Jakarta
dan Idaman Warga
Toeti
Prahas Adhitama ; Anggota
Dewan Redaksi Media Group
MEDIA INDONESIA, 06 Juli 2012
SEANDAINYA
para cagub ditanya mengapa mereka secara sukarela mau mencalonkan diri menjadi
DKI-1, apa jawab mereka? Mungkin antara lain karena tantangannya menggoda
sekalipun permasalahannya sungguh muskil. Jakarta kota paling gaduh, rusuh, dan
jorok bila dibandingkan dengan kota-kota lain di Indonesia. Itu secara fisik.
Secara konten, dia menjadi sumber aneka pelanggaran dan muslihat hukum yang
bersifat nasional. Dia juga pusat segala kekuasaan sekaligus sumber mata
pencaharian bagi yang paling serakah sampai yang paling pasrah.
Bila
kita bicara tentang sosok penduduk Jakarta, RI-1 sampai mereka yang serbanomor
satu dalam segala hal bermukim di sana. Tentang massa Jakarta, mereka terdiri
dari yang paling mencintai sampai yang paling membencinya. Itu menjelaskan
Jakarta memang memiliki daya pikat luar biasa bagi semua yang berkepentingan.
Napoleon
Bonaparte pernah berkata, “Sepuluh orang yang berbicara terdengar lebih gemuruh
daripada sepuluh ribu yang membisu.“ Dalam rangka pemilu kada Jakarta yang akan
berlangsung tidak lama lagi, ungkapan Bonaparte itu mengibaratkan apa jadinya
himpunan suara yang menentukan pilihan: mereka bukan murni pilihan massa.
Mereka ialah gemuruh suara kelompok orang yang tahu dan mampu cara menentukan
pilihan. Bahwa itu akhirnya diakui sebagai suara warga Jakarta, begitulah
adatnya. Pemilihan umum pada akhirnya dimenangi yang pandai memengaruhi yang
tahu dan tidak tahu maupun yang mampu dan tidak mampu.
Yang Diangankan
Jargon-jargon
kampanye semua cagub telah tersebar, bernada hampir sama. Semua menaruh janji
mengatasi masalah-masalah kemiskinan, pendidikan, kebanjiran, kemacetan,
keamanan, dan banyak lagi. Masing-masing mengangankan Jakarta sesuai dengan
idaman warga: menyejahterakan dan menggairahkan. Mereka umumnya ingin Jakarta
mampu memberikan sandang-papan-pangan yang memadai demi kelangsungan hidup
warga yang nyaman. Soal tanggung jawab, itu untuk wacana. Semua gubernur yang
pernah memerintah DKI telah memeras gagasan untuk mewujudkan kota idaman.
Enam
tahun yang lalu, Ikatan Arsitek Indonesia (IAI) mengadakan seminar Visi Jakarta
2030, yang diselenggarakan dalam rangka ulang tahun ke-47 IAI. Saat itu
dikatakan, Jakarta tergolong salah satu dari 11 megacity; di samping Tokyo, Mexico City, Seoul, New York, San
Paulo, Mumbai, Delhi, Shanghai, Los Angeles, dan Osaka.
Perkembangan peradaban
di kota-kota tersebut membuat permasalahan yang dihadapi masing-masing tentu
berbeda-beda. Masalah Jakarta, misalnya, beda dengan masalah New York yang GNP
per kapitanya salah satu yang tertinggi di dunia.
Namun,
ada kesamaan permasalahan di antara kota-kota tersebut dalam hal-hal tertentu:
antara lain aglomerasi antara kota induk dan kota-kota satelit; `urban sprawl'
atau pelebaran daerah permukiman yang tidak terkendali. Akibatnya daya dukung
lingkungan perkotaan seperti masalah air bersih dan sampah menurun. Itulah
antara lain yang mengakibatkan Jakarta sulit mencitrakan diri nya sebagai
daerah bersih dan asri yang memungkinkannya menjadi tempat tinggal nyaman bagi
penduduk yang tinggal tetap, yang saat ini sudah melebihi 10 juta jiwa; masih
ditambah penduduk musiman yang datang pada waktu-waktu tertentu sesuai kebutuhan,
misalnya untuk memenuhi panggilan pekerjaan; dan penduduk ulang-alik dari
kota-kota satelit Bodetabek.
Jakarta Compang-camping
Yang
kasat mata tentang Kota Jakarta ialah ketimpangan yang besar antara yang kaya
dan yang miskin yang tercermin pada pemandangan compang-camping yang tergelar di mana-mana. Heterogenitas penduduk,
terutama dilihat dari tingkat sosial ekonomi, menjadi tantangan yang tak kenal
surut bagi para gubernur dan jajaran mereka.
Bila
diperhatikan, di balik gedung-gedung pencakar langit yang jendela-jendela
kacanya berkilatan memantulkan sinar matahari di siang hari dan menembuskan
sinar-sinar lampu di malam hari, menempel tempat-tempat kumuh untuk hunian
warga Jakarta yang setiap hari harus berjuang hanya demi kelangsungan hidup:
gembel dan pengemis, pemulung, pedagang asongan dan penganggur. Tempat-tempat
kumuh menjadi daerah permukiman yang keamanannya rawan. Banyak penduduknya
memilih jalan pintas untuk mendapatkan penghasilan karena tekanan hidup.
Menurut BPS Provinsi DKI Jakarta, saat ini jumlah penduduk miskin di DKI
Jakarta mencapai lebih dari 363 ribu orang atau mendekati 4%. Sementara itu,
urbanisasi yang tidak kenal henti menambah parahnya situasi.
Bila
kita berdiri di salah satu lantai gedung bertingkat tinggi dan memandang ke
bawah, kecompang-campingan Jakarta tampak tergelar di mana-mana. Di belakang
salah satu gedung di Kompleks Media Group, misalnya, bila kita berdiri di
tingkat tujuh dan melihat ke bawah, tampak deretan gedung rapi dan mewah yang
dikelilingi hamparan permukiman kumuh di kiri-kanan dan belakangnya, beratapkan
seng atau papan bekas iklan yang gambarnya menempel di sana.
Dapat
dibayangkan penduduk yang berjejalan tinggal di sana, yang anak-anak kecilnya
berlarian di dalam dan di seputar perkampungan mereka. Dengan latar belakang
penghidupan semacam itu, bagaimana kita mengharapkan mereka tumbuh menjadi
orang-orang dewasa berjiwa sehat dan bertanggung jawab, sedangkan warga Jakarta
umumnya mengidamkan ketertiban dan keamanan?
Itu
salah satu tantangan bagi para calon gubernur. Seandainya mereka berhasil
membereskan daerah kumuh, yang luasnya--menurut hasil penelitian pada
pemerintahan Gubernur Wiyogo--pernah mencapai 40% dari seluruh pemukiman, itu
pasti cerminan kesuksesan besar meskipun tentu banyak masalah gawat lain
menunggu penanganan. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar