Kebangkitan
China Merah yang Tertunda
Rene L Patiradjawane ; Wartawan Kompas
KOMPAS,
11 Juli 2012
Tiada hari tanpa berita
mengenai China, negara dengan penduduk terbesar di dunia dan kekuatan ekonomi
global kedua setelah Amerika Serikat. Pesan yang disampaikan tentang China pun
beragam. Awal pekan ini, harian ini menurunkan berita ”Produk Impor China
Merajalela di Tanah Air” (Kompas, 9/7).
Selama lima tahun terakhir,
perhatian dunia kepada China terus bertambah dalam mengamati sejumlah
persoalan. Ada beberapa faktor yang menjelaskan mengapa China terus-menerus
berada dalam sorotan. Pertama, sebagai kekuatan ekonomi kedua dunia dan
memiliki cadangan devisa 3 triliun dollar AS, mesin pertumbuhan ekonomi China
menjadi penting bagi dinamika pertumbuhan ekonomi dunia.
China bersama negara Brasil,
Rusia, India, China, dan Afrika Selatan (BRICS) adalah kisah sukses pertumbuhan
ekonomi sekaligus kisah penting abad ke-21 tentang pergeseran kekuatan dan
kekuasaan negara-negara maju. Negara industri maju berada dalam posisi yang
mulai usang, sistem ekonomi yang morat-marit, sistem militer yang menjadi
lamunan usang tentang imperium kekuasaan global, serta sistem keuangan yang
bobrok karena kekacauan fiskal dan moneter dalam perbankan yang tidak kalah
korup dengan apa yang terjadi di negara-negara berkembang.
Negara maju dalam satu
dekade terakhir ini terkejut-kejut melihat bagaimana Tata dari India menyelamatkan Jaguar dan Land Rover, dua pabrikan mobil terkemuka Inggris. Atau, bagaimana
Rusia melakukan transformasi klub sepak bola Inggris. Mundur 20 tahun lalu,
negara berkembang, seperti India, Indonesia, dan Brasil, adalah cerita tentang
bencana ekonomi yang memerlukan bantuan keuangan karena terjangan-terjangan
pasar liberal melalui berbagai macam bentuk komoditas uang.
Faktor kedua, ketika sistem
ekonomi global terancam bangkrut karena krisis ekonomi AS dan krisis zona euro
yang sudah berlangsung hampir lima tahun terakhir ini. Resesi global tahun 2008
akibat krisis kebangkrutan bank investasi Lehman Brothers Holdings Inc secara
sistematis merontokkan kemajuan pertumbuhan ekonomi negara-negara maju yang
menyebabkan pengangguran besar-besaran.
China pun menjadi penting di
tengah resesi global ketika para penguasa di Beijing bersikap aktif menjalankan
stimulus ekonomi dengan mengeluarkan dana lebih kurang 600 miliar dollar AS.
Keputusan China menyebabkan ekonomi dunia tak terjerembap dalam kemiskinan
seketika, dan pertumbuhan ekonomi China sejak tahun 2008 masih tetap di atas
rata-rata 9,8 persen per tahun.
Ketiga, apa pun yang terjadi
dalam pertumbuhan ekonomi China, banyak negara yang akan merasakan dampak
langsung, termasuk Indonesia. Hari Minggu (8/7), Perdana Menteri (PM) Wen
Jiabao memperingatkan, ekonomi China akan mendapat tekanan besar karena
penurunan tajam perindustrian dalam negerinya.
Berbagai pabrik di China
sudah menurunkan jam kerja buruh dari biasanya tiga giliran sehari menjadi
hanya satu giliran jam kerja saja. Ketika melakukan inspeksinya, PM Wen Jiabao
menyinggung tentang kebijakan kredit pajak bagi perusahaan, termasuk perusahaan
yang bisa mendorong kesempatan ekspor ke Asia Tenggara, Asia Tengah, dan Asia
Selatan sebagai alternatif melemahnya daya beli negara-negara maju yang
cenderung menjadi proteksionis.
Faktor ini juga yang
menjelaskan kenapa impor produk China menjadi merajalela di Indonesia. Di
tengah krisis ekonomi, China sudah dua kali menurunkan suku bunga dalam empat
pekan terakhir ini, menunjukkan zona euro yang selama ini jadi tujuan ekspor
produk-produk China mulai memudar. Daya konsumsi Indonesia yang tinggi sebagai
modal pertumbuhan ekonomi adalah tujuan ekspor penting bagi China.
Pertanyaan pentingnya
adalah: apa dampak menurunnya pertumbuhan ekonomi China, khususnya bagi kawasan
Asia? Melambatnya ekonomi China akan menghasilkan China yang tidak disruptif,
berkurangnya friksi geografi (khususnya di Laut China Selatan), makin sedikit
perang dagang, serta tertundanya kekhawatiran dunia tentang kebangkitan China
Merah. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar