Belajar
kepada Korban
Ihsan Ali-Fauzi ; Dosen
pada Paramadina Graduate School
KORAN TEMPO, 11 Juli 2012
KORAN TEMPO, 11 Juli 2012
Saya beruntung diundang Kontras
ikut berbicara di Sekolah Hak Asasi Manusia untuk Mahasiswa (Sehama) beberapa hari lalu. Saya belajar
banyak kepada para korban kekerasan, yang kebetulan menjadi peserta forum itu.
Saya ingin berbagi di sini karena saya percaya ini juga berharga bagi publik.
Tema sesi saya, agama sebagai
sumber daya perdamaian. Ini bukan tema mudah, karena agama lebih sering dirujuk
sebagai sumber kekerasan. Contohnya banyak: dari kekerasan organisasi massa
tertentu berbendera agama di sekitar Jakarta hingga kasus Cikeusik.
Saya menghindar dari bicara soal
teori atau kasus di mana agama bisa menjadi sumber damai. Bahannya bukan tak
ada, karena belakangan makin berkembang studi-studi tentang tema itu. Saya
hanya tak mau bicara abstrak, menjanjikan yang muluk-muluk, ketika hati dan
otak kita terus diterpa berita soal kekerasan agama.
Saya memilih mengajak peserta
menonton film The Imam and the
Pastor. Film dokumenter 39 menit ini memotret usaha Imam Asyafa dan Pastor
James, dua pemimpin agama yang dulunya bermusuhan, untuk berekonsiliasi dan
bersama menyebarkan nilai-nilai perdamaian di satu kota di Nigeria. Digambarkan
juga upaya mereka membangun lembaga antar-iman dan kampanye bersama mereka di
Nigeria, lalu Afrika, kemudian dunia. Film itu diakhiri dengan keduanya saling
berucap, “I love you.”
Suka-duka keduanya mengharukan.
Karena keduanya sama-sama amat taat dan merupakan korban, upaya rekonsiliasi
jadi tak mudah. Butuh waktu lama agar uluran tangan sang Imam diterima sang
Pastor, dan trust terbangun di antara mereka.
Rekonsiliasi mereka semula dibenci kedua komunitas dari mana mereka berasal.
Meski kadang berbeda pandangan, mereka terus saling menghargai dan mencari
titik-temu. “Kami sudah seperti suami-istri. Jika kami pisah, kedua komunitas
bisa kembali saling bunuh,” kata Pastor James.
Dokumenter ini sudah digunakan di
banyak tempat sebagai medium dialog dan upaya bina-damai antar-iman. Tapi saya
tak tahu apakah di sini sudah ada yang memanfaatkannya. Di Sehama, saya hanya
mencobanya.
Untungnya, para peserta antusias
mendiskusikan film itu. Penanggap pertama, peserta Kristen asal Ambon, mengaku
semula tak tahan menyaksikan film itu. Sebagai korban, dia tak suka jika
ingatannya akan konflik lama kembali muncul. Tapi akhirnya dia merasa terilhami
oleh film itu. Katanya, “Seharusnya para pemimpin agama kami berlaku seperti
itu.”
Ini diperkuat tanggapan kedua,
oleh peserta asal Ambon juga, tapi kali ini seorang mahasiswa muslim. Baginya,
tantangan terbesar adalah bagaimana meyakinkan komunitas korban agar pilihan
perdamaian dijadikan satu-satunya pilihan. Ini tak mudah, karena kecurigaan dan
ketegangan di antara komunitas masih kuat.
Tanggapan sebaliknya datang
kemudian, dari seorang penganut Ahmadiyah dan korban kekerasan di Cikeusik.
Dengan nada bergetar, dia mengaku sulit berdamai dengan para “bangsat”
penyiksanya, yang akibatnya--fisik dan non-fisik--masih dan mungkin akan terus dia
rasakan.
Atas beragam tanggapan itu, saya
tak bisa bicara banyak, apalagi menasihati satu kepastian. Menurut saya, siapa
pun tidak akan bisa.
Yang bisa saya katakan: ajakan
damai hanya akan bergema kuat jika para korban yang menyampaikannya. Makin
tinggi “derajat” korban seseorang, makin bergema ajakan damainya. Itulah yang
terjadi di Afrika Selatan: ajakan damai bergema kuat karena tak kurang dari
Nelson Mandela, tokoh anti-apartheid
Kristen yang dipenjara hampir setengah abad, yang memeloporinya.
Tapi, belajar dari dokumenter di
atas, kita juga tak harus menunggu pembesar korban untuk “turun gunung”.
Apalagi pemerintah. Imam Ashafa dan Pastor James mewakili inisiatif dari bawah,
akar rumput. Saya tambahkan, di Ambon, inisiatif sejenis sudah mulai dilakukan
oleh komunitas Kofi Badati, yang jelas bersifat lintas-iman.
Untungnya, saya dibantu seorang
peserta perempuan dari Poso, yang mengaku anak seorang pendeta dan korban
kekerasan. Sambil bersedih, dia menceritakan bahwa konflik kekerasan di Poso
hanya merenggut nyawa kawan-kawannya, yang menyisakan trauma padanya, dan
memisahkannya dari sang ayah. Baginya, film ini sangat inspiring.
Saya juga dibantu seorang peserta
muslim asal Banten, yang secara terbuka meminta maaf, khususnya kepada peserta
dari Ahmadiyah. Saya ikut mendukungnya karena, sebagai bagian dari kelompok
mayoritas, kami jelas tidak berbuat banyak untuk menghalanginya, kalau bukan
ikut mendukungnya.
Saya tak tahu apa yang ada di
benak peserta lain. Tapi saya memperoleh banyak hikmah malam itu. Yang terbesar
adalah bahwa saya bukan apa-apa di depan para korban itu. Ya, mereka: yang
diinjak-injak, dipukuli, dibunuh, hanya karena mereka ingin menjalankan apa
yang mereka yakini sebagai kebenaran.
Mendengar mereka, melihat wajah
mereka, saya teringat kaum minoritas muslim di Eropa, Amerika, Cina,
Filipina--dan Myanmar. Kami, mayoritas muslim di negeri ini, jarang memuji
Presiden Obama dan rakyat Amerika yang mengizinkan sebuah Islamic center berdiri di dekat bekas Gedung Menara
Kembar yang dirobohkan teroris atas nama Islam. Tapi kami sigap bersuara keras
ketika kaum muslim dibantai di Myanmar.
Di Sehama, malam itu saya belajar betapa kami munafik. Kami mau muslim
dihargai, tapi kami tak mau menghargai orang lain. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar