Angela
dan Leopard
Al Araf ; Direktur
Program Imparsial, Pengajar FISIP
Universitas
Al Azhar dan Paramadina Jakarta
KOMPAS,
11 Juli 2012
Kanselir Jerman Angela
Merkel berkunjung ke Indonesia saat pemerintah berencana membeli tank Leopard
dari Jerman. Menurut Menteri Pertahanan Poernomo Yusgiantoro, pembelian tank
belum tentu dibahas Presiden SBY dan Merkel.
Semua bergantung pada hasil
laporan penilaian tim teknis Indonesia yang masih berada di Jerman.
Meski menuai kritik dari banyak
kalangan, pemerintah bersikukuh membeli tank Leopard itu. Sebelumnya rencana
membeli Leopard dari Belanda gagal setelah ditolak DPR, masyarakat sipil, dan
parlemen Belanda sendiri yang menyinggung masalah pelanggaran HAM di Indonesia.
Diperkirakan nilai kontrak pembelian dari Jerman ini membesar menjadi 280 juta
dollar AS.
Tak bisa dimungkiri, membangun
kekuatan pertahanan Indonesia dengan memodernisasi alat utama sistem
persenjataan (alutsista) merupakan kebutuhan. Jatuhnya pesawat Fokker 27 beberapa
waktu lalu dan beberapa insiden sebelumnya menunjukkan kondisi alutsista yang
dimiliki TNI memprihatinkan. Meski demikian, pengadaan armada tempur bagi
penguatan pertahanan Indonesia tak boleh dilakukan sembarangan.
Membeli alutsista butuh
anggaran yang besar. Kehati-hatian dan kecermatan penting. Pengadaan alutsista
sudah seharusnya diletakkan sebagai kelanjutan dari kebijakan, strategi,
doktrin pertahanan, dan kapasitas dukungan anggaran dengan tetap
mempertimbangkan kondisi geografis Indonesia. Transparansi dan akuntabilitas juga
indikator perlu sebab terdapat kasus pengadaan alutsista yang diduga
bermasalah, seperti pembelian Sukhoi dari Rusia.
Bukan Prioritas
Pembelian tank Leopard sebenarnya
bukan prioritas pemerintah dalam membangun kekuatan pertahanannya. Dalam buku
postur pertahanan yang diterbitkan Kementerian Pertahanan pada 2007, pembelian
tank tempur utama—dikenal sebagai MBT— tak termasuk dalam kebijakan pembangunan
postur pertahanan. Padahal, kebijakan dan buku postur pertahanan negara yang
dibuat tersebut adalah bentuk perencanaan hingga 2029.
Dengan kata lain, kebijakan
membeli Leopard tak konsisten dan tak sejalan dengan rencana pembangunan postur
pertahanan negara hingga 2029. Kalaupun ada perubahan ancaman yang mendasar,
tentu saja pemerintah dapat merevisi kebijakan pembangunan postur pertahanan
itu. Apakah ada perubahan lingkungan strategis dan ancaman nyata yang memaksa
Indonesia membeli tank Leopard?
Sebagai negara kepulauan dan
tropis, ruang gerak MBT Leopard dengan berat lebih dari 60 ton tentu akan
menghadapi kendala operasional dan mobilisasi dalam penggunaannya, meski bukan
tidak mungkin MBT bisa digunakan di Indonesia. Hanya saja, seberapa efektifkah
strategi MBT itu bisa digunakan dalam realitas geografis negara seperti
Indonesia? Apakah tidak ada strategi lain yang lebih efektif dan efisien dalam
membangun kekuatan darat, khususnya dalam menjaga perbatasan?
Indonesia berbeda dengan
negara-negara kontinental yang memiliki kontur dan sifat tanah lebih solid
sehingga dimungkinkan untuk mengandalkan MBT dalam membangun kekuatan
pertahanan daratnya. Dalam beberapa peperangan yang terjadi, kekuatan tank
mudah dikalahkan dengan serangkaian serangan tempur dari udara ke darat.
Kondisi infrastruktur
penunjang MBT Leopard juga belum memadai di Indonesia. Jika tank ini akan
digunakan menjaga perbatasan darat di Kalimantan atau Papua tentu saja
dibutuhkan infrastruktur jalan dan sarana angkutan laut yang memadai. Masalahnya,
dua hal itu sejauh ini ti- dak juga dibangun layak. Kondisi jalan di perbatasan
Kalimantan, misalnya, tidak dibangun dengan mempertimbangkan kebutuhan tempur.
Tentu saja minimnya infrastruktur penunjang hanya akan mempersulit tank itu
bermanuver secara efektif. Artinya, harapan menimbulkan deterrence effect sulit dicapai.
Jika hanya ingin memperkuat
pengawalan perbatasan, bukankah Indonesia lebih butuh pesa- wat tanpa awak
untuk membawa guided missile atau
dengan memperkuat sistem penguatan rudal dan radar dengan daya jangkau yang
memadai dan terintegrasi? Ini sejalan dengan pembangunan postur pertahanan
negara sebagaimana ditegaskan dalam buku postur pertahanan negara yang, dalam
perencanaan 2010-2029, salah satunya akan memprioritaskan pembangunan dan
pemenuhan sistem rudal strategis yang terintegrasi dengan sistem satelit dan
nanoteknologi.
Kekhawatiran dan ancaman
membeli tank Leopard bagi masyarakat sipil justru terlihat ketika rapat kerja
dengan Komisi I DPR akhir tahun
lalu. Pihak Mabes TNI secara gamblang menyatakan 100 tank itu akan ditempatkan
di Jakarta dan Surabaya.
Dengan pernyataan yang
bertolak belakang ini tentu saja wajar bila muncul pertanyaan, untuk menghadapi
siapa tank ini? Seperti di Mesir atau Suriahkah, tank untuk menghadapi daya
kritis warga? Apalagi pernah ada insiden penggunaan tank untuk tujuan politik
di Indonesia: menjelang Presiden Abdurrahman Wahid turun dari kekuasaan, tersua
tank menghadap istana negara yang diduga sebagai daya paksa agar Gus Dur mau
turun dari jabatannya.
Lebih dari itu, penting
digaris- bawahi keinginan menaruh tank Leopard di perbatasan. Salah satunya di
Papua. Dikhawatirkan akan jadi alat represif penekan rakyat Papua, terutama
Papua saat ini sedang bergolak! Bahaya sekali bila tank Leopard ini digunakan
untuk menghadapi rakyat Papua.
Penguatan matra darat memang
tetap harus dilakukan. Namun, pemerintah perlu mencermati kemajuan teknologi
pertahanan yang lebih efektif dan efisien, realitas kondisi geografis,
infrastruktur, kebijakan, strategi dan doktrin pertahanan Indonesia. Akan lebih
baik jika pemerintah menambah kekuatan kavaleri TNI dengan tank jenis light
atau medium, serta membeli helikopter yang memiliki kapasitas tempur atau
angkut.
Itu sejalan dengan keinginan
pengembangan industri pertahanan di dalam negeri, yang juga akan mengembangkan
pembuat- an tank jenis ringan, bekerja sama dengan beberapa negara lain. Lagi pula, kebijakan SBY menekankan
pentingnya mengembangkan dan membangun industri pertahanan dalam negeri.
Kalaupun harus membeli
alutsista dari luar, transfer teknologi menjadi sebuah keharusan dan
pertanyaannya: mungkinkah Pemerintah Jerman sukarela melakukan transfer
teknologi dalam pembelian Leopard? Kalaupun ada transfer teknologi, cukup
maukah kita menerima teknologi MBT Leopard yang didesain beberapa puluh tahun
lalu?
Semoga Kanselir Jerman
Angela Merkel menaruh perhatian pada semua ini. Adapun Presiden SBY tak perlu
terburu-buru beli Leopard mengingat urgensinya yang banyak dipertanyakan publik
dan parlemen. Segala hasrat dan kepentingan segelintir elite harus dihindari
dalam pengadaan alutsista. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar