Mafia
Berjubah Demokrasi
Reza
Syawawi ; Peneliti
Hukum dan Kebijakan Transparency International Indonesia
SUMBER
: KORAN
TEMPO, 26 Mei 2012
Bandingkan dengan artikel Reza Syawawi
di KOMPAS, 23 Mei 2012 :
Demokrasi seperti berwajah ganda. Pada satu sisi,
demokrasi adalah instrumen yang dipercaya untuk mengagregasi kepentingan
publik. Namun, pada sisi lain, ia justru menggerogotinya. Ini sulit dimungkiri
manakala demokrasi dipilih sebagai jalan untuk memperbaiki kesemrawutan bangsa,
namun ternyata melahirkan mafia dengan berlindung di balik "jubah"
demokrasi.
Dewasa ini demokrasi hanya diidentikkan
dengan peran partai politik dalam penyelenggaraan pemilihan umum (pemilu). Pada
sisi publik, memberikan suara pada saat pemilu adalah tanggung jawab final dan
untuk selanjutnya diserahkan sepenuhnya kepada wakil yang dipilihnya.
Pemilu pun seakan bermetamorfosis menjadi
seremonial yang liberal. Betapa tidak, aktor-aktor politik cenderung
memanfaatkan pragmatisme publik untuk meraih dukungan suara. Politik uang
dengan segala bentuknya menjadi transaksi terbuka karena dilakukan nyaris
secara terang-terangan. Pemilu, yang seharusnya menjadi tempat kontestasi
gagasan dan program-program pro-publik, justru beralih menjadi ajang perlombaan
kekayaan. Partai politik pun menjadi aktor utama dalam "kontestasi"
ini. Partai cenderung memunculkan ruang transaksi tersebut pada saat
penjaringan calon di kalangan internal partai.
Fenomena ini pada akhirnya berimplikasi pada
pembajakan fungsi-fungsi negara karena ada upaya mengembalikan ongkos politik
yang telah dikeluarkan pada saat pemilu. Maka, tidak mengherankan jika di
kemudian hari bermunculan para aktor politik yang menyandang "gelar"
tersangka hingga terpidana kasus korupsi.
Mafia Demokrasi
Kualitas demokrasi yang begitu buruk ini
sebetulnya mencerminkan situasi demokrasi di Indonesia secara umum. Maka,
benarlah pandangan yang dikemukakan oleh Brian C. Smith (1998) yang
mengungkapkan bahwa pemilu di tingkat daerah yang begitu buruk akan berbanding
lurus dengan kualitas pemilu nasional.
Jamak diketahui, perilaku elite di tingkat
lokal tak kalah "beringas" dari elite politik di tingkat nasional.
Setali tiga uang dengan itu, manakala tangan hukum bekerja, ramai-ramailah para
elite lokal dan nasional itu dijebloskan ke penjara.
Pemilukada langsung sebagai instrumen
penguatan demokrasi di tingkat lokal berubah menjadi alat legitimasi semu bagi
sebagian kepala daerah. Kuatnya peranan pemodal dalam menyokong sumber daya,
termasuk dana bagi calon tertentu, telah dimanfaatkan untuk "membeli"
suara. Bahkan publik pun ikut "menyukseskan" prosesi ini dengan
bersikap pragmatis.
Keterpilihan kepala daerah, yang awalnya
diharapkan memberikan napas baru bagi daerah, justru menjadi ancaman bagi
daerah. Banyak kepala daerah yang pada saat berkuasa berusaha membangun
kekuasaan di lingkaran keluarga dan kroninya.
Muncullah dinasti-dinasti politik di daerah.
Tujuannya tidak lain adalah memperkuat kedudukan secara politik untuk menguasai
sumber daya ekonomi daerah. Mereka berusaha menciptakan lingkaran kekuasaan
untuk mengamankan sumber daya ekonomi tersebut untuk kepentingan kelompoknya.
Gambetta (2000; 164), sebagaimana dikutip oleh Jeffrey A. Winters (Oligarki,
2011), bahkan menyamakan perilaku ini layaknya seorang mafia, memonopoli
sebanyak-banyaknya sumber daya di suatu daerah.
Di tingkat nasional, hal semacam ini seolah
direplikasi, sumber daya ekonomi nasional (APBN) disiasati untuk kepentingan
kelompok-kelompok berkuasa. Mafia juga bekerja pada level ini, proyek-proyek
infrastruktur pemerintah dibajak oleh elite berkuasa untuk membiayai kegiatan
politiknya. Muncullah kasus Wisma Atlet, Hambalang, hingga kasus korupsi yang
diduga melibatkan beberapa perguruan tinggi. Merekalah para penjahat dan mafia
yang menggerus nilai-nilai demokrasi. Bersikap seolah-olah seperti wakil
rakyat, namun perilakunya lebih serupa dengan mafia.
Deliberatif Demokrasi
Publik seharusnya menyadari bahwa fenomena
ini juga disebabkan oleh perilaku pragmatis yang selama ini memang dipelihara.
Tidak hanya oleh partai politik, tetapi juga oleh publik. Publik seharusnya
menjadi bagian dari upaya perbaikan demokrasi. Perilaku politik pragmatis harus
dihentikan karena terbukti berdampak negatif bagi publik sendiri. Untuk itu,
perlu ada gagasan baru untuk membangun demokrasi yang lebih sehat. Jurgen
Habermas mencoba menawarkan gagasan yang kemudian dipahami sebagai demokrasi
deliberatif (deliberative democracy).
Deliberatif dalam bahasa Latin disebut deliberatio,
yang berarti "konsultasi", "menimbang-nimbang", atau dalam
bahasa politik diterjemahkan sebagai "musyawarah". Secara sederhana,
demokrasi deliberatif menghendaki peningkatan intensitas partisipasi publik
dalam pembentukan kebijakan. Tujuannya agar kebijakan yang dihasilkan
setidaknya akan mendekati harapan semua pihak.
Pemahaman tentang demokrasi perlu diluruskan
melalui diskursus ini. Demokrasi, yang oleh publik hanya dipahami dalam bentuk
penyelenggaraan pemilu, harus direkonstruksi ulang. Penyerahan mandat melalui
pemberian suara pada saat pemilu bukan berarti memberikan keleluasaan yang tak
terbatas bagi para pejabat publik untuk menentukan sendiri kebijakannya. Maka,
publik seharusnya mengambil peran yang lebih besar karena berkaitan langsung
dengan hajat hidupnya sendiri.
Absennya publik dalam proses pengambilan kebijakan
justru memperbesar peluang bagi para mafia untuk melakukan aktivitasnya. Di
samping itu, publik juga perlu memberi punishment bagi partai politik
yang memunculkan mafia-mafia demokrasi. Tidak memilih partai yang korup adalah
langkah awal bagi publik untuk melakukan perlawanan secara politik. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar