Menafsir
Lady Gaga
Jannus
TH Siahaan ; Pengamat Sosial Keagamaan,
Tinggal
di Pinggiran Bogor, Jawa Barat
SUMBER
: KORAN
TEMPO, 26 Mei 2012
Entah sudah berapa kali, paling kurang sejak
era reformasi bergulir, masyarakat kita terfragmentasi hanya gara-gara
perbedaan tafsir. Fragmentasi itu terjadi di banyak persoalan, dan dalam
hal-hal tertentu berujung pada ketegangan. Ketegangan yang tidak terkelola
dengan baik, karena ketiadaan pranata sosial yang mampu menjadi payung untuk
semua, kerap pula bermuara pada anarkisme dan kekerasan. Terlebih jika
fragmentasi terjadi akibat tak tertampungnya tafsir yang beragam mengenai
teks-teks keagamaan.
Yang paling mutakhir adalah perbedaan tafsir
beberapa kalangan dan komunitas masyarakat atas rencana kedatangan penyanyi pop
asal Amerika Serikat, Lady Gaga. Kabar itu sendiri sudah beredar sejak beberapa
pekan silam. Ketika ribuan lembar tiket sudah terjual, fan berjulukan
"little monster" siap
menyambut kedatangan Lady Gaga, mendadak muncul aksi yang menentang rencana
konser itu, terutama di Jakarta. Ketegangan muncul. Di sinilah letak
masalahnya, yakni perbedaan tafsir atas sosok Lady Gaga.
Menurut pengakuan juru bicara kepolisian,
izin pementasan tidak diterbitkan setelah mempertimbangkan berbagai hal,
termasuk masukan dari beragam komunitas keagamaan, kemasyarakatan, serta
beberapa fraksi politik di parlemen. Tanggapan pun bergemuruh. Beberapa media,
khususnya televisi, mengangkatnya sebagai topik bahasan. Dilakukanlah
peninjauan dari berbagai sudut pandang. Beberapa pemangku kepentingan diajak
serta berbicara. Bahkan Indonesia Lawyer
Club (ILC) menjadikannya tema sentral bahasan pertengahan pekan lalu.
Semuanya sama: berujung pada perbedaan soal tafsir.
Jika benar ini persoalannya, kasus Lady Gaga
akan masuk daftar di antara beberapa daftar kasus serupa lainnya yang telah
membuat masyarakat kita terfragmentasi ke beberapa kubu dan kelompok. Sulitnya
pula, jika perbedaan tafsir serta cara yang digunakan untuk menafsir Lady Gaga
lantas dijadikan justifikasi oleh kelompok tertentu untuk menempatkan kelompok
lainnya sebagai pihak yang dipersalahkan. Lalu, muncullah tafsir tunggal atas
Lady Gaga. Persoalan semakin rumit kalau mereka yang tidak mengerti dan tidak
mau mengerti juga ikut-ikutan menjadi juru tafsir Lady Gaga.
Selanjutnya, kita dengan mudah bisa
membayangkan ujung suatu persoalan, jika seorang ahli matematika mencoba ikut
menafsir rumus-rumus mengenai sosiologi. Atau seorang ahli bahasa, karena
merasa ahli di bidangnya itu, lantas merasa ahli di banyak bidang lainnya
sehingga merasa mampu pula menafsir hal-hal yang hanya dikuasai oleh seorang
ahli fisika. Semakin banyak yang terlibat, akan semakin beragam pula tafsir
yang tercipta atau sengaja diciptakan untuk maksud dan tujuan tertentu mengenai
suatu permasalahan.
Sejatinya, tidak semua sisi kehidupan kita
beralaskan sebuah realitas, apalagi realitas tunggal. Sikap kita terhadap
sebuah dan beberapa persoalan sering kali hanyalah sebuah tafsir atas apa yang
tersaji di hadapan kita. Hanya hal-hal yang berbentuk materi sajalah yang sudah
menjadi realitas karena entitas bawaan yang menyertainya. Tetapi, terkait
dengan beragam peristiwa, wujudnya amat bergantung pada cara, referensi, serta
tujuan kita melakukan penafsiran dan pemaknaan atas peristiwa tersebut. Dan
hasil sebuah penafsiran amat signifikan perannya dalam menjaga harmoni dan tata
kelola kehidupan.
Perbedaan cara, pendekatan, referensi, serta
tujuan suatu penafsiran juga sangat memengaruhi respons masyarakat dalam
menyikapi sebuah persoalan. Kasus Lady Gaga, harus jujur diakui, telah
memunculkan perbedaan cara menafsir di tengah-tengah masyarakat kita. Bahkan,
untuk kepentingan tertentu, sebuah komunitas masyarakat, dengan pendekatan
kursif yang masih melekat di sebagian masyarakat kita, bisa memaksa institusi
kepolisian untuk mengikuti tafsir yang mereka kehendaki mengenai Lady Gaga.
Maka batallah, untuk sementara, rencana pergelaran yang menyedot perhatian
ribuan remaja kita itu.
Lady Gaga tentu bukan sebuah entitas tunggal.
Dalam industri musik mutakhir seperti sekarang, Lady Gaga tak lebih dari sebuah
produk yang dikemas sedemikian rupa sehingga bisa menjadi trend setter.
Dalam beberapa pementasannya, Lady Gaga muncul dengan beragam karakter sehingga
membuka ruang yang lebar bagi para penikmatnya untuk memberi makna dan tafsir
yang berbeda pula. Pada komunitas tertentu, erotika yang menyertai
penampilannya dianggap hal biasa, tetapi oleh komunitas lain dinilai sebagai
ancaman serius bagi moral kaum remaja.
Meski oleh kelompok tertentu Lady Gaga
disebut pemuja setan, tidak sedikit yang menyebutnya pahlawan karena menjadi
simbol korban kekerasan yang mampu bangkit dari deraan mental dan tekanan jiwa.
Jika diibaratkan tamu, Lady Gaga berencana berkunjung ke rumah kita. Kalau kita
tuan rumah yang "baik", maka kita harus siap menerima tetamu dengan
karakter para tamu yang tidak sama. Akan berbeda halnya kalau kita terbiasa
menerima tamu tertentu saja, sehingga yang datang ke rumah kita yang itu-itu
juga. Betapa monotonnya kehidupan semacam ini.
Agar kehidupan berjalan lebih berwarna,
sebaiknya kita mengikuti kebiasaan para fotografer yang menjadikan sebuah obyek
sebagai bidikannya. Kalau tidak puas dengan sudut pandang tertentu, seseorang
bisa mengambilnya dari sudut yang lain. Jangan karena hasil bidikan tidak
memuaskan, lalu seseorang memindahkan gunung. Sesuatu yang mustahil dilakukan.
Lady Gaga dan kasus-kasus serupa lainnya memerlukan pendekatan dari berbagai
sudut pandang agar kesimpulan penafsiran yang kita lakukan bisa komprehensif
dan tidak parsial. Paling kurang, keyakinan kita sama: tidak ada ciptaan Tuhan
yang kehadirannya hanya untuk kesia-siaan. Bukankah semua punya hikmahnya? ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar