Tindakan
Politik Blunder Partai Demokrat
Abdullah Hanif ; Pegiat pada Duta Institute Jogjakarta
SUARA KARYA, 11 Juli 2012
SUARA KARYA, 11 Juli 2012
Gonjang-ganjing di tubuh Partai Demokrat tidak
kunjung menemui titik akhir. Kian hari prahara tersebut semakin meruncing.
Hingga akhirnya acapkali icon utama partai berlambang mercy ini sekaligus
Presiden Republik Indonesia Soesilo Bambang Yudhoyono (SBY), turun tangan.
Bahkan kini muncul desas-desus miring terkait pemakzulan Anas Urbaningrum dari
ketua umum Partai Demokrat (PD).
Kondisi ini bemuara pada sebuah kasus, korupsi.
Kader-kader PD antre satu persatu masuk dalam daftar bidikan Komisi
Pemberantasan Korupsi (KPK). Prahara berawal tatkala Nazaruddin dicekal Komisi
Pemberantasan Korupsi (KPK) lantaran kasus korupsi pada proyek pembangunan
wisma atlet, Palembang. Sempat melarikan diri ke luar negeri, Nazaruddin pulang
bak bola liar bagi koleganya di PD.
Nyanyian Nazaruddin menyeret nama-nama Angelina
Sondakh, Mirwan Amir, Andi Malarangeng hingga sang Ketua Anas Urbaningrum. Hal
ini membuat PD seolah kebakaran jenggot. Pasalnya, sebelumnya selalu dikatakan
bahwa para pengurus partai di daerah semua solid di belakang sang Ketua Umum
DPP Partai Demokrat Anas Urbaningrum.
Namun, kini mulai ada pengurus di daerah yang
mulai menyuarakan agar Anas mundur atau non-aktif, antara lain berasal dari
Sumatera Utara, Jawa Tengah, Papua, dan Kalimantan Tengah. Bahkan ada yang
secara terang-terangan mengklaim bahwa Anas telah melakukan suap pada kongres
PD tahun 2010 untuk pemenangannya. Sungguh ironis dan memalukan.
Eskalasi konflik politik di tubuh PD berdampak
pada menurunnya elektabilitas PD di mata rakyat. Hasil dua lembaga survei yaitu
Sugeng Sarjadi Syndicate (SSS) dan IndoBarometer menyebutkan bahwa
kepercayaan rakyat pada PD menurun drastis. Partai Demokrat hanya mendapat
suara 4 persen dan berada di urutan keempat setelah Golkar, PDIP, dan Gerindra
lalu PKS.
Elektabilitas PD yang kian menurun dalam
beberapa survei belakangan ternyata membuat resah para pendiri Demokrat. Mereka
terpaksa turun gunung dan membuat pertemuan akbar para pendiri dan pengurus PD.
SBY juga mengumpulkan 33 Ketua DPD PD seluruh Indonesia di Puri Cikeas. SBY
berusaha menyelamatkan Partai Demokrat yang menghadapi "tsunami"
politik.
Anehnya kedua pertemuan sakral ini tidak
mengundang ketua umum Anas Urbaningrum. Muncul opini publik bahwa ini memang
gaya politik SBY yang kurang lugas. Artinya SBY meminta Anas untuk sadar diri
dan mundur dari pimpinan PD tanpa harus berstatement. Pasalnya, dalam pertemuan
tersebut SBY secara tegas mengatakan, kader yang tersangkut kasus korupsi untuk
mengundurkan diri.
Opini publik ini juga didukung statemen Ruhut
Sitompul yang menyatakan, "Sebaiknya
ia (Anas) mundur sebentar demi kebaikan partai. Kalau mau tenggelam, silahkan
tenggelam sendiri, jangan kapal (partai) ikut ditenggelamkan,"
PD dan SBY merupakan sosok yang tidak dapat
dipisahkan. Bahkan ADRT partai pun seolah kalah dengan sosok SBY. Sayang
keduanya sering melakukan blunder. Sehingga mengakibatkan citra PD kian suram
di mata rakyat Indonesia. Bahkan naasnya, tidak jarang malah menjadi boomerang bagi PD.
Setidaknya, ada tiga kasus blunder yang
dilakukan PD. Pertama, iklan tag line
anti korupsi. "Katakan tidak pada korupsi." Slogan ini kiranya masih
terngiang-ngiang di telinga masyarakat Indonesia. Ini adalah iklan PD saat
kampanye pada pemilu 2009. Berkat iklan ini PD menuai simpati dari pelbagai
pihak. Ekses iklan ini mampu mengalahkan partai-partai terdahulu seperti
Golkar, PKB, PKS dan lainnya. Hasilnya pun nyata, PD kembali meraup suara
terbanyak dan SBY melenggang untuk kali kedua menjadi presiden RI.
Dalam iklan tersebut nampak Angelina Sondakh,
Anas Urbaningrum, serta Andi Malarangeng. Nahasnya, kini nama-nama tersebut
malah menjadi tersangka kasus korupsi. Iklan ini bak bumerang bagi PD.
Berkoar-koar anti korupsi malah ramai-ramai melakukan korupsi. Imbasnya
masyarakat tidak percaya lagi dengan kebijakan politik PD.
Kedua, SBY sentris. Seperti yang telah
dikatakan di atas bahwa PD memiliki ketergantungan akut terhadap sosok SBY. SBY
begitu didewakan oleh para kader Demokrat. Bahkan pertemuan petinggi Demokrat
tanpa mengundang Anas yang diprakarsai SBY dianggap biasa. Padahal jelas hal
ini menciderai etika keorganisasian.
Ketergantungan pada SBY ini justru kiranya
kurang baik dalam berpolitik. Padahal partai adalah usaha kolegial untuk
mewujudkan cita-cita luhur, bukan usaha personal. Persoalan lain adalah Jika
citra SBY buruk di mata publik, hancur pulalah citra Demokrat. Pun, sistem
politik semacam ini tidak memberikan pendidikan politik yang baik bagi publik.
Ketiga, sering mengkambinghitamkan media. Pada
pembukaan silaturahmi SBY mengaku, Demokrat bukanlah partai terkorup. Data
survei menyebutkan bahwa di atas Demokrat masih ada empat partai yang lebih
korup. SBY menilai tidak fair dan menuding media sebagai penyebab utama.
Tidak sepantasnya SBY mengeluarkan statemen
sepertimitu. Dalam bahasa politik menyalahkan partai lain bukan cara yang
terbaik menyelamatkan citra partai. Mengakui kesalahan dan melakukan
revitalisasi partai adalah jurus jitu untuk menarik simpati massa. Menabuh
genderang perang dengan media justru akan semakin menenggelamkan pamor
Demokrat. Di sisi lain, statement tersebut
memicu polemik di kalangan sekretaris gabungan (Setgab). Karena pastinya salah
satu dari keempat partai terkorup tak lain adalah anggota setgab.
Jika PD masih ingin
stabil dan menjadi partai diperhitungkan dikancah perpolitikan nasional, tidak
ada cara lain kecuali melakukan revitalisasi organisasi. Kader-kader bermasalah
harus segera dimakzulkan dari PD. Pun konsolidasi partai harus selalu
dilakukan. ●
setuju banget !! tetap semangat untuk menyuarakan !!
BalasHapus