa
sebenarnya yang unik dan istimewa dari sosok Jokowi? Kepemimpinan Jokowi selama
menjadi Wali Kota Surakarta memang sangat unik di tengah kepemimpinan nasional
dan di berbagai daerah kini yang sangat gersang dari keteladanan. Kebijakan
Jokowi berdemarkasi secara diametral dengan banyak pemimpin daerah pada umumnya
yang lebih memilih kebijakan `populer', membangun banyak mal, hipermarket, dan
berjibunnya minimarket.
Selama
memimpin Surakarta, ia memang terkesan emoh dengan adanya mal. Ia lebih
mengedepankan pasar tradisional dan melestarikan budaya domestik daripada yang
berbau kapitalisme transnasional.
Dalam
mal, yang akan mendapat keuntungan memang hanya segelintir orang. Beda dengan
pasar tradisional, tiap orang bisa mendapat keuntungan dari barang-barang
dagangan masing-masing.
Kemudian
dalam mal terdapat berbagai macam jajanan yang menyilaukan hasrat seseorang.
Dalam istilah teori budaya (pop culture),
mal mengundang fetisisme seseorang. Fetisisme kira-kira sebentuk kecintaan
berlebih seseorang kepada sebuah benda (stuff),
yang tidak boleh tidak harus didapatkan. Dari budaya fetisisme itulah awal mula dari berbahayanya mal dan sejenisnya.
Mungkin orang kurang menyadari apa keterkaitan antara mal dan budaya korupsi,
atau keterkaitan antara mal dan pelacuran, eksploitasi seksual terhadap remaja
atau kriminalitas?
Itulah
sebenarnya mengapa orang seperti Jokowi mempertahankan budaya dan tradisi
lokal. Jokowi tak hanya melihat itu semata-mata karena persoalan ingin menjaga
budaya dan tradisi lokal, tetapi juga karena risiko sosial yang akan
ditimbulkan. Belum lagi, persoalan pasar-pasar tradisional dan lapak-lapak
ekonomi rakyat di jalanan akan terpinggirkan oleh berjibunnya minimarket.
Memang
harus diakui, belum banyak manusia Indonesia yang mengerti jalan pikir Jokowi,
mengapa dia menolak pembangunan mal dan mempertahankan cagar budaya meski
kurang bernilai secara ekonomi. Dengan sikap seperti itu, dia pernah
berbenturan dengan Gubernur Jawa Tengah.
Namun
kelak, lambat laun manusia Indonesia lebih mengerti mengapa mal sebenarnya
berbahaya secara sosiologis, di tengah masyarakat kita yang masih jauh dari
cita-cita kesejahteraan. Tampaknya, bangsa ini memang harus memiliki pemimpin
yang berkarakter, tegas, dan yang lebih penting memihak kepentingan audiensnya: rakyat!
Orang
seperti Jokowi memang memiliki logika terbalik.
Di saat banyak pemimpin berlomba membuat kebijakan populer, dia malah
sebaliknya dan cenderung membangunkan kemarahan orang-orang yang kurang
sependapat dengannya.
Tantangan
ke depan memang berat. Dengan konstruksi yang plural, masyarakat Jakarta harus
bisa diyakinkan bahwa mereka membutuhkan pemimpin yang sesuai dengan
harapan. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar