Harga BBM Tidak Naik, Lalu Apa?
Endriartono Sutarto; Panglima
TNI 2002-2006
SUMBER
: KOMPAS, 03 Mei 2012
Menjelang 1 April lalu kita menghadapi
guncangan sosial-politik akibat rencana pemerintah menaikkan harga BBM
bersubsidi.
Dalam setahun terakhir harga minyak bumi
memang terus naik. Saat harga minyak bumi menembus 100 dollar AS per barrel, pemerintah
seperti panik: dengan harga BBM bersubsidi di angka Rp 4.500 per liter, APBN
2012 diprediksi akan jebol.
Beberapa pilihan lalu digulirkan. Menaikkan harga
BBM bersubsidi Rp 500 sampai Rp 1.500 atau melakukan pembatasan. Semula
pemerintah cenderung pada pilihan pembatasan. Ketika kritik keras bertubi-tubi,
pemerintah akhirnya memilih menaikkan harga BBM bersubsidi menjadi Rp 6.000 per
liter. Kebijakan ini lalu gencar disosialisasikan.
Namun, segencar apa pun dan dengan
pertimbangan apa pun, pilihan menaikkan harga BBM bersubsidi tak mudah diterima
khalayak. Dampaknya tidak hanya dirasakan golongan berpunya, tetapi juga warga
di semua strata meski dengan skala berbeda-beda. Karena itu, iming-iming
kompensasi berupa bantuan langsung sementara masyarakat tak mampu menghentikan
protes atas rencana kenaikan harga BBM bersubsidi.
Mahasiswa, buruh, aktivis, dan partai politik
nirkoalisi sejak awal menolak rencana pemerintah itu. Kegagalan menaikkan harga
BBM bersubsidi tak mendorong pemerintah segera ambil langkah strategis terkait
ketergantungan kita terhadap minyak bumi. Wacana membatasi BBM bersubsidi
bahkan kembali dicuatkan.
Kalau melalui media massa kita menyaksikan
sejumlah kendaraan mewah sedang diisi BBM bersubsidi, jangan itu dijadikan
pegangan bahwa mayoritas penikmat BBM bersubsidi kelompok menengah atas. Selama
transportasi umum jauh dari memadai (jumlah maupun kenyamanannya), memiliki
kendaraan pribadi bukan kemewahan.
Kalau BBM bersubsidi boleh dinikmati hanya
oleh golongan bawah, pilihan pembatasan menjadi sangat tak tepat. Sebab,
kendaraan di atas 1.500 cc berusia tua banyak dimiliki kalangan tak berpunya,
yang sehari-hari memerlukan transportasi untuk mencari nafkah.
Agar Tetap Sintas
Selama tingkat pendapatan masyarakat relatif
rendah, pembatasan BBM bersubsidi hanya akan memicu masyarakat mencari jalan
pintas agar tetap sintas. Menjelang rencana kenaikan harga BBM kemarin, banyak
taksi dan angkot yang memodifikasi tangki bensinnya agar dapat menampung BBM
bersubsidi dalam jumlah besar. Hal semacam itu dipastikan kembali terulang
dengan adanya pembatasan BBM bersubsidi. Mereka yang tak mampu membeli Pertamax
dan mereka yang butuh penghasilan tambahan akan bekerja sama. Kita tentu tak
ingin itu terjadi.
Menaikkan harga atau membatasi pemakaian BBM
bersubsidi sesungguhnya dapat dihindari pemerintah. Kita masih ingat konversi
minyak tanah ke elpiji. Pada awalnya ada beberapa kendala. Namun, hasil akhirnya
harus diakui: konversi sukses berkat persiapan matang, sosialisasi memadai, dan
kepastian pemerintah mengambil sikap.
Sesungguhnya masyarakat kita cukup kooperatif
dan siap menjalani perubahan asal mendapat kemudahan memenuhi kebutuhan serta
tak merasa dirugikan dengan kebijakan yang diambil. Sayangnya, pengalaman
berharga itu tak diterapkan dalam mengelola soal BBM bersubsidi.
Mestinya saat harga BBM diturunkan pada 2009,
pemerintah bikin berbagai persiapan mengonversi BBM ke bahan bahar gas (BBG).
Maka, ketika harga minyak bumi melambung tinggi seperti sekarang ini,
pemerintah tak harus panik dan tak harus mengambil langkah kebijakan yang hanya
akan membebani masyarakat.
Bila semua persiapan konversi dilakukan
setelah Pemilu 2009 yang ”aman damai”, dalam kurun dua tahun konversi untuk
Jawa dan Bali sudah terselesaikan. Maka, pada awal 2012 Premium sudah dapat
ditarik dari peredaran di kedua wilayah itu, kecuali dalam jumlah terbatas bagi
sepeda motor dan kebutuhan kecil lain. Harap diingat, konsumsi Premium untuk
Jawa dan Bali mencapai lebih dari 60 persen konsumsi nasional. Jadi,
pengurangan BBM bersubsidi di kedua wilayah ini sangat besar artinya.
Konversi BBM bersubsidi ke BBG tak dapat
dimungkiri merupakan alternatif terbaik dalam mengatasi fluktuasi harga minyak
bumi. Cadangan terbukti gas kita 104 triliun kaki kubik, jauh lebih besar
daripada cadangan terbukti minyak bumi kita yang tinggal 3,7 miliar barrel.
Harga keekonomian BBG yang Rp 3.100 setara 1 liter Premium akan sangat
menguntungkan masyarakat.
Kalau pemerintah sedikit saja peka pada
penderitaan rakyat, seharusnya yang dilakukan adalah segera mulai membangun
sarana dan prasarana konversi dari Premium ke BBG. Bangunlah depo BBG, stasiun
pengisian BBG di setiap SPBU, dan industri pembuatan konverter kit. Distribusi dan pemasangannya gratis bagi angkutan
umum. Permudah pembelian serta pemasangannya untuk kendaraan pribadi.
Perlu Waktu
Ini semua memerlukan waktu dan tidak seperti
cerita Sangkuriang atau Candi Prambanan. Karena itu, konversi jangan lagi
ditunda-tunda. Biaya yang dikeluarkan memang cukup besar. tetapi manfaat fiskal
setiap tahun yang akan diperoleh sangat tinggi. Kita pun dapat menghindari
ongkos politik yang kelewat besar akibat keributan yang mengganggu ketenangan
masyarakat.
Setelah ontran-ontran politik menuju 1 April
2012, kita semua tahu bahwa pilihan menaikkan harga BBM bersubsidi telah gagal.
Korban kekerasan di berbagai penjuru Tanah Air, baik dari kalangan demonstran
maupun dari aparatur penegak hukum, telah menjadi ongkos yang terlalu mahal.
Keputusan tidak diambil, keriuhan telanjur terjadi.
Memilih kebijakan pembatasan BBM bersubsidi
yang sekarang dicuatkan hanya memperumit pemerintah dan membebani rakyat.
Pemahaman pemerintah bahwa program konversi tidaklah mungkin sukses kalau harga
Premium tidak dinaikkan terlebih dahulu adalah absurd.
Belajar dari pengalaman konversi minyak
tanah, konversi Premium juga akan dengan sendirinya berjalan kalau seluruh
infrastruktur BBG telah terbangun. Masyarakat akan dengan sendirinya beralih ke
BBG apabila mendapat kemudahan memperolehnya dan keuntungan dalam
penggunaannya.
Pemerintah juga akan diuntungkan karena harga
Premium dapat dinaikkan sesuai dengan harga keekonomian. Berpikir menaikkan
harga BBM sebagai alasan menjalankan konversi adalah logika yang sama sekali
terbalik dan tidak realistis.
Di atas semuanya, pemerintah jangan menutup
telinga terhadap masukan dari mana pun. Jangan egoistis dengan hanya memikirkan
kepentingan sendiri. Demokrasi memberi pesan kepada kita bahwa suara dan
aspirasi rakyat banyak harus didengar.
Mengapa bersikukuh dengan pilihan pembatasan,
sementara manfaat yang didapat masyarakat akibat dari kebijakan pemerintah
sesungguhnya merupakan keberhasilan pemerintah. Segerakan proses konversi BBM
ke BBG agar ”pemerintah untung, rakyat
juga untung”. Mengapa tidak? ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar