Raskin
versus Pangan Lokal
Elfindri
; Guru Besar Ekonomi SDM Universitas
Andalas
MEDIA INDONESIA, 06 Juli 2012
ALMARHUM
Profesor Sajogyo telah berhasil mengukur dan menghasilkan angka kemiskinan.
Sejak 1976, data kemiskinan telah dihasilkan BPS, merujuk konsep garis
kemiskinan yang dia usulkan. Itu memang bermanfaat untuk memantau besaran angka
kemiskinan beserta karakteristiknya.
Namun
untuk kepentingan penetapan target group program perlindungan sosial, data
kemiskinan dikumpulkan lagi oleh BPS pada 2011 melalui pendataan program
perlindungan sosial (PPPS). Data tersebut tidak lagi menggunakan ukuran garis
kemiskinan, tetapi mengelompokkan siapa yang berada di bawah kelompok
penghasilan 40% terendah. Menurut rencana, mereka ini yang akan menerima salah
satu program perlindungan sosial, beras untuk rakyat miskin (raskin).
Sekarang
terdapat delapan program perlindungan sosial yang diuji coba dan diperbaiki
secara terus-menerus, salah satunya program raskin. Diperkirakan, sebanyak 17,5
juta rumah tangga miskin dan hampir miskin akan menerima beras sebanyak 14 kg
per bulan. Diharapkan, keperluan karbohidrat keluarga miskin dan hampir miskin
akan terpenuhi. Itu merupakan program cekal yang diulangi pemerintah sebagai
upaya dalam menghadapi kenaikan indeks harga konsumen.
Penyediaan
raskin dikelola Badan Urusan Logistik (Bulog). Kadang kala, sisa stok beras di
gudang atau sengaja diimpor dari berbagai negara asal disalurkan untuk memenuhi
permintaan akan raskin.
Banyak
yang menyangsikan dilanjutkannya program tersebut. Selain khawatir akan
ketidaktepatan capaian program, biaya yang dimunculkan lebih banyak untuk
pengadaan karena memunculkan mata rantai perdagangan impor beras yang menjadi
dinamis. Demikian juga distribusi beras, mulai pengangkutan oleh kapal, bongkar
muat di pelabuhan, sampai pen gangkutan beras ke gudang Bulog di daerah-daerah.
Kemudian raskin dibagikan ketika seluruh persyaratan telah terpenuhi oleh
sasaran program. Program raskin tentunya banyak menghasilkan `bisnis'
ikutannya. Namun tidak kalah penting pula terjadi penyimpangan.
Persoalan
yang ingin kita bahas ialah mana yang lebih besar dampaknya bilamana
dibandingkan, antara tetap menyediakan raskin dan menyubsidi keluarga miskin
memperoleh pangan lokal yang nilainya setara dengan raskin?
Hasil banding itu sebenarnya memperlihatkan kita sebenarnya kehilangan momentum menggunakan konsep kemiskinan pangan ketimbang menggunakan konsep raskin. Selain itu, efek ikutan program subsidi pangan lokal dengan sendirinya akan menciptakan produksi dan marketing sehingga uang beredar di pasar-pasar desa.
Hasil banding itu sebenarnya memperlihatkan kita sebenarnya kehilangan momentum menggunakan konsep kemiskinan pangan ketimbang menggunakan konsep raskin. Selain itu, efek ikutan program subsidi pangan lokal dengan sendirinya akan menciptakan produksi dan marketing sehingga uang beredar di pasar-pasar desa.
Permintaan Pangan Lokal
Pertanyaannya
ialah apakah kompensasi untuk keluarga miskin masih diperlukan? Studi terdahulu
penulis menemukan keperluan pangan sangat bervariasi sesuai dengan jenis masyarakat.
Masyarakat nelayan dan buruh miskin perkotaan sangat memerlukan raskin,
sedangkan petani sering ditemukan menjual raskin untuk mendapatkan uang tunai
dan menggantikannya dengan beras yang lebih baik mutunya.
Namun
juga ditegaskan bahwa untuk kelompok yang kemiskinannya berisiko tinggi,
pemerintah diharapkan masih menyediakan program kompensasi terhadap keluarga
miskin. Program raskin sebaiknya diganti dengan penyediaan pangan lokal yang
nilai nya sama.
Ada
beberapa alasan kenapa pangan lokal lebih efektif jika kompensasi ingin
diberikan. Pertama ialah daerah kita memiliki kultur dan kebiasaan konsumsi
karbohidrat yang berbeda satu dengan yang lain. Beras memang dikonsumsi
mayoritas masyarakat. Namun jika kebutuhan karbohidrat masyarakat dengan pangan
yang lazim mereka konsumsi, misalnya jagung, ubi, sagu, dan talas termasuk
beras, direspons, penyediaan dana untuk pembelian pangan lokal menjadi tepat
dibuat.
Kedua,
pangan lokal akan menyebabkan terjaminnya captive
demand di perdesaan. Melalui program penyediaan pangan lokal untuk
masyarakat miskin, dengan sendirinya ada kepastian permintaan di setiap daerah.
Kepastian permintaan akan membuat masyarakat bergairah untuk menanam pangan
lokal. Ini dapat mendorong aktivitas pertanian `onfarm activities' umbi-umbian, jagung, termasuk budi daya sagu.
Bisa jadi pembiasaan untuk mengembangkan konsep pangan lokal membuat kita dapat
terbiasa melakukan penyesuaian ketika terjadi tekanan eksternal terhadap harga
beras.
Ketiga,
akan lebih mudah dari segi logistik karena tidak membutuhkan tempat penyim
panan pangan, termasuk tidak memerlukan pengangkutan yang berbelit-belit
mengingat belit mengingat pangan akan terse dia secara lokal. Itu juga akan
meng gairahkan pasar pasar lokal. Pe nyediaan pangan lokal justru akan
mengembangkan kekuatan nilai budaya pangan yang sudah berakar selama ini. Kombinasi yang di susun dapat memenuhi keperluan karbohidrat masyarakat.
Desentralisasi
Pemikiran
raskin ditukar dengan pangan lokal akhirnya mempermudah pekerjaan pemerintah sekaligus
meningkatkan aktivitas ekonomi masyarakat perdesaan. Jika selama ini alokasi
dana raskin ada, kemudian pengadaannya dilakukan melalui mekanisme lewat Bulog,
dana yang sama cukup diserahkan kepada pemerintah daerah. Tentunya daerah perlu
pengawasan ketat agar program kompensasi terlaksana dengan menyesuaikan
keperluan daerah.
Pemerintah
daerah kemudian dapat menggunakan dana pengganti raskin sebesar yang
ditetapkan, tetapi dalam implementasinya dapat ditukarkan dengan sejumlah jenis
pangan yang diperlukan masyarakat miskin. Ketika hal ini dijadikan sebagai
program kompensasi, kita akan dapat menyaksikan bagaimana bergairahnya
subsektor tanaman pangan untuk mengembangkan produk. Masyarakat miskin akan
secara pasti membeli keperluan pangan mereka sepanjang program kompensasi tetap
dilaksanakan.
Pemerintah
daerah melalui dinas pertanian kemudian akan mengembangkan inisiatif agar
produksi pangan lokal semakin lama semakin diperbaiki. Koperasi-koperasi primer
mungkin akan bergerak membiayai anggota petani yang akan mengembangkan usaha
pangan lokal.
Dinas
perindustrian juga didorong untuk melakukan sosialisasi bagaimana pangan lokal
diolah dengan berbagai tujuan dan cita rasa. Dengan arti kata, program
kompensasi pangan lokal akan lebih menggairahkan ekonomi perdesaan ketimbang
raskin yang sering diberitakan banyak bermasalah. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar